Senin, 05 Oktober 2020

JINAYAT, DIYAT, DAN KAFARAT

JINAYAT, DIYAT, KAFARAT


A. JINAYAH

Jinayah merupakan kata jadian (mashdar) dari kata kerja jana-yajni-jinayatan. Jinayah secara bahasa (etimologi) adalah nama bagi perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan. Sedangkan jinayah menurut istilah (terminologi) adalah suatu perbuatan yang dilarang syara', baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnyas. Term jinayah ini memiliki beberapa makna yang konotasinya adalah segala bentuk perbuatan jahat. Dalam rumusan lain disebutkan bahwa jinayah adalah perbuatan dosa besar atau kejahatan (kriminal), misalnya: membunuh, melukai seseorang, atau membuat cacat anggota badan seseorang.

Abu Muhammad Mahmud dalam kitabnya al-Binayah fi-syarah al-Hidayah mendefinisikan jinayah, setiap perbuatan yang bisa merugikan atau mendatangkan bencana terhadap jiwa dan harta orang lain“. Menurut Abdul Qodir Audah, jinayat secara etimologis adalah nama (sebutan) bagi seseorang yang berbuat tindak pidana (delik) atau orang yang berbuat kejahatan.

Sedangkan menurut Sayid Sabiq, jinayat menurut definisi undangundang adalah kejahatan yang diancam dengan kematian atau kerja paksa atau pengasingan.

Selain term jinayah, ada jarimah yang secara istilah dianggap sinonim dengan jinayah. Jarimah secara bahasa (etimologi) berarti melakukan setiap perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, keadilan, dan jalan yang lurus (agama). Sedangkan secara istilah (terminologi) sebagaimana dikemukakan imam Al-Mawardi, jarimah adalah perbuatan yang dilarang syar'i 'at (hukum Islam) dan diancam Allah dengan hukuman had atau ta'zir”.

Definisi yang lain, jarimah adalah segala perbuatan yang dilarang dan diancam sanksi dengan ketetapan syari 'at (hukum Islam). Jarimah terbagi dalam tiga jenis, yaitu:
(1) jarimah hudud yang terdiri:
zina,
a. menuduh orang lain berzina (qadij),
b. minum khamar,
c. pencurian,
d. perampokan,
e. berbuat makar terhadap pemerintah yang   sah,
f. dan murtad yang disertai ancaman terhadap ideologi umat Islam;

(2) jarimah qishash (diat) yang terdiri:
a. pembunuhan sengaja,
b. pembunuhan semi sengaja,
c. pembunuhan tersalah (salah sasaran) dan d. melukai (al-jarh);

(3) jarimah ta ’zir, yaitu larangan atau perintah tentang suatu hal yang ketentuan dan sanksinya tidak dirumuskan secara pasti dalam nash Alquran dan hadis, di mana prosedur pelaksanaan hukuman diserahkan atas kebijakan (policy) hakim atau penguasa.

Adapun Hadis tentang pensyari'atan jinayat di antaranya:

Dari Ubadah bin Shamit ra., Rasulullah bersabda:

البكْر بالبِكْر جَلْدُ مائة ونَفْيُ سَنَة والثّيّبُ بالثّيّبِ ، جَلْدُ مائة والرّجْم

Artinya:

“Perawan dengan perjaka (jika berzina) maka dicambuk 100 kali dan diasingkan setahun. Duda dengan janda (jika berzina) maka dicambuk 100 kali dan dirajam dengan batu“. (HR. Muslim).

