Blog ini di kelola oleh: Firdaus, Dosen Institut Agama Islam Tebo Jambi dan Guru MTSN 1 Tebo. Alumni Pondok Pesantren Daar al- Qur'an al- Islamy (Darqis), MAKN/MAPK The Hok Jambi dan Alumni S1 dan S2 IAIN STS Jambi
Cara Memahami
Ungkapan Kembali Kepada al- Qur’an dan Sunnah
Dalam berkehidupan tentu kita
sering menemui permasalahan, baik permasalahan dalam keluarga, tetangga, rekan
kerja, ataupun orang lain di sekitar kita, sehingga dibutuhkan pedoman atau
tuntunan sebagai solusi dari permasalahan tersebut agar berbuah kemaslahatan.
Sebagai seorang Muslim, tidak boleh tidak, yang harus dijadikan pedoman adalah
Al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw,
Artinya, “Aku tinggalkan kepada
kamu (umatku) dua perkara. Jika kamu berpegang teguh kepada keduanya maka
niscaya kamu tidak akan tersesat untuk selama-selamanya. (Dua perkara itu
adalah) al-Qur’an dan Sunnah” (HR. Malik).
Lalu bagaimanakah cara kita
kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah? Sebab, tidak semua orang mampu menjadi
penafsir atau memahami sunnah dengan baik kecuali mereka yang sehat aqidah,
terbebas dari hawa nafsu, menguasai ilmu bahasa Arab dengan baik, dan menguasai
ilmu yang berkaitan dengan ilmu tafsir hadits.
Seorang ulama besar yang ahli
tafsir, ahli hadits, ahli fiqih dan ahli dalam cabang ilmu agama Islam lainnya
di dalamnya kitabnya al- Itqon fi ‘UlumilQur’an menjelaskan bahwa di
antara para ulama ada yang berkata: “ boleh menafsirkan al- Qur’an bagi orang
yang menguasai 15 ilmu, yaitu:
1.Ilmu bahasa Arab
2.Ilmu Nahwu
3.Ilmu Shorf
4.Ilmu Isytiqoq
5.Ilmu Ma’ani
6.Ilmu Bayan
7.Ilmu Badi’
8.Ilmu Qiroat
9.Ilmu Ushuliddin
10.Ilmu Ushul Fiqh
11.Ilmu Ilmu asbabunnzul wal Qoshosh
12.Ilmu nasikh dan Mansukh
13.Ilmu Fiqih
14.Ilmu Hadits
15.Ilmu Mauhibah.
Jika kita belum menguasai 15 cabang ilmu di atas, tindakan mengajak
kembali kepada al-Qur’an yang hanya bermodalkan terjemahan saja, maka ini
sebagaimana di dalam kitab Tanwirul Qulub termasuk orang yang salah yang sesat
dan menyesatkan orang lain.
Oleh karena itu kembalilah kepada
para ulama, hal ini berdasarkan Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى :
Artinya, "…maka bertanyalah
kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS.
An-Nahl: 43).
Di dalam Tafsir Lathaif Isyarat, Imam al-Qusyairi
mengatakan bahwa ahludz dzikri adalah ulama.
Jadi berdasarkan ayat di atas, maka
kita wajib bertanya kepada para ulama tentang tafsir dari al- Qur’an dan begitu
pula tentang pemahaman hadits, kita juga wajib bertanya kepada para ulama
dengan merujuk kepada kitab- kitab tafsir dan syarah (penjelasan) hadits. Apa
akibatnya jika kita hanya mengandalkan terjemah perkata dan pendapat sendiri?
Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan logikanya
(semata), maka silahkan ia mengambil tempat duduknya di neraka” (HR. Tirmidzi
no. 2951).
Di Dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi syarah kitab hadits Imam
Tirmidzi, Syaikh Mubarakfuri dengan logika semata maksudnya adalah hanya
pendapat pribadi tanpa mengikuti pendapat para ulama yang ahli bahasa Arab yang
sesuai dengan kaidah-kaidah Syari’at.
“Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja, maka hendaklah
dia mengambil tempat tinggalnya di neraka”. (HR. Al-Bukhâri, no. 1229).
