Kamis, 10 Juni 2021

Sikap Rasulullah Terhadap Majelis Zikir dan Majelis Taklim di Masjid

Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam Kitabnya Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya mengutip riwayat: 

Suatu hari Rasulullah SAW keluar dari rumah. Ia menuju Masjid Nabawi tercinta di Madinah. Di dalam masjid, Rasulullah SAW mendapati dua majelis para sahabat yang berbeda aktivitasnya. Pada majelis pertama, sekelompok sahabat di satu sisi masjid berzikir menyebut asma Allah. Mereka juga memohon kepada-Nya untuk memenuhi hajat mereka. Sedangan pada majelis yang berbeda, sekelompok sahabat lainnya di sisi lain masjid mempelajari fiqih. Mereka melakukan kajian perihal ketentuan agama dan hukum Islam. "Kedua majelis ini sama-sama baik. Tetapi majelis yang satu lebih utama," kata Rasulullah SAW sambil menunjuk kepada majelis taklim. Mereka, kata Rasulullah SAW sambil menunjuk kepada majelis zikir, berdoa dan berharap kepada Allah SWT. Jika Allah menghendaki, Dia akan mengabulkan permohonan mereka. Tetapi jika Allah berkehendak lain, Dia tidak memenuhi permintaan mereka. 

Mendengar riwayat di atas, maka seharusnya timbul pertanyaan penasaran kita, mengapa Rasulullah lebih memilih majelis ta’lim (majelis ilmu) dari pada majelis dzikir? Maka penasaran kita terjawab dengan kelanjutan dari riwayat di atas:

Adapun mereka, kata Rasulullah SAW menunjuk majelis taklim di sisi lain masjid, tengah belajar (ketentuan agama). Mereka juga mengajarkan orang-orang yang awam.  

"Sungguh, aku hanya diutus sebagai mu’allim (guru pengajar). Mereka ini yang lebih utama," kata Rasulullah SAW kepada sejumlah sahabat yang mendekatinya. Rasulullah SAW kemudian melangkah mendekati majelis taklim. Rasulullah SAW kemudian duduk dan bergabung bersama mereka yang membicarakan halal dan haram (fiqih). 

Dan memang isyarat tentang keutamaan ilmu dan orang yang berilmu ini banyak sekali di sebutkan oleh al- qur’an, di antaranya:

Quran Surat Thaha Ayat  114:

وَقُل رَّبِّ زِدْنِى عِلْمًا

...dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan".

Maksudnya sebagaimana di dalam Tafsir Jalalain:

(dan katakanlah, "Ya Rabbku! Tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan") tentang Alquran, sehingga setiap kali diturunkan kepadanya Alquran, makin bertambah ilmu pengetahuannya.

Surat Az-Zumar Ayat 9:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ

Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"... 

Maksudnya sebagaimana di dalam Tafsir Jalalain:

(Katakanlah, "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yong tidak mengetahui?") tentu saja tidak, perihalnya sama dengan perbedaan antara orang yang alim dan orang yang jahil.

Surat Al-Mujadilah Ayat 11:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ 

...niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat...

Maksudnya sebagaimana di dalam Tafsir Jalalain:

(niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian) karena ketaatannya dalam hal tersebut (dan) Dia meninggikan pula (orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat) di surga nanti.

Surat Fatir Ayat 28:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ 

...Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama...

Maksudnya sebagaimana di dalam Tafsir Jalalain:

(Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama) berbeda halnya dengan orang-orang yang jahil seperti orang-orang kafir Mekah.

Begitu juga di dalam hadits, banyak sekali penjelasan tentang ilmu dan orang yang berilmu, di antaranya:

فَضْلُ العَالِمِ عَلَى العَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ

“Keutamaan ahli ilmu atas ahli ibadah seperti keutamanku atas orang paling rendah dari kalian.” (HR. At-Tirmidzi).


ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺍﻧْﺘِﺰَﺍﻋَﺎً ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋُﻪُ ﻣﻦ ﺍﻟﻌِﺒﺎﺩِ ﻭﻟَﻜِﻦْ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻘَﺒْﺾِ ﺍﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺣﺘَّﻰ ﺇﺫﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺒْﻖِ ﻋَﺎﻟِﻢٌ ﺍﺗَّﺨَﺬَ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺭﺅﺳَﺎً ﺟُﻬَّﺎﻻً ، ﻓَﺴُﺌِﻠﻮﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻓَﻀَﻠُّﻮﺍ ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ


“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. mereka sesat dan menyesatkan. (Muttafaqun ‘Alaih).

Imam Nawawi rahimahullah di dalam Syarah Shohih Muslim menjelaskan:

‏ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻳﺒﻴﻦ ﺃﻥ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﻘﺒﺾ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﻲ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﺴﺎﺑﻘﺔ ﺍﻟﻤﻄﻠﻘﺔ ﻟﻴﺲ ﻫﻮ ﻣﺤﻮﻩ ﻣﻦ ﺻﺪﻭﺭ ﺣﻔﺎﻇﻪ ، ﻭﻟﻜﻦ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺃﻧﻪ ﻳﻤﻮﺕ ﺣﻤﻠﺘﻪ ، ﻭﻳﺘﺨﺬ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺟﻬﺎﻻ ﻳﺤﻜﻤﻮﻥ ﺑﺠﻬﺎﻻﺗﻬﻢ ﻓﻴﻀﻠﻮﻥ ﻭﻳﻀﻠﻮﻥ 

“Hadits ini menjelaskan bahwa maksud diangkatnya ilmu yaitu sebagaimana pada hadits-hadits sebelumnya secara mutlak. Bukanlah menghapuskannya dari dada para penghafalnya, akan tetapi maknanya adalah wafatnya para pemilik ilmu tersebut. Manusia kemudian menjadikan orang-orang bodoh untuk memutuskan hukum sesuatu dengan kebodohan mereka. Akhirnya mereka pun sesat dan menyesatkan orang lain”. 

Sebagai kesimpulan: Marilah kita selalu bersemangat di dalam menuntut ilmu dan senantiasalah mengikuti majelis ilmu, khususnya ilmu syari’at islam sebagaimana yang telah di contohkan oleh Rasullah SAW dalam riwayat di atas.

3 Kesalahan Tersembunyi Ahli Ibadah Yang Sering Tak Di Sadari

Dalam kitab ‘Uyubun Nafsi, Syekh Muhammad ibn al-Husain an-Naisaburi (w. 412 H) mengungkapkan sekitar 35 kesalahan-kesalahan tersembunyi yang tak disadari manusia, termasuk oleh para ahli ibadah. Karena itu, perlu kiranya kesalahan-kesalahan ini diungkap agar kita tetap waspada dan terhindar darinya. Sebab, siapa pun tak menginginkan ibadahnya sia-sia tanpa nilai apa pun di hadapan Allah Yang Maha Kuasa. Namun di sini akan disajikan tiga kesalahan saja (lihat: Syekh Muhammad ibn al-Husain an-Naisaburi, ‘Uyubun Nafsi, [Thantha: Maktabah ash-Shahabah], hal. 5-10). 

Pertama, mengira diri akan selamat. Tak sedikit orang yang beribadah sudah merasa bangga hati bahwa dirinya akan selamat di akhirat. Bahkan tak jarang di antara mereka yang merasa lebih unggul dan istimewa di hadapan orang-orang sekitar. Dia merasa sudah dekat dan berada di jalan Allah. Dia lupa bahwa kemampuannya beribadah semata taufik dari Allah. Kemampuannya berdzikir semata pertolongan dari-Nya. Kemudahan lisannya untuk beristighfar semata kemudahan dari-Nya. Itu pun tidak tahu apakah amalnya diterima dan mendapat rida-Nya atau tidak.   

