Senin, 05 Oktober 2020

Waktu Terkabulnya Doa di Hari Jum'at

Pertanyaan:

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

Ada satu Waktu Terkabulnya Doa di Hari Jum'at, kapankah itu?


Jawaban:

Wassalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh. 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ فِيهِ سَاعَةٌ لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَأَشَارَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا


 Artinya, “Dari Sahabat Abi Hurairah RA, sungguh Rasulullah SAW menyebut hari Jumat kemudian berkomentar perihal Jumat, ‘Pada hari itu terdapat waktu yang tidaklah seorang Muslim menemuinya dalam keadaan beribadah seraya ia meminta kepada Allah sesuatu hajat, kecuali Allah mengabulkan permintaannya.’ Rasulullah memberi isyarat dengan tangannya bahwa waktu tersebut sangat sebentar,” (HR Al-Bukhari).


عَنْ أَبِي مُوْسَى اَلْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ لِيْ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ أَسَمِعْتَ أَبَاكَ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِيْ شَأْنِ سَاعَةِ الْإِجَابَةِ؟ قَالَ قُلْتُ نَعَمْ سَمِعُتُهُ يَقُوْلُ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ هِيَ مَا بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الْإِمَامُ إِلَى أَنْ تُقْضَى الصَّلَاةُ 


Artinya, “Dari Abi Musa Al-Asy’ari, ia berkata, ‘Abdullah bin Umar berkata kepadaku, ‘Apakah kau pernah mendengar ayahmu bercerita dari Rasulullah Saw tentang waktu ijabah?’ Aku menjawab, ‘iya.’ Aku pernah mendengar ayahku mendengar dari Rasulullah bahwa beliau bersabda, ‘Waktu ijabah adalah waktu di antara duduknya imam sampai selesainya shalat Jumat,’” (HR Muslim dan Abi Dawud).


Menurut mayoritas ulama madzhab Syafi’i, waktu ijabah yang paling diharapkan adalah waktu di antara duduknya khatib di atas mimbar sebelum ia berkhutbah dan salamnya Imam jamaah shalat Jumat.


Mengenai rentang waktu sebagaimana diterangkan hadits tersebut, Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan. 


وَالْمُرَادُ أَنَّهَا لَا تَخْرُجُ عَنْ هَذَا الْوَقْتِ لَا أَنَّهَا مُسْتَغْرِقَةٌ لَهُ لِأَنَّهَا لَحْظَةٌ لَطِيْفَةٌ 


Artinya, “Yang dimaksud adalah bahwa waktu ijabah tersebut tidak keluar dari rentang waktu ini, bukan keseluruhan rentang waktu tersebut, karena waktu ijabah sangat singkat sekali,” 


(Lihat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Minhajul Qawim, Hamisy Hasyiyah At-Tarmasi, Jeddah, Darul Minhaj, cetakan pertama, 2011, juz 4, halaman 345).


Syekh Jalaluddin Al-Bulqini sebagaimana dikutip Syekh Mahfuzh At-Tarmasi menjawab sebagai berikut.


 وَسُئِلَ الْبُلْقِيْنِيُّ كَيْفَ يُسْتَحَبُّ الدُّعَاءُ فِيْ حَالِ الْخُطْبَةِ وَهُوَ مَأْمُوْرٌ بِالْإِنْصَاتِ؟ فَأَجَابَ بِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ شَرْطِ الدُّعَاءِ اّلتَّلَفُّظُ بَلِ اسْتِحْضَارُ ذَلِكَ بِقَلْبِهِ كَافٍ فِيْ ذَلِكَ 


Artinya, “Imam Al-Bulqini ditanya. ‘Bagaimana mungkin jamaah Jumat disunahkan berdoa saat berlangsungnya khutbah sementara ia diperintahkan diam?’ Ia menjawab, ‘Doa tidak disyaratkan untuk diucapkan. Menghadirkan doa di dalam hati saat khutbah berlangsung sudah cukup,’” 


(Lihat Syekh Mahfuzh Termas, Hasyiyah At-Tarmasi ‘alal Minhajil Qawim, Jeddah, Darul Minhaj, cetakan pertama, 2011, juz 4, halaman 344).