Cara agar kita tidak salah dalam
memahami al- Qur’an dan Hadits adalah dengan bermadzhab, yakni mengikuti
pemahaman dan manhaj salah satu imam madzhab yang 4 yang memang sudah diikuti
dan di akui oleh para ulama besar lainnya.
Demikianlah, semoga bermanfaat
bagi kita di dunia dan akhirat.
Khatib mengajak diri sendiri dan para jamaah sekalian untuk senantiasa meningkatkan kualitas ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala, mempertajam kesadaran ilahiah, mempertebal sikap berserah diri kepada-Nya.
Jamaah shalat Jumat حفظكم الله,
Tak ada manusia yang tak membutuhkan rasa aman. Namun dalam realitas kehidupan, kesulitan, musibah, atau kondisi tak aman mustahil dihindari. Manusia memang hidup dalam serba-dua kemungkinan: siang dan malam, sehat dan sakit, hidup dan mati, aman dan tak aman, dan sebagainya. Ini sejalan dengan Firman
“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى اللهُ, Dan barang siapa yang beriman kepada الله, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan اللهُ Maha Mengetahui segala sesuatu. (At-Taghabun: 11)
Penjelasan ayat ini sebagaimana di dalam tafsir Ibnu Katsir yaitu:
Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin الله. (At-Taghabun: 11)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah dengan perintah الله, yakni dengan kekuasaan dan kehendak-Nya.
{وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ}
Dan barang siapa yang beriman kepada الله, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. (At-Taghabun: 11)
Seseorang yang di timpa musibah, kemudian ia tahu bahwa musibah itu dari سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى اللهُ kemudian ia ridho dan berserah diri (kepada سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى اللهُ).
Jamaah shalat Jumat hafizhakumullah,
Salah satu ketetapan سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى اللهُ kepada kita adalah kondisi tidak menyenangkan, dan di antara kondisi tidak menyenangkan yang sering kita alami adalah tertimpa bencana, ujian, cobaan, musibah, atau bala’. Karena tidak menyenangkan, ada anggapan dari sebahagian kita, jika seorang muslim terkena musibah, berarti orang tersebut sedang di adzab oleh سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى اللهُ. Apakah memang demikian? Belum tentu, karena bisa saja bencana, ujian dan cobaan itu adalah tanda سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى اللهُ mencintai seseorang hamba-Nya. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi kita Sayyidina Muhammad ﷺ:
Di riwayatkan dari Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya besarnya pahala itu sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sesungguhnya apabila الله mencintai suatu kaum niscaya الله akan memberikan cobaan kepada mereka. Maka barangsiapa yang ridha (dengan ketetapan الله), maka الله akan ridha kepadanya. Dan barangsiapa yang tidak ridha, maka اللهُ pun tidak akan ridha kepadanya.”
(HR. At-Turmudzi, no. 2320 dan Ibnu Majah, no. 4021 dengan sanad yang hasan)
Syaikh Abdurrohman Mubarokfuuri mensyarah (menjelaskan) hadits di atas di dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzi Syarhu Jami’i at- Tirmidzi, beliau menjelaskan:
Sesungguhnya besarnya balasan pahala yakni banyaknya pahala, bersamaan dengan besarnya bala’ atau ujian yang menimpa, maka barangsiapa bala’ atau cobaannya lebih besar, maka balasan pahalanya lebih besar. سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى اللهُ memberikan bala’ atau cobaan kepada mereka dengan ujian dan bencana. Maka barangsiapa ridho dengan bencana yang menimpa mereka, maka orang itu memperoleh Ridho dari سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى اللهُ dan memperoleh pahala yang banyak. Dan barangsiapa yang murka maksudnya tidak suka kepada bencana/ musibah dari سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى اللهُ dan benci serta tidak ridho dengan takdir atau ketetapan سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى اللهُ, maka orang itu mendapat murka dari سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى اللهُ dan mendapatkan adzab yang pedih.
Jadi, dapatlah kita simpulkan:
1.Bala’, ujian dan bencana adalah tanda الله cinta kepada hamba-Nya.
