Blog ini di kelola oleh: Firdaus, Dosen Institut Agama Islam Tebo Jambi dan Guru MTSN 1 Tebo. Alumni Pondok Pesantren Daar al- Qur'an al- Islamy (Darqis), MAKN/MAPK The Hok Jambi dan Alumni S1 dan S2 IAIN STS Jambi
Khatib Jum'at Tidak Mengutip Hadits Dari Ahli Hadits, Bolehkah Dan Bagaimana Hukumnya?
Ibnu Hajar al-Haitami pernah ditanya terkait khatib yang meriwayatkan banyak hadits tanpa menjelaskan sumbernya, atau periwayatannya. Beliau menjawab:
ما ذكره من الأحاديث في خطبة من غير أن يبين رواتها أو من ذكرها فجائز بشرط أن يكون من أهل المعرفة في الحديث أو ينقلها من كتاب ملفه كذلك ، وأما الاعتماد في رواية الأحاديث على مجرد رؤيتها في كتاب ليس مؤلفه من أهل الحديث أو في خطب ليس مؤلفها كذلك فلا يحل ذلك
Artinya: “Hadits-hadits yang disebutkan khatib dalam khutbahnya tanpa menjelaskan para perawi atau siapa yang menyebutkannya, itu diperbolehkan dengan syarat bahwa dia adalah orang yang ahli dalam ilmu hadits, atau dia mengutipnya dari penulis yang juga ahli dalam hadits. Adapun mengandalkan periwayatan hadits hanya berdasarkan melihatnya dalam sebuah buku yang penulisnya bukan ahli hadits, atau dalam khutbah yang penulisnya juga bukan ahli hadits, maka itu tidak diperbolehkan!” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Haditsiyyah, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], hal. 32).
Lebih lanjut Ibnu Hajar al-Haitami juga tegas menyatakan khatib-khatib yang dinilai kurang kompeten sebagaimana keterangan di atas, mesti ditegur. Bahkan jika mengulangi perbuatannya secara berulang maka perlu dilarang menjadi khatib oleh pihak berwenang. Adapun dalam konteks masa Ibnu Hajar al-Haitami, pihak berwenang merupakan pemerintah. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Haditsiyyah, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], hal. 32).
Artinya: ”Dialah yang menjadikan
matahari bersinar dan bulan bercahaya. Dialah pula yang menetapkan
tempat-tempat orbitnya agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan
(waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu, kecuali dengan benar. Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada kaum yang mengetahui.”
Di dalam
Tafsir al- Wajiz Syaikh Wahbah Az- Zuhaili menjelaskan: “dan Dialah yang
menetapkan tempat-tempat orbitnya, yakni tempat peredaran perjalanan bumi
mengitari matahari dan bulan mengitari bumi agar kamu mengetahui bilangan
tahun, dan perhitungan waktu. Allah tidak menciptakan hal yang demikian
sempurna itu melainkan dengan benar, yakni dengan hikmah yang besar. Melalui
penciptaan tersebut, Dia menjelaskan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya kepada
orang-orang yang mengetahui, yakni yang mau mengambil pelajaran dari
tanda-tanda kekuasaan Allah di alam raya ini.”
Bulan Januari-Desember
setiap tahunnya dan penentuan waktu sholat adalah berdasarkan perhitungan
peredaran bumi yang mengitari matahari, sedangkan bulan Muharrom-Dzulhijjah
(Kalender Hijriyyah) dan khususnya penetuan awal puasa dan awal lebaran adalah
berdasarkan perhitungan bulan mengitari bumi. Berarti perhitungan tahun baik berdasarkan
kalender masehi maupun hijriyyah sama-sama memiliki dalil dari al-Qur’an
sebagaimana ayat di atas, perhitungan waktu, sama-sama berdasarkan 2 makhluq
Allah, yakni matahari dan bulan.
Maka sekarang,
yang sangat penting bagi kita adalah bagaimana memanfaatkan waktu tersebut. Di
antara ayat al-Qur’an yang bisa kita jadikan pedoman adalah Surah al-‘Ashr ayat
1-3:
وَالْعَصْرِۙ ١
Demi masa,
اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ ٢
sesungguhnya manusia benar-benar berada
dalam kerugian,
kecuali
orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk
kebenaran dan kesabaran.