Sumber:

1. Hasyiyah At-Tarmasi ‘alal Minhajil Qawim

2. NU online

KRITERIA PEMIMPIN

Pertanyaan:

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh. 

Bagaimana kriteria pemimpin menurut Islam?


Jawaban:

Wassalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh. 

SYARAT PEMIMPIN MENURUT 3 ULAMA KLASIK


Menurut Imam al-Mawardi ada 7 syarat:

1. Rasa keadilan (‘adalah);

2. Pengetahuan (‘ilm);

3. Sehat pendengaran, penglihatan dan pembicaraan;

4. Sehat tubuh tidak cacat, yang dapat menghambat pelaksanaan tugas;

5. Berwawasan luas dalam hal administrasi negara

6. Punya keberanian untuk melindungi wilayah Islam dan melaksanakan jihad;

7. Punya garis keturunan dari Quraisy.


Menurut Imam al-Ghazali menyebutkan ada 10 syarat:

1. Baligh

2. Berakal (tidak gila)

3. Merdeka (bukan budak)

4. Lelaki

5. Keturunan suku Quraisy

6. Sehat panca indera

7. Keberanian untuk perang

8. Punya kompetensi (kifayah)

9. Punya pengetahuan

10. wara’.


Menurut Ibnu Khaldun ada 5 Syarat:

1. berilmu

2. adil

3. kompetensi

4. sehat panca indera

5. memiliki sifat suku quraisy.


Sumber:

1.Al- Ahkamus Sulthoniyyah,  Imam al- Mawardi.

2.https://nadirhosen.net/tsaqofah/tafsir/73-tiga-ulama-klasik-apa-syarat-menjadi-pemimpin

PENYEBAB DO'A TIDAK DIKABULKAN

Pertanyaan:

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh. 

Saya sering berdo'a, tapi kenapa belum ada tanda-tanda di kabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, mengapa?

Jawaban:

Wassalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh. 

DO'A TIDAK TERKABUL? 

Bisa jadi penyebabnya adalah karena hati lalai tidak mengingat Allah di dalam setiap do'anya. Silahkan ambil pelajaran dari kisah berikut:

Kisah ini bermula saat Nabi Musa as jalan² menyusuri jalan setapak. Lalu tanpa sengaja ia bertemu dengan penggembala seekor kambing. Penggembala ini nampak sedang khusyuk berdoa.

Melihat penggembala tersebut, Nabi Musa  merasa iba dan kasihan. “Betapa mengibanya dia pada الله Swt., tapi tak kunjung dikabulkan”. Sehingga Nabi Musa mengadukannya pada الله Swt.,

الهي لو كانت حاجته بيدي لقضيتها

Ilahi lau kana hajatuha biyadayya, laqodhoytuha.

Wahai Tuhanku, andaikata kebutuhannya ada di tanganku, pasti aku akan mengabulkannya.

Mendengar pengaduan Nabi Musa, الله Swt. mewahyukan padanya,

انا ارحم به منك ولكنه يدعوني وله غنم وقلبه عند غنمه واني لا استجيب لعبد يدعوني وقلبه عند غيري

Ana arhamu bihi minka walakinnahu yad’uni walahu ghanamun waqolbuhu ‘indaghanamihi. Wainni la astajibu liabdin yad’uni waqolbuhu ‘inda ghairi.

Aku itu lebih kasihan padanya dibandingkan dirimu. Akan tetapi dia berdoa padaku sedangkan hatinya memikirkan kambing gembalanya. Sesungguhnya aku tidak akan mengabulkan doa hamba-Ku yg hatinya terdapat selain-Ku.

Mendengar wahyu dari الله Swt., Nabi Musa langsung sadar akan kesalahannya. Lalu beliau menyampaikan hal itu pada si penggembala kambing. Tak lama kemudian, doanya dikabulkan oleh الله

Jadi, tidak ada ceritanya doa yg tidak dikabulkan. Allah Swt. pasti meng-ijabah doa-doa hamba-Nya. Hanya saja dengan syarat harus dengan hati yg khusyuk. Yakni tidak ada hal lain di hati kita kecuali Allah Swt. 

