Minggu, 27 Juni 2021

Apakah ikhlas itu ada tingkatannya?

Apakah ikhlas itu ada tingkatannya?

Ya, ikhlas itu ada 3 tingkatan, yaitu:

1. Ikhlas tingkat tinggi.

Melakukan amal hanya karena Allah dan karena melaksanakan perintah-Nya. la memandang bahwa Allah adalah Tuhan, sedangkan dirinya adalah hamba. Sehingga dia beribadah bukan karena berharap atau agar terhindar dari sesuatu apapun selain Allah.

2. Ikhlas tingkat sedang.

Melakukan amal karena melaksanakan perintah Allah dengan mengharap pahala dan terhindar dari siksa.

3. Ikhlas tingkat rendah.

Melakukan amal karena merasa sudah dimuliakan oleh Allah dalam kehidupan di dunia dan terhindar dari musibah-musibah dunia. 

Jika manusia beramal bukan karena salah satu hal di atas, maka dinamakan riya' (pamer)."


Sumber: 

1. kitab Tuhfatul Murid syarah Jauharuttauhid, Syaikh al- Laqqani, halaman 37.

2. Terjemah Sabilulul 'Abid 'Ala Jauharuttauhid, KH. Sholeh Darat, halaman 28.

Kamis, 10 Juni 2021

Meniru Sifat Rasul Yang Terkandung Didalam Surat Al-Baqarah Ayat 129

 رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. ( Surah al- Baqoroh ayat 129).

SIFAT RASUL DARI AYAT INI

1. yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah (al- Qur’an).


Meniru Nabi kita Muhammad Shallallu’alaihi wa sallam berdasarkan ayat ini:

a. Secara pribadi, berarti kita harus senantiasa banyak membaca al- Qur’an setiap hari

b. Dan secara sosial, jika bacaan kita sudah benar, berarti kita harus mengajarkan orang lain membaca al- Qur’an. 


2. mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah).


Syaikh Mutawalli as- Sya’rawi menjelaskan di dalam tafsirnya Tafsir asy- Sya’rawi bahwa beda antara tilawah dan ta’lim pada ayat ini. Tilawah hanya membaca al- Qur’an saja, sedangkan ta’lim adalah mengetahui makna ayat, penerapan dan seluk beluk ayat.


Meniru Nabi kita Muhammad Shallallu’alaihi wa sallam berdasarkan ayat ini:


a. Secara pribadi, Setelah bisa membaca al-Qur’an, kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk belajar kepada para ulama tentang makna dan pemahaman dari al- Qur’an dan Hadits.

b. Dan secara sosial, jika kita sudah memperoleh pemahaman tentang suatu ayat atau hadis, maka hendaklah mengajarkannya kepada orang lain.


3. mensucikan mereka


Dari beberapa tafsir maksud mensucikan di sini adalah:

a. mensucikan ummatnya dari mempersekutukan Allah (Syirik), menyembah berhala, dan mengembangkan dan memperbanyak ketaatan kepada Allah, 

b. mengarahkan mereka ke jalan kebaikan dan kesempurnaan iman, 

c. mensucikan dari dosa.


Meniru Nabi kita Muhammad Shallallu’alaihi wa sallam berdasarkan ayat ini berarti:

a. Secara pribadi, harus berusaha selalu memelihara diri dari kesalahan dan dosa, dan jika ada kesalahan, harus segera memohon ampun kepada Allah dan bertaubat, serta memperbanyak ibadah dan mengamalkan ajaran Islam yang lain.

b. Secara sosial, sambil memelihara dan memperbaiki diri dan memperbanyak iabadah kita juga punya kewajiban untuk memperbaiki kondisi lingkungan sosial kita dan mengajak mereka beribadah dan mengamalkan ajaran Islam, di mulai dari keluarga, tetangga, masyarakat sekitar dan seterusnya masyarakat yang lebih luas lagi, tetapi tetap dengan cara yang penuh hikmah (bijaksana) dan pengarahan atau pengajaran yang baik.


Kesimpulan 


Islam bukan hanya agama untuk perbaikan dan keselamatan pribadi, tapi kita untuk perbaikan dan keselamatan masyarakat bahkan untuk seluruh alam, oleh karena setiap kita mempunyai tanggung jawab untuk memperbaiki didri sendiri dan lingkungan kita di mulai dari keluarga dan seterusnya.

