Jumat, 07 Juli 2023

Khutbah Jum'at: QONA’AH DALAM KEHIDUPAN

 

QONA’AH DALAM KEHIDUPAN

Khutbah ke 1

الحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ عَلَى قُلُوْبِ اْلمُسْلِمِيْنَ المُؤْمِنِيْنَ، وَجَعَلَ الضِّياَقَ عَلَى قُلُوْبِ الْمُنَافِقِيْنَ وَالْكَافِرِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ الْمَلِكُ اْلحَقُّ اْلمُبِيْنُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الصَّادِقُ الْوَعْدِ الأَمِيْنِ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلمِّ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ المَبْعُوْثِ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ. أَمَّا بَعْدُ

أَيُّهاَ اْلحَاضِرُوْنَ اْلمُسْلِمُوْنَ حَفِظَكُمُ اللهُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ. قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

Jamaah shalat Jumat Rohimakumullah,

Khatib mengajak diri sendiri dan para jamaah sekalian untuk senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala, mempertajam kesadaran ilahiah, mempertebal sikap berserah diri kepada-Nya. Adapun tema Khutbah Jum’at saat ini adalah QONA’AH DALAM KEHIDUPAN.

 

Pengertian Qana'ah

Di dalam kitab  غريب القرآن  في الفردات  di sebutkan bahwa Arti dari kata لقناعة adalah mengambil sedikit dari barang-barang yang diperlukan.

 

Sedangkan didalam Risalah Qusyairiyyah, imam al-Qushairi mengutip pendapat Muhammad bin Ali at Tirmidzi, beliau menegaskan: Qanaah adalah kepuasan jiwa terhadap rezeki yang diberikan.

Dalam Pengertian lain dikatakan qanaah adalah menemukan kecukupan di dalam yang ada dan tidak menginginkan apa yang tidak ada. Berkaitan dengan Qona'ah ini تعالى و سبحانه الله berfirman di dalam al-Qur'an surah an-Nahl ayat 97:

 

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Artinya:

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”

Di dalam Tafsir al-Qurthubi, di antara tafsir dari طيبة حياة pada ayat di atas adalah: القناعة. Dan pembahasan qana’ah dalam sunan Ibnu Majah tersebut disebutkan pula hadits dari ’Abdullah bin ’Amr bin Al ’Ash, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

 

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ هُدِىَ إِلَى الإِسْلاَمِ وَرُزِقَ الْكَفَافَ وَقَنِعَ بِهِ

”Sungguh beruntung orang yang diberi petunjuk dalam Islam, diberi rizki yang cukup, dan qana’ah (merasa cukup) dengan rizki tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 4138).

Mengapa kita harus bersikap Qana'ah?

Secara umum, alasannya adalah agar hidup kita tenang baik di dunia lebih- lebih lagi akhirat. Karena, jika kita selalu tidak merasa cukup dengan pemberian الله kepada kita, bahkan selalu melihat orang lain yang lebih dari kita, baik lebih harta, bentuk tubuh, istri, anak dan lain sebagainya, maka inilah yang membuat jiwa semakin resah.

Dikisahkan bahwa ada sahabat Nabi kita Muhammad سلم و  عليه  الله صلى  Aun bin Utbah. Aun menuturkan, "Pernah aku bergaul dengan orang-orang kaya sehingga tidak seorang pun yang lebih banyak berduka daripadaku. Aku melihat kendaraan yang lebih bagus daripada kendaraanku dan pakaian yang lebih indah daripada apa yang kupakai." Dalam keadaan seperti itu. Aun bin Abdullah mendengar sabda Rasulullah, "Jika seorang dari kamu melihat orang yang dianugerahi harta dan rupa yang indah, hendaklah ia melihat kepada orang yang lebih rendah daripadanya karena itu lebih pantas supaya kamu tidak merasa kurang terhadap nikmat Allah yang diberikan kepadamu." Aun berkata lagi, "Setelah aku mendengar itu, aku pun menjadi lebih banyak bergaul dengan orang-orang fakir. Alhamdulillah, aku mendapatkan ketenangan yang sebelumnya tidak terbayangkan."