2.Hanya ada 2 pilihan sikap terhadap bencana atau musibah, Ridho dan اللهُ pun ridho kepadanya serta mendapatkan banyak pahala, atau benci (tidak suka) sehingga mendapatkan kemurkaan dari الله dan adzab yang pedih.
3.Besar atau kecilnya pahala yang di peroleh, tergantung dari besar atau kecilnya nya bala’ ujian, atau bencana yang di hadapi.
Firaun adalah salah satu manusia yang paling keji dan paling dilaknat di muka bumi. Manusia yang pernah mengaku-ngaku sebagai Rabb yang maha tinggi, ia memerintahkan rakyatnya untuk patuh dan menyembah padanya. Fir’aun berkata sebagaimana di sebutkan dalam Al-Quran,
فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى
Artinya: Fir’aun berkata, “Aku adalah rabb kalian yang paling tinggi”. (QS : An Nazi’at: 24).
Ia memerintahkan membunuh setiap anak laki-laki yang dilahirkan karena takut kekuasaannya hancur. Singkat cerita, akhirnya Fir’aun dan para pengikut setianya الله tenggelamkan di laut Merah, kisah ini di terangkan الله di dalam al- Quran surat Thaha ayat 78:
Artinya: Kemudian Firaun dengan bala tentaranya mengejar mereka, tetapi mereka digulung ombak laut yang menenggelamkan mereka.
Kisah berikutnya adalah Qarun dikenal sebagai orang yang sangat kaya. Kekayaannya membuat iri orang-orang Bani Israil. Karena kekayaannya itu pula, Qarun senantiasa memamerkan dirinya kepada khalayak ramai. Bahkan, begitu banyak kekayaan yang dimilikinya, sampai-sampai anak kunci untuk menyimpan harta kekayaannya harus dipikul oleh sejumlah orang-orang yang kuat sebagaimana di sebutkan di dalam al- Qur’an Surah al- Qashash ayat 76:
“Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: "Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri".
Qarun tidak mau bersyukur dan malah menyombongkan diri. Ia juga tak mau menyedekahkan hartanya dan tidak mau mengeluarkan zakat untuk membantu orang-orang yang miskin yang ada di sekitarnya.
Kesombongan Qarun itu tampak ketika ia mengatakan bahwa harta yang diperolehnya karena ilmu yang dimilikinya al- Qur’an surah al- Qashas ayat 78:
Karun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku". Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.
Karena kesombongannya itulah, Allah mengazabnya dengan ditenggelamkannya Qarun ke dalam perut bumi. ''Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya). al- Qur’an surah al- Qashas ayat 81:
Artinya: Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).
Berbeda dengan kisah di atas, Nabi Sulaiman AS adalah seorang raja kalangan manusia, jin, dan hewan, dan jugabeliau di berikan kekayaan yang melimpah oleh الله, tapi beliau tidak menyombongkan diri, jangankan dengan manusia, bahkan dengan makhluk kecil sekalipun ia penuh rasa kasih sayang, ini dijelaskan dalam al- Qur’an An-Naml ayat 18:
Artinya: "Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari."
Bahkan beliau sangat rendah hati (tawadhu’) dan bersyukur seraya berdo’a sebagaimana di kisahkan di dalam al- Qur’an An-Naml ayat 19:
Artinya: "Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: "Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh."
Akhirnya dapat disimpulkan:
1.Pangkat, jabatan, kedudukan dan harta adalah titipan dari الله.
2.Oleh karena itu memperolehnya harus dengan cara yang baik yang di ridhoi الله.
3.Sebagai wujud rasa tawadhu’ dan syukur, maka pemanfaatan pangkat, jabatan, kedudukan dan harta harus untuk kemaslahatan ummat atau masyarakat dengan berpedoman pada ketentuan الله.
4. Jika pangkat, jabatan, kedudukan dan harta menyebabkan kesombongan diri, maka akan menyebabkan murka dan adzab dari الله.
TERNYATA KESULITAN ITU "BERIRINGAN" DENGAN KEMUDAHAN
قوله : ( فإن مع العسر يسرا) (مع)
بمعنی بعد، وعبر بها إشارة إلى أن اليسر يجيء عقب العسر بسرعة، كأنه مقارن.