(Sumber: Is’adurrofiq, Juz 2 halaman 216). 

والله اعلم

IDOLANYE ANAK MUDE SAMPE ORANG TUE

“Biasanyee anak muda punya idola. Idolanyapun macem-macem, tapiii sayang, kebanyakan mengidolakan artis dan orang-orang Barat yang dianggap kren abiiiz. Jarang yang ngidolain tokoh-tokoh dari para ilmuan apalagi Nabi Muhammad SAW. Akibatnyaaa yach tahu gitu, gaya dan tren hidup berubah, mulai dari ujung rambut sampe ujung kaki pengen niru sang artis idola. Ada yang rambutnya berdiri semua, ada yang gelangnya hampir nyampe siku, ada yang rambutnya warna-warni, macem-macem dech. Pokoknya idolaku adalah teladanku, begitulah kira-kira. Celakanya, banyak yang ngikutin tren yang lebih lagi, itu tuuu, trennya orang Barat. Katanya sich keren. Apa iya begitu? Tuh kita tengok di film-film, orang-orang itu banyak yang gaulnya klewat bebas. Kadang, muda-mudi dua-dua an, nyepi-nyepi, malem-malem lagi, hiii ngeri dech...banyak setannya. Khan, kalo laki and prempuan dua-dua an, yang ketiganya adalah setan. Itu kata Nabi”.

”Padahal, kalo dipikir-pikir, Nabi kita dulu ngadepin orang-orang yang gituan. Kelakuannya tak ubah seperti itu tuu”. ”itu apa?”. ”ssst, itu makhluk berkaki empat alias...”. ”Lho kok gitu?” ”ya ialah, kalo laki- laki dan perempuan klewat bebas and nggak tau malu, berarti kira-kira yaa seperti gituan, padahal khan, malu itu sebagian dari iman and yang ngebedain kite ama binatang adalah malu salah satunya”. ”kemudian kita liat juga, di sana- sini banyak anak-anak muda yang make narkoba, padahal sama aja efek make narkoba dan khomar seperti zaman nabi dulu, sama-sama ngebuat kesadaran hilang, akibatnyaaa, bisa-bisa tidak sadar, bahkan jadi miring alias sinting. Na’uudzubillahi min dzalik.”Makanya Allah suruh Nabi kita Muhammad SAW tuk ngerubah semuanya. Awalnya, beliau sendiri yang ngasih contoh teladan, sahabat yang lain ngikutin, akhirnya selamat dech mereka semua, dunia akhirat lagi.” Makanya, kalo mo slamat, teladinin nabi kita”. ”OK dech bro”.

”Apa sich yang pertama harus kita ikutin dari nabi?” yach, pertama-tama ketauhidannya kepada Allah, beliau yakin bahwa Allah SWT yang ciptain semua yang ada di alam, Allah yang atur alam semesta, Allah yang kasih rezeki, Allah yang ngasih pintar, pokoknya serba Maha dech.” Makanya nabi kita sangat yakin dengan itu smua, akhirnya buah keyakinannya ya nyembah, taat, penuh harap dan takut sama Allah SWT, pokoknya idup and mati di tangan Allah.” kemudian nabi ngajarin kita tuk mengenal Allah melalui Nama- Nama Allah yang Terbaik ato Asmaul Husna.” Beliau nyuruh kita niru nama-nama and sekaligus sifat-sifat Allah tersebut, seperti Allah Maha Penyayang, maka kita tiru sifat tersebut, sehingga kita jadi penyayang juga. Tapiii, sayangnya bukan seperti siswa sayang ama siswi. Kalo itu ya beda laaah... Allah Mengetahui, maka kita tiru Allah, kita banyak baca, kalo belajar banyak diskusi and bertaya pada guru, biar kita jadi banyak tahu. Gitu lho caranya”. Tapi nggak mungkin la kalo semua sifat disebutin di sini, pokoknya de el el nya nanya aja ama guru agama.”