Berdasarkan riwayat hadis di atas, ulama sepakat untuk melaksanakan hukuman cambuk 100 kali dan pengasingkan (taghrib) selama satu tahun. Dengan demikian, untuk hukuman pengasingan selama satu tahun, mayoritas ulama mengatakan wajib. Pengasingan pelaku zina dilakukan setelah dicambuk 100 kali. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat tentang pengasingan. Menurut Imam Abu Hanifah, taghrib merupakan hukuman yang tidak wajib dan dapat diserahkan kepada kebijakan ulil amri (pemerintah). Selanjutnya Imam Abu Hanifah mengatakan, hukuman pengasingan (taghrib) bukanlah termasuk had, melainkan dikategorikan ta ’zir. Berbeda dengan imam Abu Hanifah, Imam Malik berpendapat, yang diasingkan hanya pelaku laki-laki, sedangkan pezina wanita tidak boleh dibuang, karena seorang wanita tidak boleh pergi sendirian melainkan harus di dampingi mahramnya. Sedangkan menurut Imam Syafi'i, Imam Ahmad, dan Imam Daud al-Zhahiri, hukuman pengasingan selama satu tahun itu dikenakan kepada keduanya (lelaki dan perempuan). Dalam mazhab al-Syafi'i ada ketentuan tambahan, khusus bagi pezina perempuan, pada saat menjalani sanksi pengasingan selama satu tahun, wajib didampingi mahramnya. Selain itu, definisi taghrib dimaknai para ulama secara berbeda. Menurut imam Abu Hanifah dan imam Malik, taghrib maksudnya adalah hukuman penjara. Menurut Imam Syati’l dan Imam Ahmad, taghrib adalah dibuang ke tempat pengasingan. Kalau yang dibuang perempuan, harus tetap diawasi walinya. Hukuman jaldah (cambuk) bagi pelaku zina yang belum menikah (aI-bikr) adalah wajib karena di dalamnya terdapat hak Tuhan dan manusia, dan hakim tidak bisa mengurangi atau menambah jumlah cambukan atau mengganti hukuman cambuk dengan yang lain.

B. DIYAT

Diyat secara etimologi berarti denda berbentuk harta. Secara terminologi, diyat adalah harta yang diserahkan kepada keluarga (ahli waris) kurban, akibat melakukan kejahatan kepada orang lain dengan menghilangkan nyawa atau melukai orang. Dengan definisi semacam ini bearti diyat dikhususkan sebagai pengganti jiwa atau yang semakna dengannya; artinya pembayaran diyat itu terjadi karena berkenaan dengan
kejahatan terhadap jiwa (nyawa) seseorang.  Sedangkan diyat untuk anggota badan disebut “Irsy.

Di antara dalil disyariatkannya diyat apakah hadis sebagai berikut:

Hadis riwayat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيْلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُفْدَى وَإِمَّا أَنْ يُقْتَل


Artinya:

“Barang siapa yang menjadi keluarga korban terbunuh, ia memilih dua pilihan, bisa memilih untuk memaafkannya dan bisa untuk meminta diat (tebusan) .” (HR. Tirmidzi).

Pada mulanya pembayaran diyat menggunakan unta, tetapi jika unta sulit ditemukan, pembayarannya dapat menggunakan barang lainnya, misalnya menggunakan emas, perak, uang, baju, dan lain-lain yang kadar nilainya disasuaikan dengan unta. Diyat diwajibkan kepada pembunuh yang tidak dijatuhi hukum qishash dengan membayar sejumlah barang

atau uang sebagai pengganti hukum qishash setelah dimaafkan anggota keluarga atau ahli waris korban.

4. Penyebab dan Jenis Diyat Diyat terjadi disebabkan beberapa faktor, di antaranya sebagai berikut:

a. Pelaku membunuh dengan sengaja (aI-qallu 'amdan) yang dimaafkan keluarga terbunuh.

b. Pelaku membunuh dengan tersalah atau tidak disengaja (aI-qatlu khata'an).

c. Pelaku pembunuhan melarikan diri sebelum qishash dijatuhkan.

d. Memotong atau membuat cacat (mencederai) anggota tubuh seseorang lalu dimaafkan.