Firman- Nya: (Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan) (kata مَعَ: dengan) bermakna (بَعْدَ : sesudah), dan di ungkapkan dengan ( kata مَعَ ) sebagai isyarat bahwa kemudahan datang setelah kesulitan, seolah-olah ia menyertai.
(Tafsir Hasyiah al- 'Allamah as- Showi 'Alaljalalain, pada tafsir surah Alam Nasyroh, ayat 5, jilid 4 halaman 441 Cetakan Toko Kitab al- Hidayah).
3 Kesalahan Tersembunyi Ahli Ibadah Yang Sering Tak Di Sadari
Dalam kitab ‘Uyubun Nafsi, Syekh Muhammad ibn al-Husain an-Naisaburi (w. 412 H) mengungkapkan sekitar 35 kesalahan-kesalahan tersembunyi yang tak disadari manusia, termasuk oleh para ahli ibadah. Karena itu, perlu kiranya kesalahan-kesalahan ini diungkap agar kita tetap waspada dan terhindar darinya. Sebab, siapa pun tak menginginkan ibadahnya sia-sia tanpa nilai apa pun di hadapan Allah Yang Maha Kuasa. Namun di sini akan disajikan tiga kesalahan saja (lihat: Syekh Muhammad ibn al-Husain an-Naisaburi, ‘Uyubun Nafsi, [Thantha: Maktabah ash-Shahabah], hal. 5-10).
Pertama, mengira diri akan selamat. Tak sedikit orang yang beribadah sudah merasa bangga hati bahwa dirinya akan selamat di akhirat. Bahkan tak jarang di antara mereka yang merasa lebih unggul dan istimewa di hadapan orang-orang sekitar. Dia merasa sudah dekat dan berada di jalan Allah. Dia lupa bahwa kemampuannya beribadah semata taufik dari Allah. Kemampuannya berdzikir semata pertolongan dari-Nya. Kemudahan lisannya untuk beristighfar semata kemudahan dari-Nya. Itu pun tidak tahu apakah amalnya diterima dan mendapat rida-Nya atau tidak.
Makanya para ahli ibadah mesti sadar bahwa setan senantiasa menggelincirkan siapa saja dan dari arah mana saja, sebagaimana ikrar Iblis dalam Al-Qur’an:
“Kemudian aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang mereka, dari arah kanan, dan dari arah kiri mereka,” (Q.S. al-A‘raf [7]: 17).
Padahal, sebelum mengembuskan napas terakhir membawa iman, siapa pun tak sepantasnya merasa nyaman dan aman dari tipu daya setan. Sebab, tidak ada yang tahu, di detik-detik terakhir, dia malah keluar dari jalan Allah, jauh dari pertolongan-Nya, dan meninggal dalam keadaan su’ul khatimah. Ini artinya, orang yang tekun beribadah saja nasibnya belum pasti, apalagi orang yang lalai beribadah.
Kaitan ini, Ibnu Abi Dunya pernah berkata, “Jangan pernah berharap bangkit sementara engkau tak mau memperbaiki kesalahan, jangan pernah berharap selamat jika engkau tak mau meninggalkan dosa-dosa. Maka tinggalkanlah kesalahan ini, lalu tempuh jalan petunjuk dan jalan takwa.
Kedua, tidak merasakan kelezatan ibadah. Hal ini disebabkan oleh kesalahan melihat ibadah sebagai satu kewajiban, bukan sebagai kebutuhan. Ketaatan dibangun bukan atas kesadaran dan kepasrahan kepada Dzat yang memerintah ibadah. Kebaikan yang dijalankan masih banyak dipengaruhi oleh makhluk, bukan atas dasar ketulusan dan keikhlasan kepada Allah. seringkali kebajikan dijalankan hanya karena ingin dipandang, dipuji, dan diperhatikan makhluk. Sehingga pantas saja ibadah yang dilakukan di belakang makhluk tak dirasakan kenikmatannya. Saat tidak ada yang memuji, dirinya kecewa dan tak bersemangat. Bahkan, bukan mustahil, setelah itu dia bosan dan tak lagi semangat beribadah. Makanya Allah meminta hamba-Nya agar beribadah dengan tulus kepada-Nya, sebagaimana ayat:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus,” (QS. Al-Bayyinah [85]: 5).