Allah bersumpah
demi masa (waktu) padahal masa (waktu) adalah makhluk-Nya, mengapa? Syekh
Manna' Al-Qatthan dalam kitab Mabahits fi 'Ulumil Qur'an menjelaskan
alasan kenapa Allah bersumpah dengan mahluk-mahluk-Nya:
وإنما أقسم الله بمخلوقاته؛ لأنها
تدل على بارئها، وهو الله تعالى، وللإشارة إلى فضيلتها ومنفعتها ليعتبر الناس بها
Artinya, "Sesungguhnya Allah
bersumpah dengan mahluk-mahluk-Nya karena makhluk tersebut menunjukan pada Dzat
yang menciptakannya, yakni Allah Ta'ala; dan juga sebagai isyarat atas
keutamaan dan kemanfaatan mahluk tersebut supaya manusia dapat mengambil
pelajaran atau teladan darinya".
Selanjutnya, di dalam tafsir as-
Showi di jelaskan bahwa: Ketahuilah bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah
menetapkan kerugian bagi seluruh manusia, kecuali orang yang melakukan 4 hal
yaitu: Iman, amal sholih, saling berwasiat dalam kebenaran, dan saling
berwasiat dalam kesabaran. Iman dan amal sholih khusus untuk diri sendiri,
sedangkan yang khusus untuk orang lain adalah saling berwasiat dalam kebenaran
dan saling berwasiat dalam kesabaran. Ibnu Katsir di dalam tafsirnya
menjelaskan bahwa:
1.Iman
Maksudnya adalah beriman dengan hati mereka.
2.Beramal Sholih
Maksudnya dengan anggota tubuhnya.
Imam al-Qusyairi di dalam tafsirnya Lathaiful Isyarah
menjelaskan maknanya adalah orang-orang yang ikhlas dalam beribadah.
3.Saling berwasiat dalam
kebanaran
Maksudnya saling berwasiat dalam melaksanakan
keta’atan dan meninggalkan yang di haramkan.
4.Saling berwasiat dalam
kesabaran
Maksudnya saling berwasiat dalam kesabaran atas
musibah-musibah dan taqdir.
Maka janganlah kita lalai dengan waktu,
yang membuat kita sengsara baik di dunia, lebih-lebih lagi di akhirat. Sebagai
penutup marilah kita renungkan hadits Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam
berikut ini:
”Ada dua
kenikmatan di mana banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu
senggang.” [HR Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas]
Sewaktu sehat mereka tidak mau atau
sedikit beribadah, dan ketika senggang hanya untuk hura-hura dan melakukan
perbuatan yang sia-sia belaka.
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala
senantiasa menolong dan memberikan hidayah kepada kita di dalam memanfaatkan
waktu sesuai dengan keridhoan-Nya selama hidup kita. Amin.
Berdasarkan
ayat ini jelaslah bahwa untuk masuk kedalam surga, haruslah terlebih dahulu
masuk kedalam stasiun (golongan) hamba-hamba Allah. Tanpa melewati jalur hamba
Allah, maka tidak sampai ke surga. Untuk menjadi hamba Allah Subhanahu Wa Ta'ala kita harus mengetahui sifat-sifatnya agar bisa kita aplìkasikan. Lantas, Bagaimana sesungguhnya sifat-sifat hamba
Allah ini?
