Kamis, 19 Juni 2025

KEUTAMAAN ILMU DAN ORANG YANG BERILMU


 

KEUTAMAAN ILMU DAN ORANG YANG BERILMU

Oleh: Ustadz Firdaus, M.Pd.I

Khutbah pertama:

الحَمْدُ للهِ الَّذِيْ ٲعطى العلوم عَلَى قُلُوْبِ اْلمُسْلِمِيْنَ المُؤْمِنِيْنَ, وَبہا عملواالصالحات. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ الْمَلِكُ اْلحَقُّ اْلمُبِيْنُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صادِقُ الْوَعْدِ الأَمِيْنِ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلمِّ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ المَبْعُوْثِ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ. أَمَّا بَعْدُ أَيُّهاَ اْلحَاضِرُوْنَ اْلمُسْلِمُوْنَ حَفِظَكُمُ اللهُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ. قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ  .

Hadirin Jama’ah Jum’at رحمكم الله

Judul Khutbah kita adalah:

KEUTAMAAN ILMU DAN ORANG YANG BERILMU

Allah menciptakan kita hidup kemudian mati, adalah sebagai ujian, siapakah yang paling baik amalnya, sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Mulk ayat 2:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

Artinya: “Yang telah menciptakan kehidupan dan kematian untuk menguji diantara kalian siapa yang paling baik amalnya.”

Ibnu Katsir menjelaskan di dalam tafsirnya: bahwa maksudnya adalah amal yang terbaik, bukan amal yang terbanyak. Berdasarkan tafsir ini menjadi jelaslah bahwa kualitas amallah yang menjadi tuntutan. Bagaimana agar kualitas amal menjadi terbaik?

Caranya adalah dengan ilmu. Hanya dengan ilmulah amal menjadi terbaik. Amal itu bisa  berupa amalan hati dan amalan anggota tubuh yaitu keimanan, ibadah dan akhlaq, semuanya bisa menjadi terbaik dan sempurna hanya dengan ilmu, bahkan amalan hati berupa ikhlas sekalipun ada ilmunya.

Karena sangat pentingnya ilmu, maka Imam Bukhari di dalam kitab Shohih Bukharinya mencantumkan suatu bab yaitu:

باب العلم قبل القول والعمل ، لِقَولِ اللهِ تعالى: ﴿ فَأَعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ(

 Bab tentang Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan (amal) berdasarkan firman Allah: “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah”. (Q.S. Muhammad: 19).

Ibnu Abdil Bar di dalam kitabnya Jami’u Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi meriwayatkan hadits tentang ilmu, tepatnya haidts nomor 268, bahwa Rasulullah bersabda:

 هو إمام العمل ، والعمل تابعه

“Ilmu adalah pemimpin amal, dan amal adalah pengikut ilmu.”

Maka wajarlah Allah mengangkat derajat orang yang berilmu, sebagaimana Firman-Nya di dalam surah Al-Mujadilah ayat 11:

 

يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍ

“Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”

Imam asy- Syaukani di dalam tafsirnya Fathul Qodir menafsiri surah Al-Mujadilah ayat 11, beliau menjelaskan:

ومعنى الآية أنه يرفع الذين آمنوا على من لم يؤمن درجات ويرفع الذين أوتوا العلم على الذين آمنوا درجات، فمن جمع بين الإيمان والعلم رفعه الله بإيمانه درجات ثم رفعه بعلمه درجات.

Makna ayat ini adalah bahwasanya Allah mengangkat derajat orang-orang beriman di atas derajat orang yang tidak beriman beberapa derajat, dan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu di atas derajat orang-orang beriman, maka barangsiapa yang menggabungkan iman dan ilmu maka Allah mengangkat derjatnya karena imannya beberapa derajat kemudian di tambah lagi Allah mengangkat derajatnya karena ilmunya beberapa derajat.