”Lantas yang patut kita tiru dari nabi adalah ibadah beliau”. Gimana sich gambaran singkat beliau beribadah?” ”Katanya beliau sholat ampe kakinya bengkak”. Kalo kita bengkaknya karena maen bola kaki, ato jatuh dari motor. Boro-boro mo sholat ampe bengkak, solat lima waktu aje lewaaat”. Tahajudnya tiap malam, bahkan bagi beliau tahajud wajib, tapi untung bagi ummatnya Cuma sunnah, kalo tahajjud di wajibkan tuk kita smua, ayo gimana?” “beliau senantiasa puasa, baca Qur’an de el el. Pokoknya komplet dech ibadah beliau. Makanya Jin ato Setan nggak ada yang berani ama beliau. Beda dengan kita, jangankan Cuma ngegoda, Jin ato Setan itu bahkan tidur aje mau dengan kita. Jadiii, karena iman ama ibadah beliau kuat and benar, maka akhlak beliaupun elok.”

”Kalo gitu gimana gambaran akhlak beliau?” pernah istri beliau ’Aisyah ditanya oleh salah seorang sahabat, gimana akhlak beliau?” istrinya ’Aisyah menjawab, ”akhlaknya adalah al-Qur’an.” Ooo gitu, jadi kalo kita ingin niru beliau maka harus baca Qur’an.” Heee, tidak cukup Cuma dibaca aja, tapi juga di faa-haa-mii, khan katanya pedoman dan petunjuk hidup?” Makanya kita belajar agama Islam. Biar bisa faham al-Qur’an, bukan hanya sekedar bisa baca.” Satu lagi yang harus diingat, bahwa tuk fahami al-Qur’an harus juga belajar hadis and ngikutin keterangan para ulama, kalo Cuma pemahaman kita sendiri, takutnya tersesat lagiii, ntar jadi aliran sesat, bisa berabe.” Makanya kalo nggak tau tanya ama yang tau, jangan sok tau, gitchu lho.”

”waktu masih remaja, kayak kita-kita nih, beliau sudah tidak punya bokap and nyokap lagi sejak beliau kecil, pertama diasuh kakeknya kemudian beliau diasuh oleh pamannya, Abu Thalib, and sewaktu masih kira umur tujuh sampe delapan taonan beliau udah hidup mandiri. Beliau memelihara kambing-kambing penduduk Mekah, truuus dapat upah dech tuk keperluan hidup beliau, nggak seperti kita-kita, taunya Cuma ngenadahin tangan ama ortu, Ma, pa minta jajan and ongkos dong!!! Makanya, jangan Cuma tau minta, tapi bantuin tuh ortu!”.

”Waktu umur beliau belasan taon, beliau ikut dagang ama pamannya ke negeri Syam, perjalanannya jauuuh banget, sampe kira-kira dua bulanan diperjalanan, dengan jalan kaki lagi.” Truuus, akhlak beliau yang perlu kita-kita pada tau, beliau dapet gelar al-Amin dari penduduk Mekah, artinya orang yang dapat dipercaya. Kalo sekarang gelar orang-orang udah pada nyampe Profesor Doktor, tapiii, kadang masih juga mereka nggak bisa dipercaya, banyak boongnya.” Jadiii salah satu kunci sukses beliau adalah al-Amin, yang bahasa kerennya kredibel.” Pengen sukses?” Ikutin aje beliau, dijamin sukses dech, insyaa Allah.”

MAKNA ISRA’ DAN MI’RAJ

          Perjalanan Nabi Muhmmad SAW dari Makkah ke Bait al- Maqdis, kemudian naik ke Sidratul Muntaha, bahkan melampauinya, serta kembalinya ke Makkah dalam waktu yang singkat, merupakan tantangan terbesar sesudah al-Quran disodorkan oleh Tuhan kepada umat manusia. Peristiwa ini membuktikan bahwa ’ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi, segala yang terbatas dan tak terbatas tanpa terbatas ruang dan waktu.