KEZALIMAN

مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلَا شَفِيعٍ يُطَاعُ

Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa'at yang diterima syafa'atnya. (Ghafir: 18).

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ “أَتَدْرُوْنَ مَا الْمُفْلِسُ؟” قَالُوْا: اَلْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ. فَقَالَ “إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي، يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هٰذَا، وَقَذَفَ هٰذَا، وَأَكَلَ مَالَ هٰذَا، وَسَفَكَ دَمَ هٰذَا، وَضَرَبَ هٰذَا. فَيُعْطِى هٰذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهٰذَا مِنٰ حَسَنَاتِهِ. فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ، قَبْلَ أَنْ يَقْضَى مَا عَلَيْهِ، أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ. ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ” 

Artinya: 

“Sesungguhnya Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tahukah kalian siapakah yang dinamakan muflis atau orang bangkrut? Orang-orang menjawab: Orang bangkrut menurut pendapat kami ialah mereka yang tiada mempunyai uang dan tiada pula mempunyai harta benda. Nabi menjawab: Sesungguhnya orang bangkrut dari umatku ialah mereka yang datang pada hari kiamat dengan membawa amal kebaikan dari shalat, puasa, dan zakat. Tetapi mereka dahulu pernah mencaci maki orang lain, menuduh orang lain, memakan harta orang lain, menumpahkan darah orang lain dan memukul orang lain. Maka kepada orang yang mereka salahi itu diberikan pahala amal baik mereka; dan kepada orang yang lain lagi diberikan pula amal baik mereka. Apabila amal baik mereka telah habis sebelum hutangnya lunas, maka diambillah kesalahan orang yang disalahi itu dan diberikan kepada mereka; Sesudah itu, mereka akan dilemparkan ke dalam neraka.”

Contoh-contoh perbuatan zalim kepada sesama manusia adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA (lihat hadits di bawah), yakni antara lain mencaci maki orang lain  (شَتَمَ),  menuduh/memfitnah orang lain (قَذَفَ), memakan harta orang lain (أَكَلَ مَالَ), menumpahkan darah orang lain (سَفَكَ دَمَ), dan memukul orang lain (ضَرَبَ).

7 MACAM AMAL MENURUT BALASANNYA

Di dalam mensyarahkan hadis al- Arbain an- Nawawiyah yang ke- 37, Syaikhul Islam Zakariya al Anshori menyebutkan sebuah hadis yang di riwayatkan oleh al- Badzzar:

  الأعمال سبعة: عملان موجبان وعملان واحد بواحد وعمل الحسنة فيه بعشرة وعمل الحسنة فيه بسبعمائة ضعف وعمل لا يحصى ثوابه إلا الله تعالى   

Artinya: “Amal itu ada tujuh macam, yakni dua amalan yang memastikan, dua amalan di mana satu dibalas dengan satu, amal kebaikan yang di dalamnya terdapat sepuluh pahala, amal kebaikan yang di dalamnya terdapat tujuh ratus kali lipat pahala, dan amalan yang tidak bisa menghitung pahalanya kecuali oleh Allah saja” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Syarhul Arba’ȋn An-Nawawiyyah [Beirut: Darul Kutubil ‘Ilmiyah, tt.], hal. 143).   

Pertama dan kedua, dua macam amalan yang memastikan adalah iman dan kufur. Orang yang beriman kepada Allah dan meninggal dunia dalam keadaan masih beriman serta tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun, maka imannya itu memastikan ia masuk ke dalam surga.   Imam Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits: 

  يُخْرَجُ مِنَ النَّارِ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنَ الإِيمَانِ

Artinya: “Akan dikeluarkan dari api neraka orang yang di hatinya terdapat sebiji dzarah keimanan” (Muhammad bin Isa At-Tirmidzi, Jâmi’ut Tirmidzi hadis yang ke 1922).   

Sedangkan orang kafir yang tidak beriman kepada Allah, hingga akhir hayatnya ia masih tetap dalam kekafirannya, maka kekafirannya itu memastikan ia masuk ke dalam api neraka.   