Selanjutnya imam al-Qurthubi di dalam tafsirnya Al-Jami' Li Ahkami Al-Qur’an beliau menjelaskan:

  يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجاتٍ) أَيْ فِي الثَّوَابِ فِي الْآخِرَةِ وَفِي الْكَرَامَةِ فِي الدُّنْيَا، فَيَرْفَعُ الْمُؤْمِنَ عَلَى مَنْ لَيْسَ بِمُؤْمِنٍ وَالْعَالِمَ عَلَى مَنْ لَيْسَ بِعَالِمٍ 

Artinya: "(Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan). Maksudnya, meninggikan derajat mereka dalam pahala di akhirat dan dalam kemuliaan di dunia. Jadi, Allah meninggikan derajat orang yang beriman di atas orang yang tidak beriman dan orang yang berilmu di atas orang yang tidak berilmu."

Begitu juga Imam Nawawi Banten dalam tafsir beliau Marah Labid mengutip perkataan Ibnu Mas’ud yang berkaitan dengan ayat ini, yaitu:

 

قال ابن مسعود: مدح الله العلماء في هذه الآية، والمعنى أن الله تعالى يرفع الذين أوتوا العلم على الذين آمنوا ولم يؤتوا العلم درجات في دينهم إذ فعلوا بما أمروا به. وَاللَّهُ بِما تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

 

“Ibnu Mas’ud berkata: ‘Allah memuji para ulama dalam ayat ini. Allah mengangkat derajat orang-orang berilmu dalam agama mereka di atas mukmin yang tidak berilmu, jika mereka melaksanakan perintah-Nya. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan adalah ancaman bagi yang tidak mematuhinya.’” (Marah Labid, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah, 1417 H], Jilid II, hlm. 503).

Dan sungguh beruntung orang yang berilmu, yakni orang faham tentang agama, karena mereka termasuk orang-orang yang Allah kehendaki menjadi baik, sebagaimana hadits Rasulullah Shollallhu ‘Alaihi Wa Sallam yang di riwayatkan oleh imam Bukhari:

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

"Barangsiapa yang Allah kehendaki menjadi baik maka Allah memberikan dia pemahaman terhadap agama." (HR Bukhari, nomor:71)

                Bahkan karena sangat pentingnya ilmu ini sampai-sampai Allah memberikan perbedaan yang sangat jelas antara orang yang berilmu dan tidak berilmu, sebagaimana Firman-Nya di dalam Surah Az- Zumar ayat 9:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِى ٱلَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ

Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (Q.S. Azzumar: 9)

Menafsiri ayat ini Syaikh Wahbah Az- Zuhaili di dalam tafsir al- Wajiznya menjelaskan bahwa: katakanlah hai Muhammad: apakah orang yang alim (tahu) itu sama dengan orang yang bodoh: keduanya tidak sama.

Dari tafsir ini timbul pertanyaan, apakah sama kualitas sholat, puasa, membaca al-Qur’an dan ibadah lainnya antara orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu? Tentu sangat berbeda.

Akhirnya, sebagai penutup, mudah-mudahan ayat, tafsir, dan hadits tadi semakin memotivasi dan memacu kita untuk menyempurnakan ilmu kita tentang syari’at Islam, agar kualitas amal kita semakin meningkat, dan derajat kita di angkat ke derajat yang lebih tinggi dari sebelumnya di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Amin Ya Robbal ‘Alamin.

  بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ اْلكَرِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

 

 

 

 

 

 

 

KHUTBAH KEDUA

اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ أَمَرَنَا بِاْلاِتِّحَادِ وَاْلاِعْتِصَامِ بِحَبْلِ اللهِ الْمَتِيْنِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ إِيَّاهُ نَعْبُدُ وَإِيَّاُه نَسْتَعِيْنُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَلْمَبْعُوْثُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلمِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. اِتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَسَارِعُوْا إِلَى مَغْفِرَةِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا . وَصَلَّى الله عَلَى سَيِّدَنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ  اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَ الْمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْاَمْوَاتْ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَيَا قَاضِيَ الْحَاجَاتِ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ. اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ  اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ . رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.  عِبَادَ اللهِ إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.