Makanya para ahli ibadah mesti sadar bahwa setan senantiasa menggelincirkan siapa saja dan dari arah mana saja, sebagaimana ikrar Iblis dalam Al-Qur’an:

   ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ  

“Kemudian aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang mereka, dari arah kanan, dan dari arah kiri mereka,” (Q.S. al-A‘raf [7]: 17).   

Padahal, sebelum mengembuskan napas terakhir membawa iman, siapa pun tak sepantasnya merasa nyaman dan aman dari tipu daya setan. Sebab, tidak ada yang tahu, di detik-detik terakhir, dia malah keluar dari jalan Allah, jauh dari pertolongan-Nya, dan meninggal dalam keadaan su’ul khatimah. Ini artinya, orang yang tekun beribadah saja nasibnya belum pasti, apalagi orang yang lalai beribadah. 

Kaitan ini, Ibnu Abi Dunya pernah berkata, “Jangan pernah berharap bangkit sementara engkau tak mau memperbaiki kesalahan, jangan pernah berharap selamat jika engkau tak mau meninggalkan dosa-dosa. Maka tinggalkanlah kesalahan ini, lalu tempuh jalan petunjuk dan jalan takwa.   

Kedua, tidak merasakan kelezatan ibadah. Hal ini disebabkan oleh kesalahan melihat ibadah sebagai satu kewajiban, bukan sebagai kebutuhan. Ketaatan dibangun bukan atas kesadaran dan kepasrahan kepada Dzat yang memerintah ibadah. Kebaikan yang dijalankan masih banyak dipengaruhi oleh makhluk, bukan atas dasar ketulusan dan keikhlasan kepada Allah. seringkali kebajikan dijalankan hanya karena ingin dipandang, dipuji, dan diperhatikan makhluk. Sehingga pantas saja ibadah yang dilakukan di belakang makhluk tak dirasakan kenikmatannya. Saat tidak ada yang memuji, dirinya kecewa dan tak bersemangat. Bahkan, bukan mustahil, setelah itu dia bosan dan tak lagi semangat beribadah. Makanya Allah meminta hamba-Nya agar beribadah dengan tulus kepada-Nya, sebagaimana ayat: 

  وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ  

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus,” (QS. Al-Bayyinah [85]: 5).   

Jalan keluarnya teruslah berlindung kepada Allah, jangan pernah henti berdzikir mengingat-Nya, jangan pernah luput membaca kitab-Nya, jangan lupa meminta doa para wali Allah, agar Dia membukakan jalan keikhlasan dan pintu kenikmatan beribadah kepada-Nya. Sadarkan hati bahwa makhluk tak kuasa apa-apa, baik mendatangkan manfaat maupun menolak madarat. Mengapa harus bergantung kepada makhluk? Mengapa harus beribadah karena mereka?   

Ketiga, masih ceroboh mengikuti bisikan hati (khawatir). Biasanya, merasa diri sudah tekun beribadah, seseorang menganggap apa yang terbesit dalam hatinya adalah benar dan pantas diikuti. Memang benar hati yang jernih kerap dihinggapi bisikan yang baik. Bisikan baik itu yang kemudian dikenal dengan ilham, fisarat, atau lammah. Sumbernya mungkin dari Allah atau malaikat. Namun, tak selamanya bisikan yang masuk ke dalam hati berasal dari Allah dan malaikat. Terkadang banyak pula bisikan yang datangnya dari setan, nafsu, atau berupa istidraj dan khidzlan.

Antisipasinya adalah terus berdzikir dan memohon perlindungan Allah. Ingatlah bahwa setan tak jauh dari hati manusia. Jika manusia berdzikir, ia bersembunyi. Namun, tatkala manusia lalai, setan kembali membisikinya. Perhatikan setiap bisikan yang datang ke dalam hati. Lalu timbanglah matang-matang sebelum diikuti. Jika seiring dengan hawa nafsu, hindarkan. Jika bertentangan dengan syariat, jauhkan. Pantas Ibrahim al-Khawash mengatakan, “Dosa pertama dimulai dari bisikan hati. Jika bisikan itu diketahui oleh pemilik hati, maka dia akanselamat. Jika tidak, dia akan terjerumus ke dalam kemaksiatan. Di saat yang sama, akal dan ilmu pun tak mampu berbuat banyak.Wallahua’lam.