Di dalam Surat Al-Baqarah ayat 161-162 Allah berfirman:   

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ, خَالِدِينَ فِيهَا لَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلَا هُمْ يُنْظَرُونَ   

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang kafir dan mati dalam keadaan kafir mereka itu dilaknat oleh Allah, para malaikat, dan semua manusia. Mereka kekal di dalamnya. Tidak diringankan siksaan dari mereka dan mereka tidak pula diberi penangguhan.”   

Imam Baidlawi di dalam kitab tafsirnya menuturkan makna ‘mereka kekal di dalamnya’ adalah kekal di dalam laknat atau kekal di dalam neraka (Abdullah bin Umar Al-Baidlawi, Anwȃrut Tanzȋl wa Asrȃrut Ta’wȋl [Beirut: Darul Kutubil ‘Ilmiyyah: 2018], jil. I, hal 97).   

Ketiga dan keempat, dua amalan yang satu dibalas dengan satu atau dibalas secara sepadan adalah perbuatan jelek dan keinginan untuk berbuat baik. Orang yang telah melakukan suatu kejelekan maka ia akan mendapatkan balasannya secara sepadan. Bila ia lakukan satu kali, maka ia dapatkan balasan satu kali. Bila ia lakukan dua kali, maka ia dapatkan balasannya dua kali. Begitu seterusnya.   Allah berfirman dalam Surat Al-An’am ayat 160: 

  وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ   

Artinya: “Dan barang siapa yang datang dengan membawa kejelekan maka ia tidak dibalas kecuali yang semisalnya dan mereka tidak akan diperlakukan secara zalim.”   

Sementara itu, orang yang memiliki keinginan untuk melakukan suatu kebaikan, kemudian ia tak melakukan kebaikan itu karena adanya alasan tertentu, maka ia mendapatkan balasan satu kebaikan.   Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah: 

  إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ، ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ، فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا، كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً 

Artinya: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan berbagai perkara yang baik dan berbagai perkara yang jelek, kemudian menjelaskan hal tersebut. Maka barang siapa yang berkeinginan melakukan satu kebaikan kemudian ia tidak melakukannya, maka Allah mencatat kebaikan itu di sisi-Nya satu kebaikan yang sempurna...” (Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisaburi, Shahȋh Muslim Nomor 131).   

Kelima, amalan yang pelakunya dibalas sepuluh kali lipat adalah amalan kebaikan secara umum. Siapa pun yang melakukan sebuah kebaikan maka ia mendapatkan pahala kebaikan itu sepuluh kali lipat.   Firman Allah dalam Surat Al-An’am ayat 160:  

 مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا   

Artinya: “Barang siapa yang datang dengan membawa satu kebaikan maka baginya sepuluh kali lipat kebaikan tersebut.”

Keenam, amalan yang pelakunya mendapatkan balasan pahala tujuh ratus kali lipat adalah menginfakkan harta di jalan Allah. Berapa pun harta yang diinfakkan oleh seorang hamba, maka ia akan mendapatkan balasannya tujuh ratus kali lipat dari apa yang ia infakkan.  Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 261:  

 مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   

Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti satu biji yang menumbuhkan tujuh bulir, di mana dalam masing-masing bulir terdapat seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Dzat yang Maha Luas lagi Maha Mengetahui.”   

Syekh Nawawi Banten dalam tafsirnya al-Munȋr li Ma’ȃlimit Tanzȋl menyebutkan bahwa pelipatgandaan pahala infak hingga lebih dari tujuh ratus kali lipat ini tergantung pada kadar keikhlasan dan kesusahan orang yang berinfak.   

Ketujuh, amalan yang pahalanya hanya diketahui oleh Allah saja adalah ibadah puasa. Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits qudsi di mana Allah berfirman:  

 إِنَّ الصَّوْمَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ   

Artinya: “Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.”   

Karena puasa adalah ibadah yang tidak terlihat oleh orang lain dan hanya Allah yang tahu bagaimana kadar dan kualitas puasa seseorang, maka Allah bertindak sendiri untuk memberikan pahalanya.