Diyat dilihat dari kuantitas denda yang harus dibayarkan, digolongkan menjadi dua macam, yaitu:

Pertama, diyat mughalladzah (denda berat), yaitu membayar denda 100 ekor unta terdiri dari: 30 hiqqatan (unta betina berumur 3 masuk 4 tahun), 30 ekor jadza'atan (unta betina umur 4 masuk 5 tahun), dan 40 ekor khalifatan (unta betina yang bunting)”. Diyat mughalladzah (denda berat) wajib dibayarkan sebagai:

a. Ganti hukuman bunuh (qishash) yang dimaafkan pihak ahli waris kepada pembunuh yang melakukan pembunuhan dengan disengaja (al-qatlu 'amdan). Diyat kategori ini wajib dibayar tunai si pembunuh sendiri.

b. Pembunuhan ”sepeni sengaja” (aI-qatlu syibhu 'amdin). Diyat kategori ini wajib dibayar keluarga si pembunuh, boleh diangsur dalam tiga tahun, di mana tiap-tiap akhir tahun wajib dibayar sepertiganya.

c. Ganti hukuman pembunuhan yang tidak disengaja (al-qatlu khata'an) yang dilakukan pada bulan-bulan Haram, yaitu: bulan Dzulqa'dah, Dzulhijah, Muharam, dan Rajab).

d. Ganti hukuman pembunuhan yang tidak disengaja (aI-qatlu khata 'an) yang dilakukan di tanah Haram, misalnya kota Mekah.

e. Ganti hukuman pembunuhan yang tidak disengaja terhadap seorang muslim, kecuali pembunuhan orang tua terhadap anaknya. Ketentuan semacam ini tidak berlaku.

Kedua, diyat mukhoffafah (denda ringan), dengan membayar 100 ekor unta, terdiri dari: 20 ekor hiqqah, 20 ekor jadza'ah, 20 ekor binta labun (unta betina lebih dari dua tahun), dan 20 ekor unta ibnu labun (unta jantan berumur lebih dari satu tahun), dan 20 ekor unta bima makhad (unta betina berumur lebih dari satu tahun). Denda ini wajib dibayarkan keluarga

yang membunuh dalam masa tiga tahun, tiap-tiap akhir tahun dibayar sepertiganya.

Diyat Mukhoffah (denda ringan) ini dijatuhkan kepada:

a. Orang yang membunuh tidak disengaja (aI-qatlu kimia 'an) selain di tanah Haram, bulan Haram dan, bukan kepada swama Muslim. Masa pembayarannya boleh diangsur selama tiga tahun.

b. Orang yang sengaja memotong atau membuat cacat atau melukai anggota badan seseorang.

Adapun ukuran diyat mukhoffah selain pembunuhan sebagai berikut:

1. Membayar  diyat mukhoffah secara penuh bagi orang yang melakukan kejahatan, memotong dua tangan, dua kaki, dua telinga, hidung, lidah, dua bibir, kemaluan laki-laki, dua mata, tempat keluamya suara, penglihatan, atau merusak pendengaran.

2. Membayar setengah diyat mukhoffafah berlaku bagi orang yang memotong salah satu anggota tubuh yang memiliki pasangan.

3. Membayar sepertiga diyat mukhaffafah berlaku bagi orang yang melukai kepala sampai otak dan melukai badan sampai perut.

4. Membayar diyat 15 ekor unta, jika melukai sampai mengakibatkan putusnya jari tangan maupun jari kaki.

5. Membayar diyat 5 ekor unta, jika melukai sampai gigi tanggal.

Jika denda tidak dapat dibayar dengan unta, wajib dibayar dengan uang sebanyak harga unta. Ini pendapat sebagian ulama. Pendapat ulama yang lain, boleh dibayar dengan uang sebanyak 12.000 Dirham (kira-kira 37,44 kg perak). Kalau denda itu termasuk denda berat, ditambah sepertiganya.