Lebih jelasnya cara agar timbul Qana'ah di dalam diri kita adalah pada hadits berikut ini:

Dalam bab yang sama pada Sunan Ibnu Majah disebutkan pula hadits,

 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ ». قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ « عَلَيْكُمْ »

”Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Lihatlah pada orang yang berada di bawah kalian dan janganlah perhatikan orang yang berada di atas kalian. Lebih pantas engkau berakhlak seperti itu sehingga engkau tidak meremahkan nikmat yang telah Allah anugerahkan -kata Abu Mu’awiyah- padamu.” (HR. Ibnu Majah no. 4138).

Apakah Qana’ah itu hanya diam saja tanpa usaha?

Qanaah bukan berarti diam berpangku tangan dan bermalas-malasan tidak mau meningkatkan kesejahteraan hidup tapi sesungguhnya orang yang qana’ah adalah orang yang sangat kuat dan bersahaja, dia giat berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan yang dicita-citakan. Namun Qana’ah itu sangat berkaitan dengan hasil yang telah di capai setelah berusaha, apabila menemui kegagalan dia tidak pernah berputus asa dan kecewa, bahkan ia selalu sabar dan husnuzhan dengan keputusan Allah, karena dia punya keyakinan bahwa di balik semua peristiwa dalam hidup pasti ada hikmahnya.

 

Bolehkah kita kaya?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

لاَ بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنِ اتَّقَى خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى وَطِيبُ النَّفْسِ مِنَ النِّعَمِ

”Tidak mengapa seseorang itu kaya asalkan bertakwa. Sehat bagi orang yang bertakwa itu lebih baik dari kaya. Dan hati yang bahagia adalah bagian dari nikmat.” (HR. Ibnu Majah no. 2141 dan Ahmad 4: 69).

 

Disebutkan pula di dalam hadits Abu Hurairah berikut ini:

 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ »

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Yang namanya kaya bukanlah dengan memiliki banyak harta, akan tetapi yang namanya kaya adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446, Muslim no. 1051, Tirmidzi no. 2373, Ibnu Majah no. 4137). 

 

Ghina nafs dalam hadits ini yang dimaksud adalah tidak pernah tamak pada segala hal yang ada pada orang lain. Imam Nawawi rahimahullah berkata,

 

مَنْ كَانَ طَالِبًا لِلزِّيَادَةِ لَمْ يَسْتَغْنِ بِمَا مَعَهُ فَلَيْسَ لَهُ غِنًى

”Siapa yang terus ingin menambah dan menambah lalu tidak pernah merasa cukup atas apa yang Allah beri, maka ia tidak disebut kaya hati.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 140).

 

Sebagai penutup, dari penjelasan di atas di peroleh kesimpulan:

1. Qanaah adalah kepuasan jiwa terhadap rezeki yang diberikan.

2. Cara agar bisa Qona’ah adalah dengan senantiasa orang yang berada di bawah kita dan janganlah perhatikan orang yang berada di atas kita.

3. Manusia boleh saja kaya harta asalkan ia bertaqwa.

4. Kaya yang sebenarnya adalah hati yang selalu merasa cukup.

 

Demikianlah khutbah Jum'at ini kami sampaikan. Dari lubuk hati yang paling dalam kami memohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan.

 

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ اْلكَرِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم٠

 

 

 

 

Khutbah ke 2:

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى قَالَ اللهُ تَعَالَى فِى الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

 

 

 

Kamis, 30 Maret 2023

Khutbah Jum'at: HAKIKAT IBADAH RAMADHAN

 


HAKIKAT IBADAH RAMADHAN

الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ، وَبِفَضْلِهِ تَتَنَزَّلُ الْخَيْرَاتُ وَالْبَرَكَاتُ، وَبِتَوْفِيْقِهِ تَتَحَقَّقُ الْمَقَاصِدُ وَالْغَايَاتُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لَانَبِيَّ بَعْدَهُ. اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ المُجَاهِدِيْنَ الطَّاهِرِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا آيُّهَا الحَاضِرُوْنَ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Kaum muslimin, jama’ah Jum’at Rahimakumullah.

Di dalam manajemen modern, khususnya manajemen pendidikan modern, kita menemukan ada istilah input, proses dan output. Input bisa di artikan sebagai bahan baku yang akan di masukkan, proses artinya adalah rangkaian tindakan atau pengolahan, output artinya keluaran atau hasil akhir. Ketiga istilah ini juga bisa kita kaitkan dengan firman اللهُ Subhanahu Wa ta’ala tentang puasa yaitu:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al- Baqarah: 183).