 

 Download File Word

Kamis, 29 Mei 2025

Ajaran Islam Tentang Anak

 

Jamaah jum’at yang dirahmati Allah سبحانه و تعالى

Marilah kita bertaqwa kepada الله dengan sebenar- benar taqwa. Dan salah wujud ketaqwaan adalah menjaga anak dari siksa api neraka. Maka berdasarkan hal ini judul Khutbah Jum’at kita saat ini adalah:

AJARAN ISLAM TENTANG ANAK

Mau membaca lengkap silahkan download filenya:

Download

Senin, 07 April 2025

Khatib Jum'at Tidak Mengutip Hadits Dari Ahli Hadits, Bolehkah Dan Bagaimana Hukumnya?

Khatib Jum'at Tidak Mengutip Hadits Dari Ahli Hadits, Bolehkah Dan Bagaimana Hukumnya?

Ibnu Hajar al-Haitami pernah ditanya terkait khatib yang meriwayatkan banyak hadits tanpa menjelaskan sumbernya, atau periwayatannya. Beliau menjawab: 



ما ذكره من الأحاديث في خطبة من غير أن يبين رواتها أو من ذكرها فجائز بشرط أن يكون من أهل المعرفة في الحديث أو ينقلها من كتاب ملفه كذلك ، وأما الاعتماد في رواية الأحاديث على مجرد رؤيتها في كتاب ليس مؤلفه من أهل الحديث أو في خطب ليس مؤلفها كذلك فلا يحل ذلك



Artinya: “Hadits-hadits yang disebutkan khatib dalam khutbahnya tanpa menjelaskan para perawi atau siapa yang menyebutkannya, itu diperbolehkan dengan syarat bahwa dia adalah orang yang ahli dalam ilmu hadits, atau dia mengutipnya dari penulis yang juga ahli dalam hadits. Adapun mengandalkan periwayatan hadits hanya berdasarkan melihatnya dalam sebuah buku yang penulisnya bukan ahli hadits, atau dalam khutbah yang penulisnya juga bukan ahli hadits, maka itu tidak diperbolehkan!” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Haditsiyyah, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], hal. 32).



Lebih lanjut Ibnu Hajar al-Haitami juga tegas menyatakan khatib-khatib yang dinilai kurang kompeten sebagaimana keterangan di atas, mesti ditegur. Bahkan jika mengulangi perbuatannya secara berulang maka perlu dilarang menjadi khatib oleh pihak berwenang. Adapun dalam konteks masa Ibnu Hajar al-Haitami, pihak berwenang merupakan pemerintah. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Haditsiyyah, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], hal. 32).

BACAAN BILAL SHOLAT JUM’AT

 

BACAAN BILAL SHOLAT JUM’AT

1.         Sebelum khotib naik mimbar, bilal mengambil tongkat, kemudian sambil berdiri membaca bacaan berikut ini:

إِنَّ اللهَ وَمَلٰۤئِكَتَهٗ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِيِّ ۚ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.اللَّـٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الطَّيِّبِيْنَ الطَّٰاهِرِيْنَ وَسَلِّمْ، وَرَضِيَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَنْ سَادَتِنَا أَصْحَابِ سَيِّدِنَا رَسُولِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ، اللَّـٰهُمَّ قَوِّنَا فِي دِيْنِ اْلإِسْلاَمِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَانْصُرْهُمْ عَلَى مُعَانِدِيْهِمْ، رَبِّ اخْتِمْ لَنَا بِالْخَيْرِ، وَيَاخَيْرَ النَّاصِرِيْنَ.