Imam al- Suyuti berpendapat bahwa pengantar satu uraian dalam al-Qur’an adalah uraian yang terdapat dalam surah sebelumnya. Sedangkan inti uraian satu surah difahami dari nama surah tersebut, seperti yang dikatakan oleh al-Biqa’i. Dengan demikian, maka pengantar uraian Isra’ adalah surah yang dinamai Tuhan dengan sebutan al-Nahl, yang berarti lebah.

Mengapa lebah? Karena makhluk ini banyak keajaiban...

Lebah dipilih oleh Tuhan untuk menggambarkan keajaiban ciptaan- Nya agar menjadi pengantar keajaiban perbuatan-Nya dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Lebah juga dipilih sebagai pengantar bagi bagian yang menjelaskan manusia seutuhnya., karena manusia seutuhnya, manusia mukmin, menurut Rasul, adalah ”bagaikan lebah” tidak makan kecuali yang baik dan indah, seperti kembang yang semerbak; tidak menghasilkan sesuatu kecuali yang baik dan berguna, seperti madu yang dihasilkan lebah itu.

Di dalam surah al-Isra’ ini ditemukan sekian banyak petunjuk untuk membina diri dan membangun masyarakat.

Pertama, ditemukan petunjuk untuk melaksanakan shalat lima waktu pada ayat 78:

"Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)."

Dan salat ini pulalah yang merupakan inti dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini. Karena salat pada hakikatnya merupakan kebutuhan mutlak untuk mewujudkan manusia seutuhnya, kebutuhan akal pikiran dan jiwa manusia, sebagaimana ia merupakan kebutuhan untuk mewujudkan masyarakat yang diharapkan oleh manusia seutuhnya.

Kedua, petunjuk-petunjuk lain yang ditemukan dalam rangkaian ayat-ayat yang menjelaskan peristiwa Isra’ dan Mi’raj, dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan masyrakat adil dan makmur, antara lain ayat 16:

"Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami), Kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya."

Di tekankan di dalam surah ini bahwa:

"Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya."

"Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya. Karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal."

Bahkan kesederhanaan yang dituntut bukan hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang ibadah shalat mislnya, tidak hanya tergambar dari adanya pengurangan jumlah salat dari lima puluh menjadi lima kali sehari, tetapi juga tergambar dalam petunjuk disurah al-Isra’ juga, yakni berkenaan dengan suara ketika dilaksanakan salat:

"Katakanlah: "Serulah Allah atau Serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kamu seru, dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya[870] dan carilah jalan tengah di antara kedua itu."

Jalan tengah diantara keduanya berguna untuk mencapai konsentrasi, pemahaman bacaan dan kekhusyukan. Disaat yang sama salat yang dilaksanakan dengan ”jalan tengah” itu tidak mengakibatkan gangguan atau mengundang gangguan, baik gangguan tersebut kepada saudara sesama muslim atau non-muslim, yang mungkin sedang belajar, berzikir, atau mungkin sedang sakit, ataupun bayi-bayi yang sedang tidur nyenyak. Mengapa demikian? Karena dalam kandugan ayat yang menceritakan peristiwa ini,Tuhan menekankan pentingnya persatuan masyarakat seluruhnya. Dengan demikian masing-masing orang dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan dan bidangnya, tanpa mempersoalkan agama, keyakinan, dan keimanan orang lain. Ini sesuai dengan firman Allah:

"Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya."

Akhirnya, sebelum uraian ini disudahi ada baiknya dibacakan ayat terkhir dalam surah yang menceritakan peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini:


"Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud,"

Mudah-mudahan bermanfaat dan dapat kita amalkan dalam perilaku keseharian kita semua.

MAZHAB FIQIH YANG “KAKU”, MASIH RELEVANKAH SAAT INI?