Dari ayat tentang puasa di atas dapat di ambil 3 unsur yakni (1) orang- orang yang beriman, (2) Ibadah Puasa, (3) Orang- orang yang bertaqwa. Jika ayat tentang puasa ini kita kaitkan dengan istilah manajeman pendidikan modern di atas, maka inputnya adalah orang-orang yang beriman, prosesnya adalah pelaksanaan Ibadah puasa dan ibadah lainnya, hasil akhirnya adalah orang- orang yang bertaqwa, sedangkan rentang waktu tarbiyah (pendidikan) yang di tempuh adalah selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan. Dan dapat kita perkirakan bahwa, perbedaan proses dalam melaksanakan rangkaian ibadah Ramadhan khususnya puasa, menyebabkan perbedaan tingkatan taqwa. Oleh karena itu, memperbagus proses kita dalam melaksanakan rangkaian ibadah puasa dan ibadah lainnya di bulan Ramadhan sangatlah penting. Memperpagus proses ibadah Ramadhan secara umum di lakukan melalui dua hal: (1) Menahan dan (2) Melakukan.

Kaum muslimin, jama’ah Sholat Jum’at Rahimakumullah.

1. Menahan

Ibadah utama yang khusus ada di bulan Ramadhan adalah berpuasa, hakikat berpuasa adalah menahan, baik menahan dari segala hal yang bisa membatalkan puasa, maupun menahan dari segala yang bisa membatalkan pahala puasa. Upaya kita dalam menahan ketika kita berpuasa ini, menyebabkan derajat puasa kita menjadi berbeda-beda antara satu dengan lainnya, seperti yang di jelaskan oleh Imam al Ghazali yang membagi tingkatan orang-orang yang berpuasa menjadi tiga. Beliau berkata dalam Ihya’ ‘Ulumiddin:

اعْلَمْ أَنَّ الصَّوْمَ ثَلَاثُ دَرَجَاتٍ صَوْمُ الْعُمُومِ وَصَوْمُ الخُصُوْصِ وَصَوْمُ خُصُوْصِ الخُصُوْصِ

Maknanya: “Ketahuilah bahwa puasa itu ada tiga tingkatan: (1) Puasa orang-orang umum, (2) Puasa orang-orang khusus dan (3) Puasa orang-orang yang terkhusus.

(1) Puasa orang-orang umum adalah mencegah perut dan kemaluan dari memenuhi syahwatnya. (2) Puasa orang-orang khusus -dan ini adalah puasanya orang-orang shalih- adalah mencegah mata, telinga, lidah, tangan, kaki dan semua anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa. (3) Sedangkan puasa orang-orang yang terkhusus adalah puasanya hati dari tekad-tekad yang buruk dan pikiran-pikiran duniawi dan mencegahnya dari segala hal selain Allah secara total. Berbuka dalam puasa bagi orang-orang tingkatan ketiga ini adalah dengan berfikir tentang selain Allah dan hari akhir dan dengan berfikir tentang dunia. Ini adalah tingkatan para nabi, shiddiqin dan muqarrabin.

Untuk menaikkan derajat taqwa kita melalui ibadah puasa maka sebaiknya kita menambah hal- hal yang harus kita tahan. Mulailah kita mencegah mata, telinga, lidah, tangan, kaki dan semua anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa. Tinggalkan hal- hal yang sia- sia. Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

“Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976)

2. Melakukan

Yakni melakukan ibadah – ibadah wajib dan sunnah, seperti sholat 5 waktu, menepati janji, berbuka dengan makanan yang halal dan sumbernyapun halal, menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur, memperbanyak membaca al- Qur’an, tadabbur al- Qur’an, Tadarus al- Qur’an, istiqomah menuntut ilmu agama, mencari dan membantu orang yang membutuhkan, memperbanyak sedekah, banyak berdo’a, berusaha mendapatkan lailatul Qodr, i’tikaf dan beragam amal ibadah lainnya.

Kaum muslimin, jama’ah Jum’at Rahimakumullah.

Akhirnya dari khutbah ini di peroleh kesimpulan bahwa hakikat ibadah Ramadhan adalah menahan dari segala yang membatalkan puasa dan segala yang menghilangkan pahala puasa serta melaksanakan beragam amal ibadah lainnya yang wajib dan sunnah yang tujuan semuanya agar kita betul- betul menjadi orang-orang yang bertaqwa.