Pembayaran diyat bagi pembunuh kepada keluarga korban, disamping untuk menghilangkan rasa dendam juga mengandung hikmah sebagai berikut:

a. Memberikan maaf kepada orang lain karena sesuatu hal sudah terjadi.

b. Menjadi pelajaran, agar hati-hati dalam bertindak bahkan takut melakukan kejahatan. Karena harta seseorang bisa habis bahkan bisa jatuh melarat untuk membayar diyat.

c. Menjunjung tinggi terhadap perlindungan jiwa dan raga.

C. KAFARAT

 Secara bahasa, kaffârah (Arab)—sebagian kita mengenalnya dengan istilah kifârah atau kifarat—berasal dari kata kafran yang berarti ‘menutupi’. Maksud ‘menutupi’ di sana adalah menutupi dosa. Makna itu kemudian dipergunakan untuk makna lain, bahkan untuk makna yang berseberangan, termasuk makna perbuatan yang tak sengaja, seperti kesalahan dalam membunuh, sebagaimana dikemukakan dalam Tahrîru Alfâzhit Tanbîh karya Abu Zakariya Muhyiddin ibn Syaraf al-Nawawi (wafat 676 H) [Damaskus, Darul Qalam: 1408 H], cetakan pertama, jilid I, halaman 125). Mayoritas ahli bahasa menyebut, kata "kaffarah" juga masih satu rumpun dengan kata "kufur" atau "kufrun" karena kesamaan makna, yakni "menutupi," hanya saja berkonotasi negatif. Maksud ‘menutupi’ di sini adalah menutupi hak yang semestinya diperlihatkan. Kata kufur ini juga sering disandingkan dengan kata nikmat, yang berarti menutupi nikmat Allah dengan tidak menysukurinya. Namun, kufur yang paling besar adalah menutupi atau menentang keesaan Allah, kenabian, dan syariat. Demikian menurut menurut Syekh Zainuddin Al-Manawi dalam At-Tauqîf ‘alâ Muhimmâtit Ta‘ârîf, (Kairo, ‘Alamul Kutub: 1990 M], cetakan pertama, jilid I, halaman 282).  Lebih populer, istilah kaffarah atau kafarat lebih dikenal sebagai penebus kesalahan, sanksi, atau denda atas pelanggaran yang dilakukan. (Lihat A Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir, [Surabaya, Pustaka Progresif: 2002 M], cetakan ke-25, halaman 1218). Kemudian, jika dilihat dari hakikatnya, kafarat hanya berhubungan dengan hak Allah sehingga harus dibedakan dengan diat yang merupakan hak sesama makhluk, antara lain hak keluarga korban pembunuhan. Adapun fidyah adalah harta tebusan yang dipersembahkan karena Allah akibat kelalaian dalam beribadah, sebagai kafarat atas kelalaian dalam ibadah tersebut. Contoh dari kafarat ibadah puasa, bercukur, atau mengenakan pakaian yang dijahit saat ihram. Lihat Ahmad Mukhtar Abdul Hamid, Mu‘jamul Lughah Al-‘Arabiyyah Al-Mu‘ashirah, [Kairo, ‘Alamu Kutub: 2008 M], cetakan pertama, jilid II, halaman 1682). Secara umum, fidyah terbagi atas dua, ada yang berupa takaran mud dan ada yang berupa dam. Fidyah yang berupa mud di antaranya adalah fidyah puasa orang tua, fidyah karena mengakhirkan qadha, mencabut satu helai rambut saat ihram, memotong satu kuku. Sedangkan fidyah yang berupa dam antara lain karena berburu hewan Tanah Haram, karena bersenggama saat ihram, mencukur rambut, mengenakan wewangian, memakai pakaian dijahit, memotong kuku, meninggalkan ihram dari miqat, menebang pohon Tanah Haram, meninggalkan