Banyak orang yang mengaku bertaqlid kepada satu mazhab fiqih tertentu, baik itu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, atau Hambali. Meraka sangat keras mempertahankan mazhab tersebut. Tapi ternyata, dalam praktek keseharian mereka, meraka telah mencampur adukkan antara satu mazhab dengan mazhab yang lain, hingga sampai beberapa mazhab. Ini tanpa mereka sadari, bahkan terkadang praktek ibadah yang mereka lakukan adalah campuran beberapa mazhab, yang mereka anggap itu sumbernya dari satu mazhab yang mereka ikuti.
Sebagai contoh, mayoritas umat Islam di Indonesia adalah Taqlid kepada Mazhab Imam Syafi’i dalam hal fiqih. Tetapi belum tentu amalan mereka seratus persen sesuai dengan mazhab syafi’iyah yang mereka ikuti. Sebagai contoh, dalam hal sholat jum’at mereka praktekkan mazhab syafi’iyah dalam syarat, rukun, tata cara, hal-hal yang sunnah dan lain-lain. Syarat minimal empat puluh orang meraka ikuti, akan tetapi ada yang sering tidak mereka ikuti, yaitu jarak minimal yang boleh diadakannya sholat jum’at lain, sehingga tidak terjadi ta’addud al-Jum’ah (terjadinya beberapa sholat jum’at di suatu negeri yang seharusnya hanya boleh satu jum’at).  Padahal kebanyakan hal ini terjadi tanpa adanya Masyaqqoh (kesulitan) yang bisa menyebabkan bolehnya dua jumat atau lebih di suatu Balad al-Jum’ah. Dan ini banyak terjadi dilingkungan masyarakat kita, secara umumnya di Indonesia. Kemudian sebagai contoh kecil, yakni dalam sholat jum’at menurut beberapa kitab fiqih syafi’yah, khotib seharusnya memegang tongkat dengan tangan kiri bukan dengan tangan kanan (lihat kitab Minhaj al- Qowim dan Tanwir al- Qulub), tetapi kenyataannya mayoritas pakai tangan kanan.
Dalam hal zakat, praktek yang selama ini terjadi, kebanyakan mereka ketika membayar zakat fitrah, juga memakai uang tunai, bukan dengan makanan pokok seperti beras. Dan yang lebih mengherankan lagi adalah bahwa sebelum pelaksanaan pembayaran zakat fitrah ada amil zakat yang membeli sekitar 10-20 kg beras, kemudian para pembayar zakat membeli beras tersebut, dan pada akhirnya ratusan orang yang bayar zakat, beras yang di perjual belikan secara bolak- balik hanya menggunakan beras yang 10-20 kg tadi. Belum lagi masalah hukum jual beli beras di dalam masjid yang di larang. Dan masih banyak contoh- contoh yang lain. Ketika di tanya, mereka bermazhab syafi’i.
Maka berdasarkan kenyataan- kenyataan seperti diatas dan kenyataan- kenyataan lainnya, ternyata tanpa di sadari oleh sebagian pengikut mazhab, bahwa mereka telah mencampur adukkan antara satu pendapat imam mazhab dengan imam mazhab yang lain (baca: Talfiq). Ada beberapa kondisi yang menyebabkan hal ini, diantaranya : (1) dilingkungan mereka tidak ada ulama penganut mazhab tersebut yang sangat memahami mazhab yang mereka ikuti, sehingga mereka mengikuti apa saja yang mereka pandang sebagai mazhab meraka, tanpa ada yang menegur atau mengarahkan mereka untuk memilih pemahaman yang sesuai dengan mazhab mereka, (2) Khusus di daerah perkotaan atau daerah yang hampir mendekati situasi seperti perkotaan, biasanya mereka cenderung berfikiran rasional dan melek informasi dan di dukung pula oleh kurangnya ikatan mazhab, maka mereka memperoleh pengetahuan tentang pelaksanaan ajaran agama mereka melalui buku-buku, melalui internet dan lain- lainnya yang di sajikan tanpa dengan beragam mazhab.