MALAS MENCARI ILMU? INI BAHAYANYA



Berkata Fathu al-Muwasshili, "Bukankah orang sakit itu bila dilarang makan dan minum serta berobat akan mati? orang-orang berkata
"Ya". Kemudian Fath Muwasshili berkata: "Begitu pula hati". Apabila ia tidak diberi hikmah serta ilmu selama tiga hari, maka ia pun iapun mati,  sungguh benar, sebab hidangan hati ialah ilmu serta hikmah, serta dengan demikian ia hidup, sebagaimana hidangan tubuh ialah makanan serta minuman.
Barang siapa yang hatinya sakit serta mati, sesungguhnya ia telah kehilangan ilmu, ia tidak menyadarinya, sebab kesibukan dunia telah melumpuhkan perasaannya. Jika mengungkapkan kesibukan-kesibukan itu darinya, maka ia pun telah merasakan kepedihan yang sangat serta mengalami penyesalan yang tiada akhir. Itulah makna diantara sabda Rasulullah saw: "Manusia itu
tidur (lalai), maka kalau ia mati, barulah mereka bangun (sadar)".

(Mursyid al-amin mukhtashor ihya' ulumiddin, halaman 9-10) 

Makna Do'a Robbana La Tuzigh Qulubana


رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْت الْوَهَّابُ


"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi karunia." (ali- 'Imran ayat 8 ).


 *"Ya tuhan kami, janganlah engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan"* adalah ucapan do'a orang² yg mendalam ilmunya.  Makna lainnya adalah janganlah Engkau condongkan hati kami dari mengikuti kebenaran kepada mengikuti yg mutasyabih (seperti benar)  dg takwil yg tidak di ridhoi-Nya. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Hati manusia berada di antara dua jemari Allah, jika Dia menghendaki maka Dia tegakkan di atas kebenaran, jika Dia menghendaki Dia condongkan dari kebenaran. Pengertian lain adalah "jangan Engkau uji kami dg ujian yg membengkokkan hati kami. 


 *"sesudah engkau beri petunjuk kepada kami"* kepada kebenaran dan iman. 


 *"kurniakanlah kepada kami rahmat dari sisi engkau"* dekatkan kami kepada-Mu, dan kami memperoleh keberuntungan dengannya (rahmat), atau pertolongan untuk tetap berada di atas kebenaran, atau memperoleh ampunan dari dosa. 


 *"karena sesungguhnya engkaulah maha pemberi kurnia"* bagi semua permintaan. Di dalam ayat ini terdapat dalil bahwasanya petunjuk dan kesesatan itu dari Allah, dan Dia memberikan keutamaan dg memberikan nikmat kepada hamba-Nya, tidak ada kewajiban sedikitpun atas-Nya.  


(Sumber: Tafsir al- Baidhowi, anwar at tanzil wa asror at takwil).

Saksikan juga penjelasannya di youtube berikut:



Senin, 10 Mei 2021

Junub Sampai Pagi, Batalkah Puasa?

 عن عائشة وأم سلمة رضي الله عنهما "أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ ثُمَّ يَغْتَسِلُ ويَصُومُ" متفق عليه وزاد مسلم في حديث أم سلمة "وَلَا يَقْضِي 


Artinya: 


“Dari Aisyah RA dan Ummu Salamah RA, Nabi Muhammad SAW pernah berpagi hari dalam kondisi junub karena jimak, kemudian beliau mandi, dan terus berpuasa,” 


(HR Muttafaq Alaih.) 