Didalam
al-Qur’an surah al-fatihah Ayat ke 5 Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ ٥
iyyâka na‘budu wa iyyâka nasta‘în
Hanya kepada Engkaulah kami
menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.[2]
Di dalam tafsir
al-Baghawi[3]
di jelaskan bahwa hanya kepada-Mu kami menyembah artinya kami mengesakan-Mu,
ta’at kepada-Mu dalam keadaan merendahkan diri, tunduk dan patuh, dan keta’atan
ibadah hendaklah di iringi bersamaan dengan keadaan merendahkan diri, tunduk
dan patuh. Dan di namakan seseorang itu sebagai seorang hamba (عبد) karena merasa rendah diri, tunduk dan
patuh di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.[4]
Oleh karena
itu tidaklah layak seorang hamba membanggakan dirinya di sebabkan ibadah yang
telah di lakukannya. Kenapa? Karena pada hakikatnya hamba itu bisa melakukan
ibadah karena pertolongan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebagaimana lanjutan
dari ayat اِيَّاكَ نَعْبُدُyaitu وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ yang tafsirnya adalah kami memohon
kepada-Mu untuk beribadah kepada-Mu dan meminta pertolongan kepada-Mu atas
semua urusan kami. Maka menjadi jelaslah bahwa ibadah yang kita lakukan itu
adalah karena pertolongan, karunia dan rahmat dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala
semata, dan janganlah di sandarkan kepada kemampuan kita. Apalagi menyandarkan masuk surga karena amal kita. Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kita masuk surga bukan karena amal kita, tetapi karena karunia dan rahmat Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sebagaimana sabda Rasulullah
Shollallhu ‘Alaihi Wa Sallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:
لَنْ يُدْخِلَ أحَدًا
عَمَلُهُ الجَنَّةَ. قالوا: ولا أنْتَ يا رَسولَ اللَّهِ؟ قالَ: لا، ولا أنا،
إلَّا أنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بفَضْلٍ ورَحْمَةٍ[5]
Tidak akan masuk surga seorangpun karena amalnya. Para sahabat bertanya:
“Tidak juga engkau wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Tidak, Tidak juga saya,
kecuali bila Allah melimpahkan karunia dan rahmat-Nya padaku.”
Ketika kita menyandarkan kepada kemampuan
kita, maka di hati kita akan muncul rasa lebih dan merendahkan orang lain yang
tidak atau kurang beribadah. Ketika rasa ini muncul segeralah kita memohon
perlindungan kepada Allah dari perasaan ini, karena ini adalah suatu bentuk
kesombongan. Dan sebaliknya maksiat yang telah kita lakukan tetapi menjadikan
rendah diri dan membutuhkan rahmat dari Allah, itu lebih baik dari perbuatan
taat yg membangkitkan rasa sombong, ujub dan merendahkan orang lain.
Sebagaimana yang di sebutkan oleh oleh Ibnu ‘Athaillah di dalam hikam beliau
yang ke 107:
“Maksiat (dosa) yg menjadikan rendah diri dan membutuhkan rahmat dari
Allah, itu lebih baik dari perbuatan taat yg membangkitkan rasa sombong, ujub
dan merendahkan orang lain.”
Mufti Mesir Prof.
Dr. Syaikh ‘Ali Jum’ah memberikan penjelasan dengan mengutip penjelasan dari
al-‘Allamah ar- Randi dalam syarah hikamnya: “Tidak di ragukan lagi bahwa
merendahkan diri dan merasa butuh kepada Allah adalah termasuk dari sifat
‘ubudiyyah, maka menghimpun kedua sifat ini menyebabkan sampai kepada Allah,
sedangkan mulia dan besar (agung) termasuk termasuk dari sifat-sifat ketuhanan.
Menghimpun kedua sifat ini menyebabkan menjadi hina dan tidak di terimanya amal
ibadah.[6]
Dari penjelasan ini
di simpulkan:
1.Masuk surga harus
melalui menjadi hamba Allah terlebih dahulu.
2.Sifat hamba Allah
adalah selalu merendahkan diri, tunduk, patuh dan butuh dihadapan Allah Subhanahu
Wa Ta’ala.
3.Amal kita tidak
menyebabkan kita masuk ke dalam surga, tetapi yang memasukkan adalah karena
karunia dan rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
4.Dosa yang menyebabkan rendah
diri dan merasa butuh kepada Allah menyebabkan sampai kepada Allah.
5.Melakukan ibadah yang
menyebabkan diri merasa mulia dan besar (agung) menyebabkan menjadi hina dan
tidak di terimanya amal ibadah.
Hadirin seiman, sekeyakinan sebangsa satu jiwa satu bahasa rohimakumullah.