   جَعَلَنا اللهُ وَإيَّاكم مِنَ الفَائِزِين الآمِنِين، وَأدْخَلَنَا وإِيَّاكم فِي زُمْرَةِ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ : أعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمْ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمْ: وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ. باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ وذِكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ

Khutbah II

   اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ عِبَادَاللهِ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

وقال بعض الحكماء: يجتاج العمل أربعة أشياء حتى يسلم: أولها العلم قبل بدئه لأن العمل لا يصلح إلا بالعلم، فإذا كان العمل بغير علم كان ما يفسده أكثر مما يصلحه. والثاني النية في مبدئه لأن العمل لا يصلح إلا بالنية...والثالث الصبر في وسطه، يعني يصبر فيه حتى يؤديه على السكون والطمأنينة. والرابع الإخلاص عند فراغه، لأن العمل لا يقبل بغير إخلاص، فإذا عملت بالإخلاص يتقبل الله تعالى منك، وتقبل قلوب العباد منك



-------------------------------------

Artinya, “Sebagian orang bijak berkata, ‘Amalan butuh pada empat hal agar selamat: pertama, berilmu sebelum memulainya, karena amal tidak sah tanpa ilmu. Bila amal dilakukan tanpa ilmu, mudharatnya lebih banyak ketimbang maslahatnya. Kedua, niat pada saat memulainya, karena amalan tidak sah tanpa niat. Ketiga, sabar ketika menjalankannya agar mencapai ketenangan. Keempat, ikhlas ketika selesai beramal, karena amalan tidak akan diterima tanpa keikhlasan, bila kamu ikhlas Allah akan menerima amalanmu dan hati orang-orang yang beribah pada Allah (beriman) juga akan menerimanya.”


Kamis, 08 Desember 2022

Berbakti Kepada Kedua Orang Tua


 Berbakti Kepada Kedua Orang Tua

Di dalam istilah Islam birrul walidaini, secara bahasa maknanya adalah berbuat baik (berbakti) kepada kedua orang tua. Dan ini adalah perintah dari Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam Firman-Nya:

  وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا 

Artinya: “Dan kalian sembahlah Allah dan jangan kalian sekutukan Ia dengan apa pun, dan dengan bersikap baik kepada kedua orang tua.” (QS An-Nisa’: 36)

di Dalam Tafsir Jalalain di jelaskan tentang ayat ini yaitu: (Sembahlah olehmu Allah) dengan mengesakan-Nya (dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan suatu pun juga.) (Dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak) dengan berbakti dan bersikap lemah lembut.

Syaikh Muhammad Ali as- Sayis di dalam tafsir ayatil ahkam menjelaskan bahwa cukuplah ayat ini sebagai dalil mengagungkan hak kedua orang tua dan kewajiban berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tua. Dan sungguh banyak ayat- ayat dan hadits- hadits masyhur tentang kewajiban berbakti kepada kedua orang tua.

Banyak sekali keutamaan berbakti kepada kedua orang tua, di antaranya adalah:

1. Lebih utama dari berjihad

Syaikh Nashr as- Samarqandi di dalam kitabnya Tanbihul Ghafilin meriwayatkan hadits dari `Abdullâh bin `Amr  RA:

   جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ أَحَيٌّ اَبَوَاكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ 

“Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullâh, lalu dia minta idzin ikut berjihad. Rasulullâh bertanya: ‘Apakah kedua orang tuamu masih hidup?’ Lelaki itu menjawab, “Ya.” Rasulullâh bersabda, “Berjihadlah di sisi keduanya!”

Selanjutnya Syaikh Nashr as- Samarqandi di dalam kitabnya Tanbihul Ghafilin dalam mengomentari hadits ini menyebutkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua lebih utama daripada jihad fi sabilillah.

2. Dipanjangkan umur dan bertambah rezekinya

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُمَدَّ فِي عُمْرِهِ، وَيُزَادَ فِي رِزْقِهِ، فَلْيَبَرَّ وَالِدَيْهِ، وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ 

Artinya, “Dari sahabat Anas bin Malik ra, Rasulullah bersabda, ‘Siapa saja yang ingin dipanjangkan umurnya dan bertambah rezekinya, hendaklah ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan menyambung silaturahim,’” (HR Ahmad).

3. Memperoleh ridho dari اَللَّهُ

وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ رِضَا اَللَّهِ فِي رِضَا اَلْوَالِدَيْنِ. 