Imam Muslim dalam riwayat dari Ummu Salamah RA menyebutkan, “Rasulullah SAW tidak mengaqadha.”


Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki menerangkan, redaksi “Rasulullah SAW tidak mengaqadha” mengisyaratkan bahwa puasa yang dijalani oleh Rasulullah SAW di hari tersebut tidak berkekurangan sesuatu apapun. 


ولا يقضي أ ي صوم ذلك اليوم لأنه صوم صحيح لا خلل فيه


Artinya: 


"Rasulullah SAW tidak mengaqadha’ maksudnya adalah tidak mengqadha puasa hari tersebut di bulan lainnya karena puasanya hari itu tetap sah tanpa cacat sedikitpun di dalamnya. 


(Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [ Penerbit: al- Bidayah 2018 M/1439 H], cetakan pertama, juz II, halaman 545). 


Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki menjelaskan, dari hadits ini dapat disimpulkan bahwa orang yang berhadats besar boleh menunda mandi junub hingga pagi hari. 


جواز تأخير الغسل من الجنابة للصائم إلى ما بعد طلوع الفجر والأفضل التعجيل بالغسل قبل الفجر


Artinya: 


“Orang yang berpuasa boleh menunda mandi junub hingga waktu setelah fajar terbit. Tetapi yang lebih utama adalah ia menyegerakan mandi wajib sebelum terbit fajar atau sebelum Subuh."


(Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam,[ Penerbit: al- Bidayah 2018 M/1439 H], cetakan pertama, juz II, halaman 546).

Kesimpulan: Junub Sampai Pagi Tidak Membatalkan Puasa.

Selasa, 16 Februari 2021

PINJAM UANG DI KOPERASI

 Pertanyaan :


Bagaimana hukumnya pinjam dari koperasi?


Jawab :


Bahwa pinjam dari koperasi atau lainnya, apabila dijanjikan memberi bunga (rente) dan janjinya itu dalam akad atau sesudah akad tetapi sebelum ada ketetapan pinjam, maka hukumnya haram dengan kesepakatan (mufakat) para ulama; karena itu termasuk pinjaman dengan menarik keuntungan, tetapi kalau tidak dengan perjanjian bicara atau tulisan, maka hukumnya boleh dengan tidak selisih antara para ulama, kalau dengan perjanjian dengan tulisan zonder dibaca, atau tentang bunga itu telah menjadi kebiasaan, walaupun tidak dijanjikan, maka hukumnya ada dua pendapat yaitu haram, yang kedua boleh.


Keterangan, dari kitab:


I’anah al-Thalibin [1]

وَمِنْ رِبَا الْفَضْلِ رِبَا الْقَرْضِ وَهُوَ كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا لِلْمُقْرِضِ غَيْرِ نَحْوِ رَهْنٍ لَكِنْ لاَ يَحْرُمُ عِنْدَنَا إِلاَّ إِذَا اشْتُرِطَ فِيْ عَقْدِهِ .


Dan di antara riba al fadhl adalah riba al qardh, yakni semua pinjaman yang memberikan manfaat kepada si peminjam, kecuali seperti gadai. Menurut kita, yang demikian itu tidak haram kecuali disyaratkan dalam akad menghutangi.


Tuhfah al-Muhtaj [2]

وَالْحَاصِلُ أَنَّ كُلَّ شَرْطِ مُنَافِ لِمُقْتَضَى الْعَقْدِ إِنَّمَا يَبْطُلُ إِنْ وَقَعَ فِيْ صُلْبِ الْعَقْدِ أَوْ بَعْدَهُ وَقَبْلَ لُزُوْمِهِ لاَ إِنْ تَقَدَّمَ عَلَيْهِ وَلَوْ فِيْ مَجْلِسِهِ.


Dan kesimpulannya adalah, semua syarat yang menafikan konsekuensi akad akan membatalkannya jika terjadi dalam akad atau sesudahnya dan sebelum luzum(tetap)nya. Bukan bila mendahului akad, walaupun di majlisnya.