Jalan keluarnya teruslah berlindung kepada Allah, jangan pernah henti berdzikir mengingat-Nya, jangan pernah luput membaca kitab-Nya, jangan lupa meminta doa para wali Allah, agar Dia membukakan jalan keikhlasan dan pintu kenikmatan beribadah kepada-Nya. Sadarkan hati bahwa makhluk tak kuasa apa-apa, baik mendatangkan manfaat maupun menolak madarat. Mengapa harus bergantung kepada makhluk? Mengapa harus beribadah karena mereka?
Ketiga, masih ceroboh mengikuti bisikan hati (khawatir). Biasanya, merasa diri sudah tekun beribadah, seseorang menganggap apa yang terbesit dalam hatinya adalah benar dan pantas diikuti. Memang benar hati yang jernih kerap dihinggapi bisikan yang baik. Bisikan baik itu yang kemudian dikenal dengan ilham, fisarat, atau lammah. Sumbernya mungkin dari Allah atau malaikat. Namun, tak selamanya bisikan yang masuk ke dalam hati berasal dari Allah dan malaikat. Terkadang banyak pula bisikan yang datangnya dari setan, nafsu, atau berupa istidraj dan khidzlan.
Antisipasinya adalah terus berdzikir dan memohon perlindungan Allah. Ingatlah bahwa setan tak jauh dari hati manusia. Jika manusia berdzikir, ia bersembunyi. Namun, tatkala manusia lalai, setan kembali membisikinya. Perhatikan setiap bisikan yang datang ke dalam hati. Lalu timbanglah matang-matang sebelum diikuti. Jika seiring dengan hawa nafsu, hindarkan. Jika bertentangan dengan syariat, jauhkan. Pantas Ibrahim al-Khawash mengatakan, “Dosa pertama dimulai dari bisikan hati. Jika bisikan itu diketahui oleh pemilik hati, maka dia akanselamat. Jika tidak, dia akan terjerumus ke dalam kemaksiatan. Di saat yang sama, akal dan ilmu pun tak mampu berbuat banyak.Wallahua’lam.
Di dalam kitab Tanwirul Qulub di jelaskan bahwa seorang suami wajib menafkahi istrinya berupa makanan, pakaian dan lain - lain berdasarkan firman الله سبحانه وتعاﻟﯽ di dalam al- Qur’an:
Artinya: “Mulailah dari dirimu sendiri. Sedekahkanlah untuk dirimu. Selebihnya dari itu untuk keluargamu (anak dan istrimu). Selebihnya lagi dari itu untuk kerabat dekat mu. Selebihnya lagi dari itu untuk tujuan ini dan itu yang ada di hadapanmu, yang ada di kanan dan kirimu.” (HR. Muslim, nomor: 997).
Agar bisa memenuhi kewajiban memberikan nafkah kepada diri kita dan keluarga, maka kita harus bekerja, bahkan susah payah bekerja mencari nafkah bisa menghapus dosa yang tidak bisa di hapus dengan amal ibadah lain sebagaimana telah di sebutkan Imam al- Ghazali didalam kitab Mukhtashar Ihya’i Ulumiddin halaman 80 yang menyebutkan sebuah hadits:
Artinya: “diantara dosa-dosa ada yang tidak bisa dihapus (ditebus) kecuali hanya dapat ditebus dengan kesusah-payahan dalam mencari nafkah.”
Berdasarkan penjelasan di atas, khutbah ini di beri judul “BEKERJA ADALAH IBADAH”.