thawaf qudum dan thawaf wada‘, dam tamattu dan qiran. Dengan demikian, fidyah adalah harta tebusan yang menjadi turunan dari kafarat. Sedangkan dam adalah turunan dari fidyah atau bentuk dari kafarat akibat pelanggaran dalam ibadah haji. Selanjutnya, Syekh Ahmad bin Ahmad Al-Mahamili dalam Al-Lubab fîl Fiqhis Syâfi‘i (Madinah, Darul Bukhari: 1416 H], terbitan pertama, halaman 184) menyebutkan bahwa secara umum kafarat ada empat: (1) kafarat zhihar, (2) kafarat hubungan badan di bulan Ramadhan, (3) kafarat pembunuhan, dan (4) kifarat yamin.  Itulah keempat jenis kafarat yang dikemukakan oleh Syekh Ahmad bin Ahmad. Hanya saja, dalam beberapa kitab yang lain, yaitu Al-Majmu‘ Syarhul Muhadzab, ada jenis kafarat yang kelima, yakni kafarat haji. Ini artinya, terdapat perbedaan dalam memandang kafarat haji. Perbedaan ini, salah satunya, disebabkan karena pelanggaran dalam ibadah haji oleh sebagian ulama tidak disebut sebagai kafarat, melainkan sebagai dam atau fidyah. Dengan kata lain, dam merupakan bentuk kafarat dalam pelanggaran ibadah haji sehingga dalam penggunaannya bisa saling menggantikan.  Bentuk kafarat sendiri bisa dengan memerdekakan budak, berpuasa, atau memberi makan orang miskin. Dalam praktiknya, ada kafarat yang harus berurutan, ada yang boleh dipilih salah satunya sebagaimana petikan berikut: وَيَدْخُلُ الْعِتْقُ بِهَا فِي نَوْعَيْنِ الْأَوَّلُ الْكَفَّارَةُ تَرْتِيبًا بِنَصْبِهِ تَمْيِيزًا وَهُوَ كَفَّارَةُ الظِّهَارِ وَالْقَتْلِ وَالْجِمَاعِ فِي نَهَارِ رَمَضَانَ  وَالثَّانِي  الْكَفَّارَةُ  تَخْيِيرًا وَهُوَ كَفَّارَةُ الْيَمِينِ  Artinya, “Masuknya memerdekakan budak ke dalam kafarat terbagi menjadi dua keadaan. Pertama, ke dalam kafarat yang harus dilakukan berurutan dan dibedakan pelaksanaannya, yakni kafarat zhihar, kafarat pembunuhan, dan kafarat hubungan badan sengaja di siang hari. Kedua, masuk ke dalam kafarat yang boleh dipilih, yakni kafarat yamin (sumpah),” (Lihat Syekh Zakariya Al-Anshari, Asnâl Mathâlib fî Syarhi Raudhatit Thâlib, [Tanpa catatan kota, Darul Kitab Al-Islami], tanpa tahun, jilid III, mulai dari halaman 362). Pertama, kafarat zhihar. Kata zhihar sendiri diambil dari kata zhahr yang berarti ‘punggung’. Kemudian, istilah ini dipergunakan ketika ada seorang suami menyamakan punggung istrinya dengan punggung ibunya, seperti mengatakan, “Bagiku, engkau seperti punggung ibuku.” Hanya bagian tubuh punggung yang disamakan, bukan yang lain, sebab hanya bagian itu yang biasa dipakai menggendong. Hukumnya haram dilakukan berdasarkan ayat yang artinya, “Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) istri mereka itu bukanlah ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun,” (Surat Al-Mujadilah ayat 2). Pada zaman Jahiliyyah, zhihar menjadi cara menceraikan istri seperti halnya ilâ. Namun, setelah Islam datang, hukumnya diharamkan dan pelakunya terkena kafarat jika ingin menarik kembali ucapannya berdasarkan lanjutan ayat di atas, “Orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (Surat Al-Mujadilah ayat 2).