Fathul Mu’in dan I’anah al-Thalibin [3]

وَجَازَ لِمُقْرِضٍ نَفْعٌ يَصِلُ لَهُ مِنْ مُقْتَرِضٍ كَرَدِّ الزَّائِدِ قَدْرًا أَوْ صِفَةً وَاْلأَجْوَدِ فِي الرَّدِئِ بِلاَ شَرْطٍ فِي الْعَقْدِ بَلْ يُسَنُّ ذَلِكَ لِمُقْتَرِضٍ لِقَوْلِه r: إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً. وَأَمَّا الْقَرْضُ بِشَرْطِ جَرِّ نَفْعٍ لِمُقْرِضٍ فَفَاسِدٌ لِخَبَرِ كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا، وَمِنْهُ الْقَرْضُ لِمَنْ يَسْتَأْجِرُ مِلْكَهُ أَيْ مَثَلاً بِأَكْثَرَ مِنْ قِيْمَتِهِ  لِأَجْلِ الْقَرْضِ إِنْ وَقَعَ ذَلِكَ شَرْطًا إِذْ هُوَ حِيْنَئِذٍ حَرَامٌ اِجْمَاعًا وَإِلاَّ كُرِهَ عِنْدَنَا وَحُرِمَ عِنْدَ كَثِيْرٍ مِنَ الْعُلَمآءِ. (قَوْلُهُ فَفَاسِدٌ) قَالَ ع ش وَمَعْلُوْمُ أَنَّ مَحَلَّ الْفَسَادِ حَيْثُ وَقَعَ الشَّرْطُ فِيْ صُلْبِ الْعَقْدِ. أَمَّا لَوْ تَوَافَقَا عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَقَعْ شَرْطٌ فِي الْعَقْدِ فَلاَ فَسَادَ.


Diperkenankan bagi kreditur untuk memperoleh manfaat yang diberikan debitur seperti pengembalian pinjaman yang lebih baik ukuran atau sifatnya, yang lebih bagus dari barang yang dipinjamkan yang tidak disyaratkan dalam akad, bahkan yang demikian itu disunatkan bagi debitur karena sabda Rasul Saw.: “Sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutangnya.” Sedangkan pinjaman yang disertai syarat keuntungan bagi pihak yang meminjami, maka merupakan akad fasid (rusak) karena hadits: “Semua utang yang menarik keuntungan adalah riba.” Termasuk kategori ini adalah misalnya menghutangi orang yang menyewa hartanya dengan harga lebih karena hutang tersebut, jika persewaan itu menjadi syarat menghutangi, karena dalam kondisi seperti tersebut penghutangan itu haram secara ijma’. Bila tidak menjadi syarat, maka menurut kita hukumnya makruh dan menurut ulama banyak hukumnya haram. (Ungkapan Syaikh Zainuddin al-Malibari: “Maka merupakan akad fasid.”) Ali Syibramallisi berkata: “Dan telah maklum, fasidnya akad tersebut bila penyaratan menyewa dengan harga lebih itu terjadi dalam pelaksanaan akad menghutangi. Bila kedua pihak menyepakati sewa dengan harga lebih itu dan tidak menjadi syarat dalam akad penghutangan, maka akad hutang tidak rusak. 4. Bughyah al-Mustarsyidin


[4] (مَسْأَلَةُ ب) مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ مُجَرَّدَ الْكِتَابَةِ فِيْ سَآئِرِ العُقُوْدِ وَاْلأِخْبَارَاتِ وَاْلإِنْشَاءَآتِ لَيْسَ بِحُجَّةٍ شَرْعِيَّةٍ.


Menurut madzhab Syafi’i, bahwa sekedar tulisan di semua transaksi, beberapa pemberitahuan dan pengajuan bukan hujjah syar’i (dalil syara’).