2.       Setelah membaca ini, khotib berdiri dan mengambil tongkat yang di pegang oleh bilal.

3.       Setelah itu bilal azan yang ke-2.

4.       Setelah azan dan berdo’a, kemudian bilal duduk mendengarkan khutbah.

5.       Kemudian, setelah khotib membaca khutbah pertama dan duduk diantara dua khutbah, maka bilal membaca dengan nyaring sholawat berikut ini:

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍوَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

6.         Setelah khotib selesai khutbah ke-2, maka bila langsung membaca Iqomah. 

Mau Download file Wordnya? klik berikut ini:

download

Jumat, 04 April 2025

TATA CARA MEMBAYAR ZAKAT FITRAH

 

KETENTUAN MEMBAYAR ZAKAT FITRAH

 

1.   Niat Zakat Fitrah untuk Diri Sendiri dan Keluarga

 ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺃَﻥْ ﺃُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮَﺓِ ﻋَنِّيْ ﻭَﻋَﻦْ ﺟَﻤِﻴْﻊِ ﻣَﺎ ﻳَﻠْﺰَﻣُنِيْ ﻧَﻔَﻘَﺎﺗُﻬُﻢْ ﺷَﺮْﻋًﺎ ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

“Aku niat mengeluarkan zakat fitrah untuk diriku dan seluruh orang yang nafkahnya menjadi tanggunganku menurut syari’at, fardu karena Allah Ta‘âlâ.”

Ingin tahu lebih lengkap? Silahkan download:

Download File Word

Kamis, 16 Januari 2025

WAKTU

 



WAKTU

 

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاۤءً وَّالْقَمَرَ نُوْرًا وَّقَدَّرَهٗ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَۗ مَا خَلَقَ اللّٰهُ ذٰلِكَ اِلَّا بِالْحَقِّۗ يُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ ۝٥

Artinya: ”Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya. Dialah pula yang menetapkan tempat-tempat orbitnya agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu, kecuali dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada kaum yang mengetahui.”

Di dalam Tafsir al- Wajiz Syaikh Wahbah Az- Zuhaili menjelaskan: “dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, yakni tempat peredaran perjalanan bumi mengitari matahari dan bulan mengitari bumi agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan waktu. Allah tidak menciptakan hal yang demikian sempurna itu melainkan dengan benar, yakni dengan hikmah yang besar. Melalui penciptaan tersebut, Dia menjelaskan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya kepada orang-orang yang mengetahui, yakni yang mau mengambil pelajaran dari tanda-tanda kekuasaan Allah di alam raya ini.”

Bulan Januari-Desember setiap tahunnya dan penentuan waktu sholat adalah berdasarkan perhitungan peredaran bumi yang mengitari matahari, sedangkan bulan Muharrom-Dzulhijjah (Kalender Hijriyyah) dan khususnya penetuan awal puasa dan awal lebaran adalah berdasarkan perhitungan bulan mengitari bumi. Berarti perhitungan tahun baik berdasarkan kalender masehi maupun hijriyyah sama-sama memiliki dalil dari al-Qur’an sebagaimana ayat di atas, perhitungan waktu, sama-sama berdasarkan 2 makhluq Allah, yakni matahari dan bulan.

Maka sekarang, yang sangat penting bagi kita adalah bagaimana memanfaatkan waktu tersebut. Di antara ayat al-Qur’an yang bisa kita jadikan pedoman adalah Surah al-‘Ashr ayat 1-3:

وَالْعَصْرِۙ ۝١

Demi masa,

اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ ۝٢

sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian,

 

اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبۡرِ۝٣

kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.

Allah bersumpah demi masa (waktu) padahal masa (waktu) adalah makhluk-Nya, mengapa? Syekh Manna' Al-Qatthan dalam kitab Mabahits fi 'Ulumil Qur'an menjelaskan alasan kenapa Allah bersumpah dengan mahluk-mahluk-Nya:

وإنما أقسم الله بمخلوقاته؛ لأنها تدل على بارئها، وهو الله تعالى، وللإشارة إلى فضيلتها ومنفعتها ليعتبر الناس بها

Artinya, "Sesungguhnya Allah bersumpah dengan mahluk-mahluk-Nya karena makhluk tersebut menunjukan pada Dzat yang menciptakannya, yakni Allah Ta'ala; dan juga sebagai isyarat atas keutamaan dan kemanfaatan mahluk tersebut supaya manusia dapat mengambil pelajaran atau teladan darinya".

