Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam Kitabnya Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya mengutip riwayat:
Suatu hari Rasulullah SAW keluar dari rumah. Ia menuju Masjid Nabawi tercinta di Madinah. Di dalam masjid, Rasulullah SAW mendapati dua majelis para sahabat yang berbeda aktivitasnya. Pada majelis pertama, sekelompok sahabat di satu sisi masjid berzikir menyebut asma Allah. Mereka juga memohon kepada-Nya untuk memenuhi hajat mereka. Sedangan pada majelis yang berbeda, sekelompok sahabat lainnya di sisi lain masjid mempelajari fiqih. Mereka melakukan kajian perihal ketentuan agama dan hukum Islam. "Kedua majelis ini sama-sama baik. Tetapi majelis yang satu lebih utama," kata Rasulullah SAW sambil menunjuk kepada majelis taklim. Mereka, kata Rasulullah SAW sambil menunjuk kepada majelis zikir, berdoa dan berharap kepada Allah SWT. Jika Allah menghendaki, Dia akan mengabulkan permohonan mereka. Tetapi jika Allah berkehendak lain, Dia tidak memenuhi permintaan mereka.
Mendengar riwayat di atas, maka seharusnya timbul pertanyaan penasaran kita, mengapa Rasulullah lebih memilih majelis ta’lim (majelis ilmu) dari pada majelis dzikir? Maka penasaran kita terjawab dengan kelanjutan dari riwayat di atas:
Adapun mereka, kata Rasulullah SAW menunjuk majelis taklim di sisi lain masjid, tengah belajar (ketentuan agama). Mereka juga mengajarkan orang-orang yang awam.
"Sungguh, aku hanya diutus sebagai mu’allim (guru pengajar). Mereka ini yang lebih utama," kata Rasulullah SAW kepada sejumlah sahabat yang mendekatinya. Rasulullah SAW kemudian melangkah mendekati majelis taklim. Rasulullah SAW kemudian duduk dan bergabung bersama mereka yang membicarakan halal dan haram (fiqih).
Dan memang isyarat tentang keutamaan ilmu dan orang yang berilmu ini banyak sekali di sebutkan oleh al- qur’an, di antaranya:
Quran Surat Thaha Ayat 114:
وَقُل رَّبِّ زِدْنِى عِلْمًا
...dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan".
Maksudnya sebagaimana di dalam Tafsir Jalalain:
(dan katakanlah, "Ya Rabbku! Tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan") tentang Alquran, sehingga setiap kali diturunkan kepadanya Alquran, makin bertambah ilmu pengetahuannya.
Surat Az-Zumar Ayat 9:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ
Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"...
Maksudnya sebagaimana di dalam Tafsir Jalalain:
(Katakanlah, "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yong tidak mengetahui?") tentu saja tidak, perihalnya sama dengan perbedaan antara orang yang alim dan orang yang jahil.
Surat Al-Mujadilah Ayat 11:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ
...niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat...
Maksudnya sebagaimana di dalam Tafsir Jalalain:
(niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian) karena ketaatannya dalam hal tersebut (dan) Dia meninggikan pula (orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat) di surga nanti.
Surat Fatir Ayat 28:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ
...Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama...
Maksudnya sebagaimana di dalam Tafsir Jalalain:
(Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama) berbeda halnya dengan orang-orang yang jahil seperti orang-orang kafir Mekah.
Begitu juga di dalam hadits, banyak sekali penjelasan tentang ilmu dan orang yang berilmu, di antaranya:
فَضْلُ العَالِمِ عَلَى العَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ
“Keutamaan ahli ilmu atas ahli ibadah seperti keutamanku atas orang paling rendah dari kalian.” (HR. At-Tirmidzi).
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺍﻧْﺘِﺰَﺍﻋَﺎً ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋُﻪُ ﻣﻦ ﺍﻟﻌِﺒﺎﺩِ ﻭﻟَﻜِﻦْ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻘَﺒْﺾِ ﺍﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺣﺘَّﻰ ﺇﺫﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺒْﻖِ ﻋَﺎﻟِﻢٌ ﺍﺗَّﺨَﺬَ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺭﺅﺳَﺎً ﺟُﻬَّﺎﻻً ، ﻓَﺴُﺌِﻠﻮﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻓَﻀَﻠُّﻮﺍ ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. mereka sesat dan menyesatkan. (Muttafaqun ‘Alaih).
Imam Nawawi rahimahullah di dalam Syarah Shohih Muslim menjelaskan:
ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻳﺒﻴﻦ ﺃﻥ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﻘﺒﺾ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﻲ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﺴﺎﺑﻘﺔ ﺍﻟﻤﻄﻠﻘﺔ ﻟﻴﺲ ﻫﻮ ﻣﺤﻮﻩ ﻣﻦ ﺻﺪﻭﺭ ﺣﻔﺎﻇﻪ ، ﻭﻟﻜﻦ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺃﻧﻪ ﻳﻤﻮﺕ ﺣﻤﻠﺘﻪ ، ﻭﻳﺘﺨﺬ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺟﻬﺎﻻ ﻳﺤﻜﻤﻮﻥ ﺑﺠﻬﺎﻻﺗﻬﻢ ﻓﻴﻀﻠﻮﻥ ﻭﻳﻀﻠﻮﻥ
“Hadits ini menjelaskan bahwa maksud diangkatnya ilmu yaitu sebagaimana pada hadits-hadits sebelumnya secara mutlak. Bukanlah menghapuskannya dari dada para penghafalnya, akan tetapi maknanya adalah wafatnya para pemilik ilmu tersebut. Manusia kemudian menjadikan orang-orang bodoh untuk memutuskan hukum sesuatu dengan kebodohan mereka. Akhirnya mereka pun sesat dan menyesatkan orang lain”.
Sebagai kesimpulan: Marilah kita selalu bersemangat di dalam menuntut ilmu dan senantiasalah mengikuti majelis ilmu, khususnya ilmu syari’at islam sebagaimana yang telah di contohkan oleh Rasullah SAW dalam riwayat di atas.