Hasilnya terjadilah Talfiq di mana-mana, para ulama mereka yang satu mazhab terkadang lalai memperingatkan terhadap hal ini. Dengan kondisi seperti ini, kini timbullah dua pertanyaan: (1) apakah sistem mazhab yang “kaku” seperti yang mereka fahami harus tetap di pertahankan? (2) Ataukah harus merekonstruksi ulang pemahaman bermazhab?
Kalau pertanyaan pertama yang ingin kita jawab, maka perlu diadakannya beberapa upaya gerakan yang terencana, sistematis, dan terorganisir. Misalnya para ulama dari masing- masing mazhab tersebut, meneliti daerah mana yang masih kuat pemahamannya tentang suatu mazhab, mereka perkuat dengan memberikan pemahaman yang utuh mengenai mazhab tersebut. Tapi hal ini amat sulit terkadang dilakukan, karena minimal ada dua faktor: (1) dalam masalah-masalah kekinian, terkadang para ulamanya belum punya kapasitas untuk berfatwa, sehingga sulit untuk mengaktualisasikan suatu mazhab tersebut. (2) dalam dunia informasi yang sangat terbuka ini, yang menyebabkan masyarakatnya dapat memperoleh informasi pemahaman keagamaan yang lebih luas dan beragam, rasanya memang sangat sulit untuk tetap “kaku” dalam urusan bemazhab ini. Sebagai landasan model pertama yang berupaya mempertahankan mazhab ini, ada baiknya kita memahami hasil studi George Maqdisi yang di kutip oleh Prof. Dr. Syafiq A. Mughni didalam bukunya Nilai- Nilai Islam: Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi, tentang mazhab fiqih, yang mana ia melihat ada dua faktor utama yang mempengaruhi perkembangan pemikiran fiqih tersebut, yaitu: pertama, hendaknya ada, setidak- tidaknya pendukung intelektual yang mampu mempropagandakan ideologinya ke masyarakat luas dan mampu membela mazhab itu dari serangan lawannya. Kasus punahnya mazhab Maliki di Baghdad pada abad ke-12 menjadi contoh tentang sebab yang pertama ini. Kedua, ialah tersedianya patronase ( patronage ) dari kekuatan ekonomi maupun politik. Syi’ah muncul sebagai arus intelektual yang berarti di dunia Islam baru terjadi ketika Dinasti Buwayhi menguasai Irak pada abad ke- 10 dan mendorong di rumuskannya hadis, fiqih, dan teologi yang spesifik Syi’ah. Di Iran, Syia’ah baru saja menjadi mazhab mayoritas ketika penguasa dinasti Shafawiyah melancarkan gerakan Syi’ahisasi total. Demikian juga sebab mengapa mazhab Hanbali mampu menghadapi tekanan Syi’ah di Baghdad pada abad ke-10 ialah kemampuannya memperoleh patronase dari kelompok pengusaha dan tuan tanah, yang mana mereka benar- benar mendukung mereka. ( Mughni, 2001: 208 )
Kalau pertanyaan kedua yang kita jawab, maka inilah sebenarnya yang sesuai dengan kondisi ummat dan derasnya arus informasi saat ini.  Jika menempuh langkah ini, maka dapat kita lihat dari dua sudut yaitu: (1) Bagi yang mampu untuk melakukan perbandingan mazhab untuk mendapatkan dalil yang terkuat, maka hendaklah ia menempuh jalan ini, dan mengamalkan hasilnya adalah wajib bagi mereka, meskipun para ulama mutaakhirin berpendapat bahwa mengamalkan hasil muqranah, akan mengakibatkan perpindahan mazhab atau talfiq, dan tidak di benarkan. Tapi pendapat ini lemah, karena al- Qur’an dan Sunnah tidak melarang untuk pindah mazhab atau talfiq. (Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA, 2011: 99). Atau (2) secara umum siapapun bisa mengambil pendapat dari ulama yang lebih rajih ( kuat ) yang menurut pandangannya lebih kuat menurut hatinya ( Dr. Yusuf Al- Qaradhawi, 1995 : 192 ). Hal ini sebagaimana juga yang di jelaskan oleh Prof. Dr. Wahbah Az- Zuhaili di dalam kitabnya Al- Fiqh al- Islam Wa Adillatuhu : “ dapat di simpulkan bahwa pendapat yang shahih dan rajih di kalangan ulama ushul