Artinya, “Dari sahabat Abdullah bin Umar ra, dari Nabi Muhammad saw, ia bersabda, ‘Ridha Allah berada pada ridha kedua orang tua”.

Sebaliknya bagi mereka yang durhaka kepadakedua orang tua, atau salah satunya maka mereka mendapat murka dari اَللَّهُ. Sebagaimana lanjutan dari hadits di atas:

وَسَخَطُ اَللَّهِ فِي سَخَطِ اَلْوَالِدَيْنِ أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ

“Sedangkan murka-Nya berada pada murka keduanya,’” (HR At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim).

Bagaiman cara berbakti kepada kedua orang tua?

a. Orang tua yang beragama Islam (berbakti Ketika Hidup dan ketika wafat)

1). Ketika kedua orang tua atau salah satunya masih hidup

وإن كان لك والدان، فآداب الولد مع الوالدين: أن يسمع كلامهما، ويقوم لقيامهما؛ ويمتثل لأمرهما، ولا يمشي أمامهما، ولا يرفع صوته فوق أصواتهما، ويلبي دعوتهما، ويحرص على مرضاتهما، ويخفض لهما جناح الذل، ولا يمن عليهما بالبر لهما ولا بالقيام لأمرهما، ولا ينظر إليهما شزراً، ولا يقطب وجهه في وجههما، ولا يسافر إلا بإذنهما 

Artinya, “Jika kau memiliki kedua orang tua, maka adab seorang anak terhadap keduanya adalah: 

1. mendengarkan ucapan keduanya, 

2. berdiri ketika keduanya berdiri, 

3. mematuhi perintah keduanya, 

4. tidak berjalan di depan keduanya (kecuali terpaksa karena keadaan), 

5. tidak mengeraskan suara melebihi suara keduanya, 

6. menjawab panggilan keduanya, 

7. berupaya keras mengejar ridha keduanya, 

8. bersikap rendah hati terhadap keduanya, 

9. tidak mengungkit kebaktian terhadap keduanya atau kepatuhan atas perintah keduanya, 

10. tidak memandang keduanya dengan pandangan murka, 

11. tidak memasamkan wajah di hadapan keduanya, 

12. dan tidak melakukan perjalanan tanpa izin keduanya,” (Lihat Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah).

b). Mendo’akan

Syaikh Nashr as- Samarqand di dalam kitabnya Tanbihul Ghafilin menjelaskan bahwa sebahagian tabi’in RA berkata:  “barangsiapa berdo’a untuk kedua orang tuanya dalam sehari semalam sebanyak 5 kali, maka sungguh ia telah menunaikan hak kedua orang tuanya, karena Allah berfirman:

  أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ 

Artinya: “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” (QS Luqman: 41) 

Bersyukur kepada Allah adalah dengan melaksanakan sholat 5 waktu sehari semalam, dan bersyukur kepada kedua orang tua adalah dengan mendoakan kedua orang tua setiap hari sebanyak 5 kali.

2. Ketika salah satu atau kedua orang tua sudah wafat

Dalam satu hadits, Rasulullah bersabda:

  إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ  

Artinya: "Apabila Manusia meninggal Dunia maka terputuslah amalnya kecuali karena tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya". (HR. Muslim: 1631)

Minimal hak mendo’akan kedua orang tua yang harus kita penuhi setiap hari sebanyak 5 kali sebagaimana yang telah di jelaskan sebelumnya.

Lebih jauh lagi Imam Ahmad menyebutkan hadits dari Abu Usaid pernah menceritakan sebuah hadits berikut:

 ١٦١٥٦ - حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّد قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الغسيل . قَالَ : حَدَّثني أسيدُ بْنُ عَلَيَّ، عَنْ أَبِيهِ عَلي بن عيد ، عَنْ أَبِي أُسَيْد (٤٩٨/٣) صَاحَب رَسُول الله ، وَكَانَ بَدْرِيَا وَكَانَ مَوْلاهُمْ . قَالَ : قال أبو أسيد : بَيْنَمَا أَنَا جَالَسَ عَنْدَ رَسُول اللَّهَ هُ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهَ هَلْ بَقِيَ عَلَيَّ مِنْ بِرٍّاَبَوَيَّ شَيْءٌ بَعْدَ مَوْتِهِمَا اَبَرُّهُمَا بِهِ ؟ قَالَ : نَعَمْ، حَصَال أَربَعَةُ : الصَّلاةُ عَلَيْهِمَا، وَالاِسْتِغْفارُ لَهُمَا، وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا ، وَإِكْرَامُ صديقهما ، وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا رَحِمَ لَكَ إِلا مِنْ قَبْلِهِمَا ، فَهُوَ الَّذِي بَقِيَ عَلَيْكَ مِنْ بِرِّهِمِا بَعْدَ مَوْتِهِمَا  