Selanjutnya, di dalam tafsir as- Showi di jelaskan bahwa: Ketahuilah bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menetapkan kerugian bagi seluruh manusia, kecuali orang yang melakukan 4 hal yaitu: Iman, amal sholih, saling berwasiat dalam kebenaran, dan saling berwasiat dalam kesabaran. Iman dan amal sholih khusus untuk diri sendiri, sedangkan yang khusus untuk orang lain adalah saling berwasiat dalam kebenaran dan saling berwasiat dalam kesabaran. Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa:

1.    Iman

Maksudnya adalah beriman dengan hati mereka.

2.    Beramal Sholih

Maksudnya dengan anggota tubuhnya.

Imam al-Qusyairi di dalam tafsirnya Lathaiful Isyarah menjelaskan maknanya adalah orang-orang yang ikhlas dalam beribadah.

3.    Saling berwasiat dalam kebanaran

Maksudnya saling berwasiat dalam melaksanakan keta’atan dan meninggalkan yang di haramkan.

4.    Saling berwasiat dalam kesabaran

Maksudnya saling berwasiat dalam kesabaran atas musibah-musibah dan taqdir.

 

Maka janganlah kita lalai dengan waktu, yang membuat kita sengsara baik di dunia, lebih-lebih lagi di akhirat. Sebagai penutup marilah kita renungkan hadits Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam berikut ini:

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

 

”Ada dua kenikmatan di mana banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang.” [HR Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas]

 

Sewaktu sehat mereka tidak mau atau sedikit beribadah, dan ketika senggang hanya untuk hura-hura dan melakukan perbuatan yang sia-sia belaka.

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa menolong dan memberikan hidayah kepada kita di dalam memanfaatkan waktu sesuai dengan keridhoan-Nya selama hidup kita. Amin.

Rabu, 25 Desember 2024

INI “STASIUN” YANG WAJIB KITA SINGGAHI AGAR MASUK KE SURGA



 

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman di dalam al-Qur’an Surah al-Fajr ayat 29 dan 30:

فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ ۝٢٩

fadkhulî fî ‘ibâdî

Lalu, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku.

وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ ۝٣٠

wadkhulî jannatî

dan masuklah ke dalam surga-Ku![1]

Berdasarkan ayat ini jelaslah bahwa untuk masuk kedalam surga, haruslah terlebih dahulu masuk kedalam stasiun (golongan) hamba-hamba Allah. Tanpa melewati jalur hamba Allah, maka tidak sampai ke surga. Untuk menjadi hamba Allah Subhanahu Wa Ta'ala kita harus mengetahui sifat-sifatnya agar bisa kita aplìkasikan. Lantas, Bagaimana sesungguhnya sifat-sifat hamba Allah ini?

Didalam al-Qur’an surah al-fatihah Ayat ke 5 Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ ۝٥

iyyâka na‘budu wa iyyâka nasta‘în

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.[2]

Di dalam tafsir al-Baghawi[3] di jelaskan bahwa hanya kepada-Mu kami menyembah artinya kami mengesakan-Mu, ta’at kepada-Mu dalam keadaan merendahkan diri, tunduk dan patuh, dan keta’atan ibadah hendaklah di iringi bersamaan dengan keadaan merendahkan diri, tunduk dan patuh. Dan di namakan seseorang itu sebagai seorang hamba (عبد) karena merasa rendah diri, tunduk dan patuh di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.[4]