 يَحْرُمُ بِوُجُوبِ الْكَفَّارَةِ لَهُ  وَطْءٌ مِنْ
الْمُظَاهِرِ  حَتَّى يُكَفِّرَ بِالْإِطْعَامِ أَوْ غَيْرِهِ

 Artinya, “Dengan adanya
 kewajiban kafarat, haram bagi suami yang melakukan zhihar berhubungan badan sampak zhiharnya ditutupi atau dikafarati dengan memberi makanan atau yang lainnya,”
 (Lihat Syekh Zakariya Al-Anshari, Asnâl Mathâlib fî Syarhi Raudhatit Thâlib, [tanpa kota, Darul Kitab Al-Islami: tanpa tahun], jilid II, mulai dari halaman 360).

Adapun kafaratnya adalah memerdekakan seorang budak perempuan mukmin yang normal tanpa cacat. Jika tidak mampu, seseorang harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, ia harus memberi makanan kepada enam puluh orang miskin, masing-masing satu mud, berdasarkan ayat berikut,

 “Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih,” (Surat Al-Mujadilah ayat 2-4).

 Berbeda dengan kafarat yang lain, kafarat zhihar tidak memberi pilihan. Artinya, ketiga bentuk kafaratnya harus ditempuh sesuai urutan dan kemampuan, sebagaimana di atas.