Artinya: “Suatu ketika saya sedang duduk-duduk bersama Rasulullah ﷺ. Tiba-tiba ada seorang laki-laki dari sahabat Anshar sowan. Ia bertanya kepada Rasul, ‘Ya Rasul, apakah saya bisa berbaik budi kepada kedua orang tua saya yang sudah meninggal?’ Rasul lalu menjawab, ‘Iya, ada empat hal, yaitu (1) mendoakan mereka, (2) memohonkan ampunan untuk keduanya, (3) menunaikan janji mereka dan memuliakan teman mereka, dan (4) menjalin silaturahim dengan orang-orang yang tidak akan menjadi saudaramu kecuali melalui perantara ayah-ibumu. Itulah budi baik yang harus kamu lakukan setelah mereka meninggal’.” (Musnad Ahmad: 16156) 

b. Ortu non muslim (Ketika hidup saja)

Perbedaan agama tidak boleh menjadi alasan bagi anak untuk membenci atau menjauhi kedua orang tua. Seorang anak dapat menunjukkan bakti luar biasa kepada kedua orang tua meskipun berbeda agama. Rasulullah SAW memberikan keteladanan kepada umat Islam perihal ini dengan baktinya kepada pamannya yang mendidik dan mengasuhnya sejak kecil, yaitu Abu Thalib.

Syekh Nawawi Banten di dalam kitab Syarah Maraqil Ubudiyyah mengatakan bahwa seorang anak harus bercengkerama secara hangat dengan kedua orang tuanya meskipun keduanya adalah non-Muslim pada urusan duniawi yang terlepas dari soal keyakinan dan pengamalan agama. 

وأما الوالدان الكافران فأدب الولد معهما مصاحبتهما في الأمور التى لا تتعلق بالدين ما دام حيا ومعاملتهما  بالحلم والاحتمال وما تقتضيه مكارم الأخلاق والشيم 

Artinya, “Perihal kedua orang tua yang kafir, maka tata krama anak terhadap keduanya adalah berbakti kepada mereka pada masalah-masalah yang tidak terkait dengan urusan agama selama mereka masih hidup, berinteraksi dengan keduanya dengan santun dan ‘nerima’, serta apa yang sesuai dengan tuntutan akhlak dan perilaku yang mulia”.


Kamis, 17 November 2022

Cara Memahami Ungkapan Kembali Kepada al- Qur’an dan Sunnah


 

Cara Memahami Ungkapan Kembali Kepada al- Qur’an dan Sunnah

 

Dalam berkehidupan tentu kita sering menemui permasalahan, baik permasalahan dalam keluarga, tetangga, rekan kerja, ataupun orang lain di sekitar kita, sehingga dibutuhkan pedoman atau tuntunan sebagai solusi dari permasalahan tersebut agar berbuah kemaslahatan. Sebagai seorang Muslim, tidak boleh tidak, yang harus dijadikan pedoman adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw,

   تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

Artinya, “Aku tinggalkan kepada kamu (umatku) dua perkara. Jika kamu berpegang teguh kepada keduanya maka niscaya kamu tidak akan tersesat untuk selama-selamanya. (Dua perkara itu adalah) al-Qur’an dan Sunnah” (HR. Malik).

Lalu bagaimanakah cara kita kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah? Sebab, tidak semua orang mampu menjadi penafsir atau memahami sunnah dengan baik kecuali mereka yang sehat aqidah, terbebas dari hawa nafsu, menguasai ilmu bahasa Arab dengan baik, dan menguasai ilmu yang berkaitan dengan ilmu tafsir hadits.