Oleh karena itu tidaklah layak seorang hamba membanggakan dirinya di sebabkan ibadah yang telah di lakukannya. Kenapa? Karena pada hakikatnya hamba itu bisa melakukan ibadah karena pertolongan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebagaimana lanjutan dari ayat اِيَّاكَ نَعْبُدُ yaitu وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ yang tafsirnya adalah kami memohon kepada-Mu untuk beribadah kepada-Mu dan meminta pertolongan kepada-Mu atas semua urusan kami. Maka menjadi jelaslah bahwa ibadah yang kita lakukan itu adalah karena pertolongan, karunia dan rahmat dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata, dan janganlah di sandarkan kepada kemampuan kita. Apalagi menyandarkan masuk surga karena amal kita. Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kita masuk surga bukan karena amal kita, tetapi karena karunia dan rahmat Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sebagaimana sabda Rasulullah Shollallhu ‘Alaihi Wa Sallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:

لَنْ يُدْخِلَ أحَدًا عَمَلُهُ الجَنَّةَ. قالوا: ولا أنْتَ يا رَسولَ اللَّهِ؟ قالَ: لا، ولا أنا، إلَّا أنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بفَضْلٍ ورَحْمَةٍ[5]

Tidak akan masuk surga seorangpun karena amalnya. Para sahabat bertanya: “Tidak juga engkau wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Tidak, Tidak juga saya, kecuali bila Allah melimpahkan karunia dan rahmat-Nya padaku.”

Ketika kita menyandarkan kepada kemampuan kita, maka di hati kita akan muncul rasa lebih dan merendahkan orang lain yang tidak atau kurang beribadah. Ketika rasa ini muncul segeralah kita memohon perlindungan kepada Allah dari perasaan ini, karena ini adalah suatu bentuk kesombongan. Dan sebaliknya maksiat yang telah kita lakukan tetapi menjadikan rendah diri dan membutuhkan rahmat dari Allah, itu lebih baik dari perbuatan taat yg membangkitkan rasa sombong, ujub dan merendahkan orang lain. Sebagaimana yang di sebutkan oleh oleh Ibnu ‘Athaillah di dalam hikam beliau yang ke 107:

مَعْصِيَة ٌ اَورَثـْتَ ذُلاًّ واَفـْتِقَاراً خَيرٌ من طاَعةٍ اَوْرَثـْتَ عِزًّ واسْتِكباَراً

“Maksiat (dosa) yg menjadikan rendah diri dan membutuhkan rahmat dari Allah, itu lebih baik dari perbuatan taat yg membangkitkan rasa sombong, ujub dan merendahkan orang lain.”

   Mufti Mesir Prof. Dr. Syaikh ‘Ali Jum’ah memberikan penjelasan dengan mengutip penjelasan dari al-‘Allamah ar- Randi dalam syarah hikamnya: “Tidak di ragukan lagi bahwa merendahkan diri dan merasa butuh kepada Allah adalah termasuk dari sifat ‘ubudiyyah, maka menghimpun kedua sifat ini menyebabkan sampai kepada Allah, sedangkan mulia dan besar (agung) termasuk termasuk dari sifat-sifat ketuhanan. Menghimpun kedua sifat ini menyebabkan menjadi hina dan tidak di terimanya amal ibadah.[6]

       Dari penjelasan ini di simpulkan:

1.       Masuk surga harus melalui menjadi hamba Allah terlebih dahulu.

2.       Sifat hamba Allah adalah selalu merendahkan diri, tunduk, patuh dan butuh dihadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

3.       Amal kita tidak menyebabkan kita masuk ke dalam surga, tetapi yang memasukkan adalah karena karunia dan rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

4.       Dosa yang menyebabkan rendah diri dan merasa butuh kepada Allah menyebabkan sampai kepada Allah.

5.       Melakukan ibadah yang menyebabkan diri merasa mulia dan besar (agung) menyebabkan menjadi hina dan tidak di terimanya amal ibadah.

KETENANGAN DAN KEGELISAHAN HATI

  KETENANGAN DAN KEGELISAHAN HATI   اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي شَرَحَ صُدُوْرَ الْمُوَفَّقِيْنَ بِأَلْطَافِ بِرِّهِ وَآلَائِهِ، وَنُوْرِ بَصَ...