5 KEGELAPAN DAN 5 PENERANGNYA

Pernahkah kita merasakan ketika lampu padam total atau berada di tempat yang belum ada listrik ketika tengah malam yang tidak ada cahaya sedikitpun? Bagaimana perasaan kita? Suasana menjadi gelap, mencekam, takut, nafas menjadi sesak dan perasaan- perasaan lainnya yang tidak menyenangkan. Intinya kegelapan itu membuat hidup kita resah dan tidak tahu arah. Gambaran kegelapan bisa saja bersifat fisik, bisa juga bersifat ruhani, atau kedua- duanya yakni gelap secara fisik dan ruhani.

Khalifah Rasulullah SAW yang pertama, yakni Abu Bakar as- Shiddiq RA menjelaskan tentang 5 kegelapan dan 5 penerang dari kegelapan tersebut. Hal ini di terangkan oleh Imam Ibnu Hajar al- ‘Asqolani di dalam kitabnya yang kemudian di syarah oleh Imam Muhammad Nawawi bin ‘Umar al- Jawi yakni kitab Syarhu Nashoihi al- ‘Ibad.



1.            

                         

(Cinta dunia adalah kegelapan dan penerangnya adalah Taqwa).


Mengapa demikian? Karena cinta dunia akan menyeret pelakunya kepada hal- hal yang syubhat (samar-samar), kemudian karena ia terbiasa dengan yang samar- samar akhirnya terseret kepada yang harom. Rasulullah SAW bersabda:


حب الدنيا رأس كل خطيئة


Artinya: 

“Cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan”. (H.R. al- Baihaqi).


Penerangnya adalah taqwa, yakni menghindar dari siksa Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mentaati Allah Subhanahu wa Ta’ala.




2.   


(Dosa adalah kegelapan dan penerangnya adalah Taubat). 


Rasulullah SAW bersabda:


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ ( كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ) »


Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’.” 

(HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, an- Nasa’i, Ibnu Hibban dan al- Hakim).

3.    



(Kuburan itu gelap dan penerangnya adalah لا إله إلاالله، محمد رسول الله).


Rasulullah SAW bersabda:


إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ

“Sesungguhnya Allah mengharamkan dari neraka, bagi siapa yang mengucapkan laa ilaha illallah (tiada sesembahan yang benar disembah selain Allah) yang dengannya mengharap wajah Allah” (HR. Bukhari no. 425 dan Muslim no. 33).


Di katakan oleh ulama lain bahwa ada 7 hal yang bisa menyinari gelapnya alam kubur:

a. Ikhlas dalam beribadah

b. Berbuat baik kepada kedua orang tua

c. Shilaturrahim

d. Tidak menghabiskan umurnya dalam kemaksiatan

e. Tidak mengikuti hawa nafsunya

f. Bersungguh- sungguh di dalam menta’ati Allah Subhanahu wa Ta’ala.

g. Banyak berzikir mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala.




4.   


(Akhirat itu gelap dan penerangnya adalah amal sholih).

Mengapa di katakan gelap? Karena saking menakutkannya keadaan pada hari kiamat. 




5.   


(Jembatan Shirothol Mustaqim itu gelap dan penerangnya adalah yakin).

Yaitu realisasi dari membenarkan yang ghaib dengan menghilangkan semua keraguan (terhadap yang ghaib tersebut).


Demikianlah, semoga melalui khutbah ini, kita semakin semangat untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita tutup dengan mendengarkan Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا﴿١٧٤﴾فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَاعْتَصَمُوا بِهِ فَسَيُدْخِلُهُمْ فِي رَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ وَيَهْدِيهِمْ إِلَيْهِ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا 


Wahai manusia! Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Rabbmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (al-Qur’an). Adapun orang-orang yang beriman kepada Allâh dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allâh akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai)kepada-Nya. [An-Nisa/4:174-175]

MANUSIA YANG RUGI

 Allah Ta’ala berfirman,


وَالْعَصْرِ،  إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ، إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ


“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3).

Allah bersumpah dengan al ‘ashr, yang dimaksud adalah waktu atau umur. Karena umur inilah nikmat besar yang diberikan kepada manusia. Umur ini yang digunakan untuk beribadah kepada Allah. Karena sebab umur, manusia menjadi mulia dan jika Allah menetapkan, ia akan masuk surga.

Manusia Benar-Benar dalam Kerugian. Kerugian di sini adalah lawan dari keberuntungan. Yang pertama, kerugian mutlak yaitu orang yang merugi di dunia dan akhirat. Ia luput dari nikmat dan mendapat siksa di neraka jahim.

