Pernahkah kita melihat orang yang mencari rumah teman atau keluarganya, tapi ia tidak tahu persis alamatnya, maka kemudian yang terjadi adalah ia hanya berputar- putar di tempat tersebut dan kemudian kembali lagi ke tempat semula? Ini adalah perumpamaan bagi kita, bahwa orientasi hidup kita harus jelas agar kita bisa sampai dengan selamat ke tujuan sebenarnya. Gambaran seperti ini, juga di jelaskan oleh syaikh Ibnu ‘Atholillah di dalam kitabnya al- Hikam sebagai berikut:
لَا تَرْحَلْ مِنْ كَوْنٍ إِلَى كَوْنٍ فَتَكُوْنَ كَحِمَارِ الرَّحَى يَسِيْرُ وَالَّذِيْ ارْتَـحَلَ إِلَيْهِ هُوَ الَّذِيْ ارْتَـحَلَ مِنْهُ وَلَكِنْ ارْحَلْ مِنْ الْأَكْوَانِ إِلَى الْمُكَوِّنِ وَأَنَّ إِلَى رَبِّكَ الْمُنْتَهَى
“Janganlah engkau pergi dari satu alam ke alam lain sehingga engkau seperti keledai yang berputar-putar di penggilingan, tempat tujuannya adalah tempat yang semula ia berangkat. Tetapi pergilah dari semua alam kepada pencipta alam. ”Dan sesungguhnya kepada Tuhanmu puncak segala tujuan.”
Beramal dengan disertai riya', dan sifat-sifat tercela lainnya dalam pandangan syara’, harus dihindari oleh seorang hamba yang menempuh perjalanan menuju Tuhan. Begitu pula beramal untuk mencari balasan, pangkat, kedudukan, kehormatan dan derajat yang tinggi, juga tercela, terutama dalam pandangan orang-orang yang arif. Oleh sebab itu seorang hamba yang menempuh perjalanan menuju “ Tuhan harus membebaskan diri dari beramal semacam itu. Lakukan amal ibadah hanya karena Allah agar mendapatkan keridhaan-Nya. Jangan berputar-putar pada tujuan rendah dan tercela tersebut. Sehingga membuat bagaikan keledai penggilingan yang terus berputar-putar di tempat.
Amal ibadah yang dilakukan secara riya' dan dengan tujuan-tujuan agar dipandang masyarakat sebagai orang yang ahli ibadah, agar dihormati dan untuk mencari kepentingan duniawi lainnya adalah sama saja, mengganti keihlasan dengan riya', dan mengganti ibadah yang seharusnya dilakukan karena Allah, tetapi dilakukan demi mencari popularitas, kedudukan dan kepentingan duniawi lainnya. Padahal semua kedudukan, kemuliaan dan harta duniawi itu berada di tangan Allah. Ketika seorang hamba beribadah ikhlas karena Allah, maka dengan sendirinya, Allah akan memberikan dan mencukupi kebutuhan hidupnya di dunia tanpa harus meminta kepada-Nya. Karena Dia adalah Maha Mengetahui lagi Maha Pemurah.
Kepadanya segala aktivitas kesalehan dan amal ibadah seharusnya ditujukan. Karena kesudahan dari segala sesuatu itu adalah kepadaNya juga. Allah swt. berfirman:
وَأَنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ ٱلْمُنتَهَىٰ
"Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu)." (Q.S. an- Najm: 42)
Selanjutnya Ibnu Athoillah menyatakan, dan lihatlah pada sabda Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم :
فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ
“Maka siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907).
Hadis ini menegaskan makna hikmah sebelumnya. Hadis ini patut diperhatikan dan dicamkan baik-baik, terutama pada bagian akhir, yaitu bahwa hijrah seseorang akan berakhir di tempat yang menjadi tujuan hijrahnya. Maknanya, orang yang hijrahnya kepada dunia saja tidak akan meraih pencapaian dan kedekatan yang diraih oleh orang-orang yang berhijrah kepada Allah dan Rasūl-Nya. Seakan Rasulullah memperingatkan kita tentang pengaruh buruk dunia dan perempuan terhadap jiwa bila kita terlalu terobsesi pada dunia dan perempuan.
Sabda beliau: “maka hijrahnya kepada Allah dan Rasūl-Nya” bermakna pergi dari alam menuju Pencipta alam. Inilah yang dituntut dari seorang hamba. Adapun makna ungkapan “maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya” adalah tetap berada di alam, tidak ke mana-mana dan hanya berputar-putar di tempat.
Asyyibli mengatakan, “Awas tipuan Allah, walaupun dalam Firman-Nya:
كُـلُوْا وَاشْرَبُوْا
“Makanlah dan Minumlah.” (al-A’rof: 31)
Maksud-Nya, janganlah engkau tenggelam dalam keinginan. Tetapi jadikanlah segala sesuatu karena Allah bukan karena nafsumu. Maka firman Allah, Makanlah dan minumlah, walau zhahirnya berupa kenikmatan, tetapi batinnya adalah cobaan sehingga Allah mengetahui siapa yang bersama Allah dan siapa yang bersama nafsunya.”
Intinya, jadikanlah segala tujuan hidup kita hanya untuk Allah, agar hidup ini tidak sia-sia dan semuanya terisi ibadah kepada Allah.
Kesimpulannya, marilah kita perbaiki kembali orientasi dan tujuan hidup kita dan kita dituntut untuk menguatkan tekad, menjauhkan keinginan dari makhluk, dan menggantungkan diri kepada Yang Maha Ḥaqq. Tentu, faktor yang bisa memudahkan kita sampai pada maqam ini ialah pergaulan dengan kaum ‘ārif yang mengenal Allah.