Jama’ah Sholat Jum’at رَحِمَكُمُ اللهُ
Kesibukan seseorang dalam kerja duniawi membutuhkan 2 hal, sebagaimana di sebutkan oleh Syaikh Ibnu ‘Athaillah di dalam kitabnya at- Tanwir fi Isqatittadbir pada halaman 50 beliau menjelaskan bahwa: kebutuhan pertama adalah Ilmu, dan kebutuhan kedua adalah ketaqwaan. Ilmu yang di maksud adalah ilmu yang memberikan pencerahan sehingga bisa mengerti halal dan haram, sehingga aktifitas kerjanya tetap di jalur syari’at, dan ia tetap dalam naungan الله سبحانه وتعاﻟﯽ. Adapun ketaqwaan bakal mencegah diri kita dari perbuatan dosa dan perilaku buruk.
Selanjutnya, agar pekerjaan kita mencari nafkah bisa di menjadi ibadah, menurut syaikh Yusuf al- Qordhawi di dalam kitabnya al- ‘Ibadah fil Islam halaman 62 maka harus memenuhi syarat – syarat berikut:
1.Pekerjaan yang sesuai syari’at Islam, bukan pekerjaan yang di ingkari Islam seperti yang mengandung riba, khianat dan sebagainya.
2.Diiringi dengan niat yang baik, untuk memelihara diri dari meminta- minta, mencukupi kebutuhan keluarga, memberikan manfaat kepada ummat, dan memakmurkan bumi, sebagaimana yang telah di perintahkan oleh الله سبحانه وتعاﻟﯽ.
3.Melaksanakan pekerjaan dengan sempurna dan baik.
4.Mengetahui batasan – batasan (dari) الله سبحانه وتعاﻟﯽ.
5.Pekerjaan dunianya tidak melalaikannya dari kewajiban agama.
Agar aktifitas bekerja mencari nafkah kita menjadi ibadah yang lebih sempurna, maka Syaikh Ibnu ‘Athaillah di dalam kitab at- Tanwir fi Isqatittadbir halaman 50 – 52 menyebutkan ada beberapa etika yang harus di lakukan oleh orang yang bekerja yaitu:
1.Sebelum keluar rumah, ia berjanji kepada الله سبحانه وتعاﻟﯽ untuk memaafkan orang yang berbuat buruk terhadapnya.
2.Sebelum keluar rumah, hendaknya ia berwudhu’ dan mendirikan sholat sunnah atau hajat, dan memohon keselamatan kepada الله سبحانه وتعاﻟﯽ selama beraktifitas di luar rumah.
3.Sebelum keluar rumah, hendaknya ia menitipkan keluarga, harta, dan rumah beserta seluruh isinya kepada الله سبحانه وتعاﻟﯽ , sebab Dia lah yang paling layak menjaganya.
4.Pada saat keluar rumah, hendaknya ia membaca do’a:
"Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah." (HR.Abu Dawud, (4/325), no. 5094).
Do’a ini bakal membuat setan putus asa dari orang yang membacanya.
5.Orang yang keluar rumah itu mengerjakan amar ma’ruf nahi mungkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Sebagai wujud rasa syukur atas nikmat kekuatan dan ketaqwaan yang di berikan الله سبحانه وتعاﻟﯽ kepadanya.
6.Berjalan dengan tenang, rendah hati, dan bersikap santun.
7.Selalu ingat kepada الله سبحانه وتعاﻟﯽ atau (ذكرالله) saat bekerja.
8.Tidak lalai dari shalat tepat waktu, utamanya berjama’ah.
9.(jika pedagang) maka tidak bersumpah atau menyanjung barang dagangannya.
10.Menjaga lisan (ucapan) dari ghibah (menggunjing) dan mengadu domba antar sesama manusia.
Jama’ah Sholat Jum’at رَحِمَكُمُ اللهُ
Demikianlah, dan kesimpulan khutbah ini adalah:
1.Memberikan nafkah di mulai dari diri sendiri, istri, dan anak serta orang yang wajib kita tanggung nafkahnya adalah kewajiban bagi kita.
2.Agar bisa memberikan nafkah, maka di usahakan dengan bekerja sehingga dalam konteks ini bekerjapun menjadi wajib bagi kita.
3.Karena melaksanakan kewajiban, maka bekerja bisa menjadi ibadah bagi kita dengan syarat secara umum bekerja tersebut harus sesuai dengan syari’at Islam.