Yang kedua, kerugian dari sebagian sisi, bukan yang lainnya. Allah mengglobalkan kerugian pada setiap manusia kecuali yang punya empat sifat: (1) iman, (2) beramal sholeh, (3) saling menasehati dalam kebenaran, (4) saling menasehati dalam kesabaran.

Beriman kepada Allah tidak diperoleh kecuali dengan ilmu. Di dalam iman harus terdapat perkataan, amalan dan keyakinan. Keyakinan (i’tiqod) inilah ilmu. Karena ilmu berasal dari hati dan akal. Jadi orang yang berilmu jelas selamat dari kerugian.

Jadi orang yang selamat dari kerugian yang pertama adalah yang memiliki iman. Kedua Mereka yang Beramal Sholeh, yakni yang melakukan seluruh kebaikan yang lahir maupun yang batin, yang berkaitan dengan hak Allah maupun hak manusia, yang wajib maupun yang sunnah.

Ketiga adalah mereka yang Saling Menasehati dalam Kebenaran. Yang dimaksud adalah saling menasehati dalam dua hal yang disebutkan sebelumnya. Mereka saling menasehati, memotivasi, dan mendorong untuk beriman dan melakukan amalan sholeh.

Keempat adalah Mereka yang Saling Menasehati dalam Kesabaran yaitu saling menasehati untuk bersabar dalam ketaatan kepada Allah dan menjauhi maksiat, juga sabar dalam menghadapi takdir Allah yang dirasa menyakitkan.

Karena sabar itu ada tiga macam: (1) sabar dalam melakukan ketaatan, (2) sabar dalam menjauhi maksiat, (3) sabar dalam menghadapi takdir Allah yang terasa menyenangkan atau menyakitkan.

kesimpulannya, manusia yang sukses adalah yang selalu menjaga hubungan baik dengan Allah dan menjaga hubungan baik dengan makhluk.

Sikap Rasulullah Terhadap Majelis Zikir dan Majelis Taklim di Masjid

Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam Kitabnya Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya mengutip riwayat: 

Suatu hari Rasulullah SAW keluar dari rumah. Ia menuju Masjid Nabawi tercinta di Madinah. Di dalam masjid, Rasulullah SAW mendapati dua majelis para sahabat yang berbeda aktivitasnya. Pada majelis pertama, sekelompok sahabat di satu sisi masjid berzikir menyebut asma Allah. Mereka juga memohon kepada-Nya untuk memenuhi hajat mereka. Sedangan pada majelis yang berbeda, sekelompok sahabat lainnya di sisi lain masjid mempelajari fiqih. Mereka melakukan kajian perihal ketentuan agama dan hukum Islam. "Kedua majelis ini sama-sama baik. Tetapi majelis yang satu lebih utama," kata Rasulullah SAW sambil menunjuk kepada majelis taklim. Mereka, kata Rasulullah SAW sambil menunjuk kepada majelis zikir, berdoa dan berharap kepada Allah SWT. Jika Allah menghendaki, Dia akan mengabulkan permohonan mereka. Tetapi jika Allah berkehendak lain, Dia tidak memenuhi permintaan mereka. 

Mendengar riwayat di atas, maka seharusnya timbul pertanyaan penasaran kita, mengapa Rasulullah lebih memilih majelis ta’lim (majelis ilmu) dari pada majelis dzikir? Maka penasaran kita terjawab dengan kelanjutan dari riwayat di atas:

Adapun mereka, kata Rasulullah SAW menunjuk majelis taklim di sisi lain masjid, tengah belajar (ketentuan agama). Mereka juga mengajarkan orang-orang yang awam.  

"Sungguh, aku hanya diutus sebagai mu’allim (guru pengajar). Mereka ini yang lebih utama," kata Rasulullah SAW kepada sejumlah sahabat yang mendekatinya. Rasulullah SAW kemudian melangkah mendekati majelis taklim. Rasulullah SAW kemudian duduk dan bergabung bersama mereka yang membicarakan halal dan haram (fiqih). 

Dan memang isyarat tentang keutamaan ilmu dan orang yang berilmu ini banyak sekali di sebutkan oleh al- qur’an, di antaranya:

Quran Surat Thaha Ayat  114:

وَقُل رَّبِّ زِدْنِى عِلْمًا

...dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan".