Seorang ulama besar yang ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih dan ahli dalam cabang ilmu agama Islam lainnya di dalamnya kitabnya al- Itqon fi ‘UlumilQur’an menjelaskan bahwa di antara para ulama ada yang berkata: “ boleh menafsirkan al- Qur’an bagi orang yang menguasai 15 ilmu, yaitu:

1.       Ilmu bahasa Arab

2.       Ilmu Nahwu

3.       Ilmu Shorf

4.       Ilmu Isytiqoq

5.       Ilmu Ma’ani

6.       Ilmu Bayan

7.       Ilmu Badi’

8.       Ilmu Qiroat

9.       Ilmu Ushuliddin

10.   Ilmu Ushul Fiqh

11.   Ilmu Ilmu asbabunnzul wal Qoshosh

12.   Ilmu nasikh dan Mansukh

13.   Ilmu Fiqih

14.   Ilmu Hadits

15.   Ilmu Mauhibah.

Jika kita belum menguasai 15 cabang ilmu di atas, tindakan mengajak kembali kepada al-Qur’an yang hanya bermodalkan terjemahan saja, maka ini sebagaimana di dalam kitab Tanwirul Qulub termasuk orang yang salah yang sesat dan menyesatkan orang lain.

Oleh karena itu kembalilah kepada para ulama, hal ini berdasarkan Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى :

   فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Artinya, "…maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. An-Nahl: 43).

Di dalam Tafsir Lathaif Isyarat, Imam al-Qusyairi mengatakan bahwa ahludz dzikri adalah ulama.

Jadi berdasarkan ayat di atas, maka kita wajib bertanya kepada para ulama tentang tafsir dari al- Qur’an dan begitu pula tentang pemahaman hadits, kita juga wajib bertanya kepada para ulama dengan merujuk kepada kitab- kitab tafsir dan syarah (penjelasan) hadits. Apa akibatnya jika kita hanya mengandalkan terjemah perkata dan pendapat sendiri? Rasulullah SAW bersabda:

وَمَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan logikanya (semata), maka silahkan ia mengambil tempat duduknya di neraka” (HR. Tirmidzi no. 2951).

Di Dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi syarah kitab hadits Imam Tirmidzi, Syaikh Mubarakfuri dengan logika semata maksudnya adalah hanya pendapat pribadi tanpa mengikuti pendapat para ulama yang ahli bahasa Arab yang sesuai dengan kaidah-kaidah Syari’at.

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja, maka hendaklah dia mengambil tempat tinggalnya di neraka”. (HR. Al-Bukhâri, no. 1229).

Cara agar kita tidak salah dalam memahami al- Qur’an dan Hadits adalah dengan bermadzhab, yakni mengikuti pemahaman dan manhaj salah satu imam madzhab yang 4 yang memang sudah diikuti dan di akui oleh para ulama besar lainnya.

Demikianlah, semoga bermanfaat bagi kita di dunia dan akhirat.

Rabu, 01 Juni 2022

MERUBAH MIND SET (POLA PIKIR) TERHADAP MUSIBAH


 MERUBAH MIND SET (POLA PIKIR) TERHADAP MUSIBAH

الحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ عَلَى قُلُوْبِ اْلمُسْلِمِيْنَ المُؤْمِنِيْنَ، وَجَعَلَ الضِّياَقَ عَلَى قُلُوْبِ الْمُنَافِقِيْنَ وَالْكَافِرِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ الْمَلِكُ اْلحَقُّ اْلمُبِيْنُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الصَّادِقُ الْوَعْدِ الأَمِيْنِ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلمِّ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ المَبْعُوْثِ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ. أَمَّا بَعْدُ

أَيُّهاَ اْلحَاضِرُوْنَ اْلمُسْلِمُوْنَ حَفِظَكُمُ اللهُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ. قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

Jamaah shalat Jumat حفظكم الله,

Khatib mengajak diri sendiri dan para jamaah sekalian untuk senantiasa meningkatkan kualitas ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala, mempertajam kesadaran ilahiah, mempertebal sikap berserah diri kepada-Nya.

Jamaah shalat Jumat  حفظكم الله, 

Tak ada manusia yang tak membutuhkan rasa aman. Namun dalam realitas kehidupan, kesulitan, musibah, atau kondisi tak aman mustahil dihindari. Manusia memang hidup dalam serba-dua kemungkinan: siang dan malam, sehat dan sakit, hidup dan mati, aman dan tak aman, dan sebagainya. Ini sejalan dengan Firman 

سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎ اللهُ :

  (وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (٤٩

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah” (QS Adz-Dzariat[51]: 49).   

Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan, ayat tersebut bermakna bahwa pencipta segala yang berpasangan adalah satu, yakni Allah, maka sembahlah Allah.