Al-Asybah wa al-Nazha’ir [5]

الْعَادَةُ الْمُطَّرِدَةُ فِيْ نَاحِيَةٍ هَلْ تُنْزَلُ عَادَتُهُمْ مَنْزِلَةَ الشَّرْطِ فِيْهِ صُوَرٌ ... وَمِنْهَا لَوْ جَرَتْ عَادَةُ الْمُقْتَرِضِ بِرَدٍّ أَزْيَدَ مِمَّا اقْتَرَضَ فَهَلْ يُنْزَلُ مَنْزِلَةَ الشَّرْطِ فَيَحْرُمُ إِقْرَاضُهُ وَجْهَانِ أَصَحَّهُمَا لاَ. Adat yang berlaku di suatu daerah, apakah adat mereka diposisikan sebagaimana syarat, dalam kaidah ini ada beberapa kasus. … Di antaranya, seandainya berlaku adat yang mengharuskan peminjam mengembalikan barang yang lebih baik dari yang dipinjamnya. Maka apakah adat itu diposisikan sebagaimana syarat, sehingga hukum menghutanginya haram? Dalam kasus ini ada dua pendapat, yang lebih sahih adalah tidak diposisikan sebagaimana syarat.


[1] Al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1418 H/1997 M), Jilid III, h. 26.


[2] Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj bi Syarah Minhaj al-Thalibin pada Hasyiyah al-Syirwani, (Mesir: at-Tijariyah al-Kubra, t. th.), Jilid IV, h. 296.


[3] Zainuddin al-Malibari dan al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, Fath al-Mu’in dan I’anah al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1418 H/1997 M), Jilid III, h. 64-66.


[4] Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, (Pekalongan: Syirkah Nur Asia, t. Th), h. 186.


[5] Jalaluddin al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha’ir, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), h. 67.

Sabtu, 30 Januari 2021

MEMPERBAIKI ORIENTASI HIDUP

Pernahkah kita melihat orang yang mencari rumah teman atau keluarganya, tapi ia tidak tahu persis alamatnya, maka kemudian yang terjadi adalah ia hanya berputar- putar di tempat tersebut dan kemudian kembali lagi ke tempat semula? Ini adalah perumpamaan bagi kita, bahwa orientasi hidup kita harus jelas agar kita bisa sampai dengan selamat ke tujuan sebenarnya. Gambaran seperti ini, juga di jelaskan oleh syaikh Ibnu ‘Atholillah di dalam kitabnya al- Hikam sebagai berikut:

لَا تَرْحَلْ مِنْ كَوْنٍ إِلَى كَوْنٍ فَتَكُوْنَ كَحِمَارِ الرَّحَى يَسِيْرُ وَالَّذِيْ ارْتَـحَلَ إِلَيْهِ هُوَ الَّذِيْ ارْتَـحَلَ مِنْهُ وَلَكِنْ ارْحَلْ مِنْ الْأَكْوَانِ إِلَى الْمُكَوِّنِ وَأَنَّ إِلَى رَبِّكَ الْمُنْتَهَى

“Janganlah engkau pergi dari satu alam ke alam lain sehingga engkau seperti keledai yang berputar-putar di penggilingan, tempat tujuannya adalah tempat yang semula ia berangkat. Tetapi pergilah dari semua alam kepada pencipta alam. ”Dan sesungguhnya kepada Tuhanmu puncak segala tujuan.”

Beramal dengan disertai riya', dan sifat-sifat tercela lainnya dalam pandangan syara’, harus dihindari oleh seorang hamba yang menempuh perjalanan menuju Tuhan. Begitu pula beramal untuk mencari balasan, pangkat, kedudukan, kehormatan dan derajat yang tinggi, juga tercela, terutama dalam pandangan orang-orang yang arif. Oleh sebab itu seorang hamba yang menempuh perjalanan menuju “ Tuhan harus membebaskan diri dari beramal semacam itu. Lakukan amal ibadah hanya karena Allah agar mendapatkan keridhaan-Nya. Jangan berputar-putar pada tujuan rendah dan tercela tersebut. Sehingga membuat bagaikan keledai penggilingan yang terus berputar-putar di tempat. 