Jo-Ann Tsang, profesor psikologi dan ilmu saraf di College of Arts and Sciences di Baylor University di Waco, Texas, dan beberapa peneliti lainnya mempublikasikan temuan mereka secara online di jurnal Personality and Individual Differences, mereka menemukan bahwa: “orang yang materialistis lebih sulit mensyukuri apa yang dimilikinya, sehingga menyebabkan mereka menjadi sengsara.” bahkan mereka menyempitkan makna benda menjadi uang, sebagaimana di sebutkan di dalam Cambridge dictionary: the belief that having money and possessions is the most important thing in life, yang artinya adalah “keyakinan bahwa memiliki uang dan harta benda adalah hal terpenting dalam hidup.” Keyakinan seperti inipun mempengaruhi ummat Islam.
Meluruskan keyakinan ini, al- Qur’an telah menjelaskan tentang keaneka ragaman nikmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada manusia. Maka, berdasarkan ungkapan ini kami akan memaparkan Syarahan al- Qur’an yang berjudul: Nikmat Pengajaran al- Qur’an, Penciptaan Manusia dan Bahasa.
Dengan rujukan al- Qur’an Surah ar- Rohman ayat 1-4:
Artinya: Hamba Berlindung kepada Allah dari godaan Setan yang terkutuk. Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tuhan Yang Maha Pengasih. Dia mengajarkan Alquran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.
1.Nikmat Pengajaran al- Qur’an
اَلرَّحْمٰنُۙ)١ (عَلَّمَ الْقُرْاٰنَۗ)٢ (
Tuhan Yang Maha Pengasih. Dia mengajarkan Alquran.
Di dalam tafsir al- Qosimi di jelaskan bahwa “ Pokok dari nikmat agama adalah al- Qur’an, yakni nikmat turun dan nikmat diajarkannya”. Mengikuti ajaran di dalamnya akan mendapat petunjuk dan rahmat. Ini di jelaskan di dalam al- Qur’an Surah Al Jasiyah ayat 20:
Artinya: "(Al-Qur'an) ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini."
Agar bisa menjadi petunjuk di dalam kehidupan al- Qur’an harus di pelajari, yaitu dengan belajar membaca dan memahaminya. Tapi, di Indonesia masih banyak yang buta aksara al- Qur’an. Dra. Hj. Chalimatus Sa’dijah, MA, ketua Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPKM) IIQ Jakarta mengungkapkan bahwa presentase buta aksara Al-Qur’an di Indonesia 58,57% sampai dengan 65%. Kondisi ini memerlukan gerakan bersama untuk memberantas buta aksara al- Qur’an.
Berikutnya adalah belajar memahami al- Qur’an. Peluang untuk memberikan pemahaman al- Qur’an secara luas adalah melalui internet, tergambar dari hasil Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia tahun 2024, pemakai internet di Indonesia adalah 79,5% atau 221.563.479 jiwa.
Komitmen terhadap belajar dan mengajar al- Qur’an dengan berbagai sarana, menjadikan kita tergolong kepada orang terbaik, sebagaimana hadits Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang di riwayatkan oleh Imam Bukhori:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik orang di antara kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.”
2.Nikmat Penciptaan Manusia
Sesudah Allah menyatakan nikmat mengajarkan Al-Qur’an pada ayat yang lalu, maka pada ayat ini Dia menciptakan jenis makhluk-Nya yang terbaik yaitu manusia.
خَلَقَ الْاِنْسَانَۙ)٣ (
Dia menciptakan manusia.
Ibnu ‘Asyur menjelaskan di dalam tafsirnya at- Tanwir bahwa penciptaan adalah nikmat yang agung, karena di dalam penciptaan adalah sebagai pemuliaan terhadap makhluk.
3.Nikmat Berbicara dengan Bahasa
عَلَّمَهُ الْبَيَانَ)٤(
Mengajar (manusia) pandai berbicara.
Di dalam tafsir Tafsir al- Qurthubi maknanya adalah Allah mengajarkan manusia seluruh bahasa. Dan Ini termasuk tanda- tanda kebesaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya di dalam al- Qur’an surah ar- Rum ayat 22:
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.