Di balik keberpasangan setiap kondisi tersebut ada Dzat Tunggal yang perlu disadari.

سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎ اللهُ adalah satu-satunya tempat bergantung, kembali, dan berserah diri.

Semua mushibah yang menimpa kita, adalah izin سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎ اللهُ, sebagaimana Firman-Nya di dalam Q.S. at- Taghabun ayat 11:

مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَمَنْ يُّؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ يَهْدِ قَلْبَهٗ ۗوَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎ اللهُ, Dan barang siapa yang beriman kepada  الله, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan اللهُ Maha Mengetahui segala sesuatu. (At-Taghabun: 11)

Penjelasan ayat ini sebagaimana di dalam tafsir Ibnu Katsir yaitu:

{مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ}

Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin الله. (At-Taghabun: 11)

Ibnu Abbas mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah dengan perintah الله, yakni dengan kekuasaan dan kehendak-Nya.

{وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ}

Dan barang siapa yang beriman kepada الله, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. (At-Taghabun: 11)

Seseorang yang di timpa musibah, kemudian ia tahu bahwa musibah itu dari سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎ اللهُ kemudian ia ridho dan berserah diri (kepada سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎ اللهُ).

Jamaah shalat Jumat hafizhakumullah,

Salah satu ketetapan سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎ اللهُ kepada kita adalah kondisi tidak menyenangkan, dan di antara kondisi tidak menyenangkan yang sering kita alami adalah tertimpa bencana, ujian, cobaan, musibah, atau bala’. Karena tidak menyenangkan, ada anggapan dari sebahagian kita, jika seorang muslim terkena musibah, berarti orang tersebut sedang di adzab oleh سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎ اللهُ. Apakah memang demikian? Belum tentu, karena bisa saja bencana, ujian dan cobaan itu adalah tanda سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎ اللهُ mencintai seseorang hamba-Nya. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi kita Sayyidina Muhammad ﷺ:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ)

Di riwayatkan dari Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya besarnya pahala itu sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sesungguhnya apabila الله mencintai suatu kaum niscaya الله akan memberikan cobaan kepada mereka. Maka barangsiapa yang ridha (dengan ketetapan الله), maka الله akan ridha kepadanya. Dan barangsiapa yang tidak ridha, maka اللهُ pun tidak akan ridha kepadanya.” 

(HR. At-Turmudzi, no. 2320 dan Ibnu Majah, no. 4021 dengan sanad yang hasan)

Syaikh Abdurrohman Mubarokfuuri mensyarah (menjelaskan) hadits di atas di dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzi Syarhu Jami’i at- Tirmidzi, beliau menjelaskan:

Sesungguhnya besarnya balasan pahala yakni banyaknya pahala, bersamaan dengan besarnya bala’ atau ujian yang menimpa, maka barangsiapa bala’ atau cobaannya lebih besar, maka balasan pahalanya lebih besar. سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎ اللهُ memberikan bala’ atau cobaan kepada mereka dengan ujian dan bencana. Maka barangsiapa ridho dengan bencana yang menimpa mereka, maka orang itu memperoleh Ridho dari            سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎ اللهُ dan memperoleh pahala yang banyak. Dan barangsiapa yang murka maksudnya tidak suka kepada bencana/ musibah dari      سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎ اللهُ dan benci serta tidak ridho dengan takdir atau ketetapan سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎ اللهُ, maka orang itu mendapat murka dari سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎ اللهُ dan mendapatkan adzab yang pedih.

Jadi, dapatlah kita simpulkan:

1. Bala’, ujian dan bencana adalah tanda  الله cinta kepada hamba-Nya.

2. Hanya ada 2 pilihan sikap terhadap bencana atau musibah, Ridho dan اللهُ pun ridho kepadanya serta mendapatkan banyak pahala, atau benci (tidak suka) sehingga mendapatkan kemurkaan dari الله dan adzab yang pedih.

3. Besar atau kecilnya pahala yang di peroleh, tergantung dari besar atau kecilnya nya bala’ ujian, atau bencana yang di hadapi.

  بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ اْلكَرِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

Khutbah II

 اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ


KETENANGAN DAN KEGELISAHAN HATI

  KETENANGAN DAN KEGELISAHAN HATI   اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي شَرَحَ صُدُوْرَ الْمُوَفَّقِيْنَ بِأَلْطَافِ بِرِّهِ وَآلَائِهِ، وَنُوْرِ بَصَ...