Maksudnya sebagaimana di dalam Tafsir Jalalain:

(dan katakanlah, "Ya Rabbku! Tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan") tentang Alquran, sehingga setiap kali diturunkan kepadanya Alquran, makin bertambah ilmu pengetahuannya.

Surat Az-Zumar Ayat 9:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ

Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"... 

Maksudnya sebagaimana di dalam Tafsir Jalalain:

(Katakanlah, "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yong tidak mengetahui?") tentu saja tidak, perihalnya sama dengan perbedaan antara orang yang alim dan orang yang jahil.

Surat Al-Mujadilah Ayat 11:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ 

...niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat...

Maksudnya sebagaimana di dalam Tafsir Jalalain:

(niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian) karena ketaatannya dalam hal tersebut (dan) Dia meninggikan pula (orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat) di surga nanti.

Surat Fatir Ayat 28:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ 

...Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama...

Maksudnya sebagaimana di dalam Tafsir Jalalain:

(Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama) berbeda halnya dengan orang-orang yang jahil seperti orang-orang kafir Mekah.

Begitu juga di dalam hadits, banyak sekali penjelasan tentang ilmu dan orang yang berilmu, di antaranya:

فَضْلُ العَالِمِ عَلَى العَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ

“Keutamaan ahli ilmu atas ahli ibadah seperti keutamanku atas orang paling rendah dari kalian.” (HR. At-Tirmidzi).


ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺍﻧْﺘِﺰَﺍﻋَﺎً ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋُﻪُ ﻣﻦ ﺍﻟﻌِﺒﺎﺩِ ﻭﻟَﻜِﻦْ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻘَﺒْﺾِ ﺍﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺣﺘَّﻰ ﺇﺫﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺒْﻖِ ﻋَﺎﻟِﻢٌ ﺍﺗَّﺨَﺬَ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺭﺅﺳَﺎً ﺟُﻬَّﺎﻻً ، ﻓَﺴُﺌِﻠﻮﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻓَﻀَﻠُّﻮﺍ ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ


“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. mereka sesat dan menyesatkan. (Muttafaqun ‘Alaih).

Imam Nawawi rahimahullah di dalam Syarah Shohih Muslim menjelaskan:

‏ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻳﺒﻴﻦ ﺃﻥ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﻘﺒﺾ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﻲ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﺴﺎﺑﻘﺔ ﺍﻟﻤﻄﻠﻘﺔ ﻟﻴﺲ ﻫﻮ ﻣﺤﻮﻩ ﻣﻦ ﺻﺪﻭﺭ ﺣﻔﺎﻇﻪ ، ﻭﻟﻜﻦ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺃﻧﻪ ﻳﻤﻮﺕ ﺣﻤﻠﺘﻪ ، ﻭﻳﺘﺨﺬ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺟﻬﺎﻻ ﻳﺤﻜﻤﻮﻥ ﺑﺠﻬﺎﻻﺗﻬﻢ ﻓﻴﻀﻠﻮﻥ ﻭﻳﻀﻠﻮﻥ 

“Hadits ini menjelaskan bahwa maksud diangkatnya ilmu yaitu sebagaimana pada hadits-hadits sebelumnya secara mutlak. Bukanlah menghapuskannya dari dada para penghafalnya, akan tetapi maknanya adalah wafatnya para pemilik ilmu tersebut. Manusia kemudian menjadikan orang-orang bodoh untuk memutuskan hukum sesuatu dengan kebodohan mereka. Akhirnya mereka pun sesat dan menyesatkan orang lain”. 

Sebagai kesimpulan: Marilah kita selalu bersemangat di dalam menuntut ilmu dan senantiasalah mengikuti majelis ilmu, khususnya ilmu syari’at islam sebagaimana yang telah di contohkan oleh Rasullah SAW dalam riwayat di atas.

KETENANGAN DAN KEGELISAHAN HATI

  KETENANGAN DAN KEGELISAHAN HATI   اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي شَرَحَ صُدُوْرَ الْمُوَفَّقِيْنَ بِأَلْطَافِ بِرِّهِ وَآلَائِهِ، وَنُوْرِ بَصَ...