Melalui bahasa kita bisa mengajarkan (isi) al- Qur’an. Ketika al- Qur’an sudah kita fahami dan amalkan maka akan menjadi hujjah yang menolong kita, sebagaimana sabda Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang di riwayatkan Imam Muslim:
اَلْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ
“Al-Qur`an itu bisa menjadi hujjah yang membelamu atau sebaliknya menjadi hujjah yang membantahmu.”
Akhirnya, dari syarahan ini kami menyimpulkan:
1.Pengajaran al- Qur’an, penciptaan manusia, dan berkomunikasi dengan bahasa termasuk nikmat Allah.
2.Pokok dari nikmat agama adalah al- Qur’an.
3.Internet termasuk sarana pengajaran al- Qur’an untuk saat ini.
4.Melalui bahasalah belajar dan mengajar al- Qur’an bisa terlaksana.
إِلَى اللِّقَاءِ
وَبِاللهِ التَّوْفِيْقُ والهِدَايَةُ وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ الله وَبَرَكَاتُهُ
~Hadirin seiman, sekeyakinan, sebangsa, satu jiwa, satu
bahasa rohimakumullah.
Guru Besar Ketahanan Dan Pemberdayaan
Keluarga Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Euis Sunarti, M.Si ketika menjadi
narasumber Round Table Discussion (RTD) Direktorat Pengkajian Sosial
Budaya dan Demografi Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhanas
RI) dengan tema “Revitalisasi Fungsi Utama Keluarga Guna Mewujudkan Ketahanan
Nasional”, beliau menyatakan bahwa “keluarga sebagai unit sosial terkecil adalah
penentu kualitas hidup. Kualitas hidup keluarga mencerminkan kualitas hidup
bangsa. Hal tersebut juga sejalan dengan ketahanan di keluarga mencerminkan
ketahanan nasional.”
Hadirin, Keluarga adalah jiwa
masyarakat dan tulang punggungnya. Kesejahteraan lahir dan batin yang dinikmati
suatu bangsa, atau sebaliknya, kebodohan dan keterbelakangannya, adalah
cerminan dari keadaan keluarga-keluarga yang hidup pada masyarakat bangsa
tersebut. berdasarkan pernyataan ini, kami akan menyampaikan Syarah al-Qur’an
dengan judul:
PENGUATAN KELUARGA DALAM MENOPANG
KETAHANAN NASIONAL
Dengan rujukan firman Allah SWT dalam
Alquran surah at-Tahrim ayat 6 sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS at-Tahrim ayat 6).
Hadirin sebangsa dan setanah air yang
berbahagia,
Ibnu Katsir mengutip pendapat Sufyan
As-Sauri tentang “peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”, maksudnya
adalah didiklah mereka dan ajarilah mereka.
Seluruh anggota keluarga memiliki 2
dimensi yaitu jasmani dan rohani. Dikaitkan dengan tafsir ayat tadi, maka pendidikan
dan penguatan keluarga harus berimbang antara dimensi jasmani dan rohani. Berimbang
inilah yang yang menjadi sumber kebahagiaan anggota keluarga. Ini sejalan
dengan hasil survey dari Snapcart tentang Happiness Among Indonesians
bahwa sebanyak 58% responden menyatakan bahwa keluarga adalah sumber utama
kebahagiaannya. Betul hadirin?
Nilai pendidikan yang perlu ditumbuh
kembangkan di dalam keluarga adalah iman, ibadah, akhlaq, ilmu pengetahuan dan life
skill, serta cinta tanah air.
1.Keimananan (Tauhid)
Iman harus mantap tanpa ragu- ragu.
2.Ibadah
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menegaskan bahwa Tidaklah Aku
menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.
3.Akhlaq
Imam Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah ra,
Rasulullah Saw bersabda:
“Orang
mukmin yang paling sempurna adalah mereka yang memiliki akhlak mulia...
(Sunan Tirmidzi,
no. Hadis: 1195).
Prof. Dr. Euis menyebutkan pendapat yang sejalan dengan
hadits ini yaitu: “bahwa idealnya yang di tanamkan di dalam keluarga adalah: menanamkan
nilai-nilai seperti cinta kasih, (yang pada akhirnya) diharapkan akan
terbentuknya ketertiban dan kesejahteraan sosial.
