Cara Memahami
Ungkapan Kembali Kepada al- Qur’an dan Sunnah
Dalam berkehidupan tentu kita
sering menemui permasalahan, baik permasalahan dalam keluarga, tetangga, rekan
kerja, ataupun orang lain di sekitar kita, sehingga dibutuhkan pedoman atau
tuntunan sebagai solusi dari permasalahan tersebut agar berbuah kemaslahatan.
Sebagai seorang Muslim, tidak boleh tidak, yang harus dijadikan pedoman adalah
Al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw,
تَرَكْتُ فِيْكُمْ
أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ
رَسُوْلِهِ
Artinya, “Aku tinggalkan kepada
kamu (umatku) dua perkara. Jika kamu berpegang teguh kepada keduanya maka
niscaya kamu tidak akan tersesat untuk selama-selamanya. (Dua perkara itu
adalah) al-Qur’an dan Sunnah” (HR. Malik).
Lalu bagaimanakah cara kita
kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah? Sebab, tidak semua orang mampu menjadi
penafsir atau memahami sunnah dengan baik kecuali mereka yang sehat aqidah,
terbebas dari hawa nafsu, menguasai ilmu bahasa Arab dengan baik, dan menguasai
ilmu yang berkaitan dengan ilmu tafsir hadits.
Seorang ulama besar yang ahli
tafsir, ahli hadits, ahli fiqih dan ahli dalam cabang ilmu agama Islam lainnya
di dalamnya kitabnya al- Itqon fi ‘UlumilQur’an menjelaskan bahwa di
antara para ulama ada yang berkata: “ boleh menafsirkan al- Qur’an bagi orang
yang menguasai 15 ilmu, yaitu:
1. Ilmu bahasa Arab
2. Ilmu Nahwu
3. Ilmu Shorf
4. Ilmu Isytiqoq
5. Ilmu Ma’ani
6. Ilmu Bayan
7. Ilmu Badi’
8. Ilmu Qiroat
9. Ilmu Ushuliddin
10. Ilmu Ushul Fiqh
11. Ilmu Ilmu asbabunnzul wal Qoshosh
12. Ilmu nasikh dan Mansukh
13. Ilmu Fiqih
14. Ilmu Hadits
15. Ilmu Mauhibah.
Jika kita belum menguasai 15 cabang ilmu di atas, tindakan mengajak
kembali kepada al-Qur’an yang hanya bermodalkan terjemahan saja, maka ini
sebagaimana di dalam kitab Tanwirul Qulub termasuk orang yang salah yang sesat
dan menyesatkan orang lain.
Oleh karena itu kembalilah kepada
para ulama, hal ini berdasarkan Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى :
فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ
ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya, "…maka bertanyalah
kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS.
An-Nahl: 43).
Di dalam Tafsir Lathaif Isyarat, Imam al-Qusyairi
mengatakan bahwa ahludz dzikri adalah ulama.
Jadi berdasarkan ayat di atas, maka
kita wajib bertanya kepada para ulama tentang tafsir dari al- Qur’an dan begitu
pula tentang pemahaman hadits, kita juga wajib bertanya kepada para ulama
dengan merujuk kepada kitab- kitab tafsir dan syarah (penjelasan) hadits. Apa
akibatnya jika kita hanya mengandalkan terjemah perkata dan pendapat sendiri?
Rasulullah SAW bersabda:
وَمَنْ
قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan logikanya
(semata), maka silahkan ia mengambil tempat duduknya di neraka” (HR. Tirmidzi
no. 2951).
Di Dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi syarah kitab hadits Imam
Tirmidzi, Syaikh Mubarakfuri dengan logika semata maksudnya adalah hanya
pendapat pribadi tanpa mengikuti pendapat para ulama yang ahli bahasa Arab yang
sesuai dengan kaidah-kaidah Syari’at.
مَنْ
كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja, maka hendaklah
dia mengambil tempat tinggalnya di neraka”. (HR. Al-Bukhâri, no. 1229).
Cara agar kita tidak salah dalam
memahami al- Qur’an dan Hadits adalah dengan bermadzhab, yakni mengikuti
pemahaman dan manhaj salah satu imam madzhab yang 4 yang memang sudah diikuti
dan di akui oleh para ulama besar lainnya.
Demikianlah, semoga bermanfaat bagi kita di dunia dan akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar atau pertanyaan