Kedua, kafarat hubungan badan siang hari di bulan Ramadhan. Adapun urutan kifaratnya sebagaimana kafarat zhihar, yakni  memerdekakan hamba sahaya perempuan yang beriman, berpuasa selama dua bulan berturut-turut atau memberi makanan kepada 60 orang miskin, masing-masing sebanyak satu mud.   Kifarat di atas berdasarkan hadis Abu Hurairah. Disebutkannya, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. lantas berkata, “Celakalah aku! Aku mencampuri istriku (siang hari) di bulan Ramadhan. Ia bersabda, “Merdekakanlah seorang hamba sahaya perempuan.” Dijawab oleh laki-laki itu, “Aku tidak mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berpuasalah selama dua bulan berturut-turut.” Dijawab lagi oleh laki-laki itu, “Aku tak mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berikanlah makanan kepada enam puluh orang miskin,” (HR Al-Bukhari). يجب مع القضاء للصوم الكفارة العظمى والتعزير على من أفسد صومه في رمضان يوما كاملا بجماع تام آثم به للصوم Artinya, “Selain qadha, juga wajib kifarah ‘uzhma disertai ta‘zir bagi orang yang merusak puasanya di bulan Ramadhan sehari penuh dengan senggama yang sesungguhnya dan dengan senggama itu pelakunya berdosa karena puasanya.” (Lihat Syekh Salim bin Sumair Al-Hadhrami, Safînatun Najâ, [Tanpa keterangan kota, Darul Ihya: tanpa tahun], cetakan pertama, halaman 112). Ketiga, kafarat pembunuhan. Maksud pembunuhan di sini adalah pembunuhan yang tidak disengaja. Sebab, pembunuhan yang disengaja tidak ada kafarat di dalamnya, yang ada hanya qisas atau diyat tunai yang ditanggung si pembunuh, jika tidak dibebaskan oleh keluarga terbunuh. Adapun kafarat pembunuhan yang tak disengaja—di saamping membayar diat—adalah memerdekakan seorang budak perempuan mukmin. Jika tidak mampu, maka kafaratnya adalah berpuasa selama dua bulan berturut-turut, berdasarkan ayat berikut:  Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena kesalahan (tak sengaja), dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin karena kesalahan (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat  yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, (Q.S. al-Nisa’ [4]: 92). Keempat, kifarat yamin. Yamin itu berarti ‘sumpah’. Sehingga, maksud kafarat yamin adalah kafarat sumpah. Ia dilakukan karena melanggar sumpah atau menyampaikan sumpah palsu. Contohnya seseorang bersumpah, “Demi Allah, aku tidak akan masuk lagi ke rumah si anu.” Kemudian, ia memasukinya, maka wajiblah ia menjalankan kifarat. Atau seseorang mengatakan, “Demi Allah, aku tidak mengambil barangmu,” padahal dia mengambilnya. Termasuk ke dalam sumpah ini adalah sumpah untuk meninggalkan kebaikan, seperti, “Demi Allah, aku tidak akan membantu anak yatim.” Maka sumpah itu harus dilanggarnya dan dibayar kafaratnya.  Adapun bentuk kafaratnya adalah memberi makanan kepada sepuluh orang miskin, memberi pakaian kepada mereka, memerdekakan budak, atau berpuasa selama tiga hari. Hanya saja, kafarat ini bersifat pilihan. Artinya, boleh dipilih sesuai dengan kemampuan dan keinginan.  Perihal kafarat ini, Allah telah menjelaskannya dalam Al-Quran, Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya), (Surat Al-Ma’idah ayat 89).  Sebagaimana kafarat yang lain, kafarat ini berlaku secara akumulatif. Artinya, ketika seseorang melakukan sumpah palsu sebanyak 5 kali, maka 5 kali pula kifarat yang harus dijalankannya.  Termasuk ke dalam kafarat yamin ini adalah kafarat ‘ila. Walau dari segi praktik, ila sama dengan zhihar sebagai salah satu cara menceraikan istri pada zaman Jahiliah. Tetapi dari segi pelanggaran, ia termasuk ke dalam kafarat yamin. Sebab, ila sendiri  tak lain adalah sumpah. Contohnya, “Aku bersumpah tidak akan mencampuri istri.” Dengan sumpah ini jelas istrinya menderita, karena tidak dicampuri, tidak pula diceraikan. Suami yang meng-ila istrinya setelah 4 bulan harus memilih antara kembali mencampuri isterinya dengan membayar kafarat sumpah atau menceraikan.   Kelima, kafarat haji. Sesungguhnya penggunaan istilah kafarat dalam ibadah haji lebih dikenal karena pelanggaran bersenggama sebelum tahalul pertama. Kafaratnya adalah menyembelih unta atau sapi dengan konsekuensi hajinya batal. Sedangkan kafarat atas pelanggaran lainnya lebih dikenal dengan istilah dam atau fidyah, dengan rincian:  Jika melanggar larangan ihram, seperti mencukur atau mencabur rambut, memotong kuku, memakai pakaian yang dijahit bagi laki-laki, memakai cadar atau sarung tangan bagi perempuan, memakai wewangian, maka fidyah atau damnya adalah memilih salah satu di antara: berpuasa tiga hari, bersedekah setengah sha‘ atau dua mud, atau menyembelih kambing.  Jika melanggar larangan membunuh hewan buruan, maka fidyah atau damnya adalah menyembelih hewan yang sebanding dengan yang diburu, bersedekah kepada fakir miskin senilai hewan yang diburu, atau berpuasa.  Kemudian, jika pelanggaran bersenggama terjadi setelah tahalul pertama, maka hajinya tidak batal dan wajib membayar dam satu ekor unta atau sapi. Sedangkan jika pelanggaran senggamanya setelah tahalul kedua, maka damnya hanya berupa seekor kambing.  Kemudian, jika seseorang tidak ihram dari miqat dan tidak pula kembali ke salah satu miqat, maka damnya adalah satu ekor kambing, atau berpuasa selama 10 hari: tiga hari pada masa haji, tujuh hari di luar luar masa haji.  Demikianlah gambaran umum tentang kafarat, fidyah, dan dam. Semoga bermanfaat. Wallahu ‘alam.

Daftar Kepustakaan

Fuad Thahari, Dr.,H, MA, 2016, Hadis Ahkam Kajian Hadis- Hadis Hukum Pidana Islam, Deepublish.

https://islam.nu.or.id/post/read/105925/penjelasan-umum-tentang-kafarat-fidyah-dan-dam-1, di download tanggal 4 April 2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar atau pertanyaan

KETENANGAN DAN KEGELISAHAN HATI

  KETENANGAN DAN KEGELISAHAN HATI   اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي شَرَحَ صُدُوْرَ الْمُوَفَّقِيْنَ بِأَلْطَافِ بِرِّهِ وَآلَائِهِ، وَنُوْرِ بَصَ...