Amal ibadah yang dilakukan secara riya' dan dengan tujuan-tujuan agar dipandang masyarakat sebagai orang yang ahli ibadah, agar dihormati dan untuk mencari kepentingan duniawi lainnya adalah sama saja, mengganti keihlasan dengan riya', dan mengganti ibadah yang seharusnya dilakukan karena Allah, tetapi dilakukan demi mencari popularitas, kedudukan dan kepentingan duniawi lainnya. Padahal semua kedudukan, kemuliaan dan harta duniawi itu berada di tangan Allah. Ketika seorang hamba beribadah ikhlas karena Allah, maka dengan sendirinya, Allah akan memberikan dan mencukupi kebutuhan hidupnya di dunia tanpa harus meminta kepada-Nya. Karena Dia adalah Maha Mengetahui lagi Maha Pemurah. 

Kepadanya segala aktivitas kesalehan dan amal ibadah seharusnya ditujukan. Karena kesudahan dari segala sesuatu itu adalah kepadaNya juga. Allah swt. berfirman: 

وَأَنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ ٱلْمُنتَهَىٰ 

"Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu)." (Q.S. an- Najm: 42)

Selanjutnya Ibnu Athoillah menyatakan, dan lihatlah pada sabda Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم :

 فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

“Maka siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907).

Hadis ini menegaskan makna hikmah sebelumnya. Hadis ini patut diperhatikan dan dicamkan baik-baik, terutama pada bagian akhir, yaitu bahwa hijrah seseorang akan berakhir di tempat yang menjadi tujuan hijrahnya. Maknanya, orang yang hijrahnya kepada dunia saja tidak akan meraih pencapaian dan kedekatan yang diraih oleh orang-orang yang berhijrah kepada Allah dan Rasūl-Nya. Seakan Rasulullah memperingatkan kita tentang pengaruh buruk dunia dan perempuan terhadap jiwa bila kita terlalu terobsesi pada dunia dan perempuan.

Sabda beliau: “maka hijrahnya kepada Allah dan Rasūl-Nya” bermakna pergi dari alam menuju Pencipta alam. Inilah yang dituntut dari seorang hamba. Adapun makna ungkapan “maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya” adalah tetap berada di alam, tidak ke mana-mana dan hanya berputar-putar di tempat.

Asyyibli mengatakan, “Awas tipuan Allah, walaupun dalam Firman-Nya:

كُـلُوْا وَاشْرَبُوْا

“Makanlah dan Minumlah.” (al-A’rof: 31)

Maksud-Nya, janganlah engkau tenggelam dalam keinginan. Tetapi jadikanlah segala sesuatu karena Allah bukan karena nafsumu. Maka firman Allah, Makanlah dan minumlah, walau zhahirnya berupa kenikmatan, tetapi batinnya adalah cobaan sehingga Allah mengetahui siapa yang bersama Allah dan siapa yang bersama nafsunya.”

Intinya, jadikanlah segala tujuan hidup kita hanya untuk Allah, agar hidup ini tidak sia-sia dan semuanya terisi ibadah kepada Allah.

Kesimpulannya, marilah kita perbaiki kembali orientasi dan tujuan hidup kita dan kita dituntut untuk menguatkan tekad, menjauhkan keinginan dari makhluk, dan menggantungkan diri kepada Yang Maha Ḥaqq. Tentu, faktor yang bisa memudahkan kita sampai pada maqam ini ialah pergaulan dengan kaum ‘ārif yang mengenal Allah.

KETENANGAN DAN KEGELISAHAN HATI

  KETENANGAN DAN KEGELISAHAN HATI   اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي شَرَحَ صُدُوْرَ الْمُوَفَّقِيْنَ بِأَلْطَافِ بِرِّهِ وَآلَائِهِ، وَنُوْرِ بَصَ...