4.Ilmu
pengetahuan dan Life Skill
Hidup di dunia ini perlu menyeimbangkan kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat sebagaimana do’a yang sering kita munajatkan yang bersumber
dari surah al- Baqoroh ayat 201:
“Ya Tuhan
kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta lindungilah
kami dari azab neraka.”
Di dalam Tafsir al- Wajiz Prof. Dr. Wahbah az- Zuhaili
menjelaskan dengan doa ini, orang-orang beriman yang berilmu dan beramal saleh
hidupnya menjadi seimbang lahir batin, dunia akhirat. Betul hadirin?
Dengan ilmu pengetahuan yang sudah
mantap dan di dukung oleh life skill maka insya Allah kebutuhan ekonomi
akan terpenuhi dan akan sukses dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Khusus kepada generasi muda tunas
bangsa, dalam kesempatan ini kami ingin menyampaikan pesan:
wahai generasi muda Indonesia
mari perkaya diri dengan ilmu
pengetahuan
kita isi jiwa dengan taqwa dan
keimanan
dan kita hiasi akhlaq dengan laksana
berlian
Hadirin Rahimakumullah,
5.Cinta Tanah
Air
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman di dalam surat Al-Qashash
ayat 85:
Artinya:
“Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an
benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.” (QS. Al Qashash:
85)
Syekh Ismail Haqqi Al-Hanafi Al-Khalwathi dalam tafsirnya Ruhul Bayan memberikan
penafsiran tentang ayat ini:
وفي
تَفسيرِ الآيةِ إشَارَةٌ إلَى أنَّ حُبَّ الوَطَنِ مِنَ الإيمانِ، وكَانَ رَسُولُ
اللهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ كَثِيرًا: اَلْوَطَنَ الوَطَنَ، فَحَقَّقَ
اللهُ سبحانه سُؤْلَهُ.
“Di dalam tafsir ayat terdapat suatu petunjuk atau isyarat
bahwa “cinta tanah air sebagian dari iman”. Rasulullah SAW (dalam perjalanan
hijrahnya menuju Madinah) banyak sekali menyebut kata; “tanah air, tanah air”,
kemudian Allah SWT mewujudkan permohonannya (dengan mengembalikannya ke Makkah).
Hadirin Rohimakumullah,
5 apek yang sangat urgen tadi adalah
faktor sangat menopang ketahanan nasional. Untuk itu, mari kita dengarkan
lantunan firman Allah dalam surah at- taubah ayat 122:
“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi
(ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak
pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.”
(QS. At-Taubah: 122)
Syekh Muhammad Mahmud al-Hijazi dalam
Tafsir al-Wadlih memberikan penafsiran tentang ayat ini bahwa tanah air
membutuhkan perjuangan dengan pedang (senjata), dan argumentasi. Memperkokoh
moralitas dan mencetak generasi yang berwawasan ‘cinta tanah air sebagian dari
iman’, serta mempertahankannya (tanah air) adalah kewajiban yang suci.
Setelah 5 aspek di atas terpenuhi, makaإِنْ شَاءَ ٱللَّٰهُnegara kesatuan republik Indonesia akan menjadi baldatun Thayyibatun
Wa Robbun Ghafur (negeri yang mendapatkan kemakmuran di bumi dan di akhirat).
Akhirnya, Dari uraian ini dapatlah disimpulkan
bahwa:
1.Penguatan
keluarga haruslah dengan menguatkan 5 aspek yaitu: iman, ibadah, akhlaq, ilmu
pengetahuan dan life skill, serta cinta tanah air.
2.Menerapkan 5
aspek ini akan mewujudkan baldatun Thayyibatun Wa Robbun Ghafur (negeri
yang mendapatkan kemakmuran di bumi dan di akhirat).
Sebagai
penutup marilah kita mulai menguatkan keluarga kita masing-masing, yang
selanjutnya إِنْ
شَاءَ ٱللَّٰهُbisa menjadi tauladan bagi keluarga yang
lain, betul hadirin? Demikianlah yang dapat kami sampaikan.
Jalan- jalan ke Jakarta, pulangnya naik mobil mersi
Demikian syarahan dari kami, cukup sekian terima kasih