fiqih adalah tidak wajibnya konsisten dalam mengikuti mazhab tertentu, dan boleh berbeda dengan pendapat imam mazhab, juga boleh mengambil pendapat selain imam mazhab. Hal ini di sebabkan konsisten mengamalkan mazhab tertentu bukanlah suatu kewajiban sebagaimana yang sudah kami terangkan. Atas dasar ini semua, maka pada masa sekarang ini pada prinsipnya sama sekali tidak ada larangan untuk memilih sebagian hukum syara’ yang di tetapkan oleh para ulama mazhab, tanpa membatasi jumlah mazhab tertentu ataupun membatasi dengan detail-detail mazhab tersebut.” (Zuhaili, 1995: 82).
Semuanya ini, tentu saja bukan hanya untuk mencari yang enteng-enteng dan yang sesuai hawa nafsunya belaka, bahkan ini termasuk orang durhaka. Hal ini senada dengan fatwa Dr. Yusuf Al- Qaradhawi bahwa jika talfiq ini di maksudkan untuk mencari yang sesuai selera saja, seperti mengikuti yang enteng-enteng saja dari berbagai mazhab, mencari yang paling mudah dan sesuai dengan hawa nafsunya serta di rasa paling enak, dengan tidak memperhatikan dan mempertimbangkan dalilnya, maka yang demikian ini tidak di perbolehkan. Karena itu, ulama salaf mengatakan: barangsiapa yang memilih pendapat yang ringan-ringan saja dari berbagai mazhab, maka ia telah berbuat durhaka karena dasarnya adalah hawa nafsu. ( Al- Qaradhawi, 1995: 191 ).
Bahkan ada sebagian besar ulama yang berpendapat bahwa Taqlid kepada Imam tertentu dalam semua permasalahan dan semua kejadian yang di alami bukanlah suatu kewajiban. Orang tersebut boleh bertaqlid kepada mujtahid manapun yang dia kehendaki. Dalil yang mereka ajukan adalah Firman Allah SWT : “...maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al- Anbiya’: 7). Kemudian alasan lain yang mereka ajukan adalah bahwa orang- orang yang meminta fatwa pada zaman zahabat dan tabi’in tidak ada yang mewajibkan dirinya untuk mengikuti mazhab tertentu saja, melainkan mereka akan menanyakan permasalahan kepada siapapun yang ahli, tanpa membatasi diri kepada salah satu dari mereka. Ini dapat di simpulkan bahwa mereka adalah bersepakat ( berijma’ ) bahwa bertaqlid hanya kepada satu imam saja atau mengikuti mazhab tertentu dalam berbagai permasalahan, bukanlah suatu kewajiban bagi orang yang mengambil fatwanya secara khusus atau muslim pada umumnya. (Az- Zuhaili, 2011: 81 ).
Akhirnya, dari penjelasan di atas dapat di simpulkan bahwa: Untuk kondisi saat ini pendapat yang memperbolehkan Talfiq dalam urusan fiqih adalah lebih sesuai dengan kondisi saat ini, dengan syarat harus berdasarkan upaya untuk mencari yang mana dalil yang lebih kuat dan lebih meyakinkan hatinya, bukan demi mengikuti hawa nafsunya dalam mencari yang ringan-ringan saja.



JINAYAT, DIYAT, DAN KAFARAT

JINAYAT, DIYAT, KAFARAT


A. JINAYAH

Jinayah merupakan kata jadian (mashdar) dari kata kerja jana-yajni-jinayatan. Jinayah secara bahasa (etimologi) adalah nama bagi perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan. Sedangkan jinayah menurut istilah (terminologi) adalah suatu perbuatan yang dilarang syara', baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnyas. Term jinayah ini memiliki beberapa makna yang konotasinya adalah segala bentuk perbuatan jahat. Dalam rumusan lain disebutkan bahwa jinayah adalah perbuatan dosa besar atau kejahatan (kriminal), misalnya: membunuh, melukai seseorang, atau membuat cacat anggota badan seseorang.

Abu Muhammad Mahmud dalam kitabnya al-Binayah fi-syarah al-Hidayah mendefinisikan jinayah, setiap perbuatan yang bisa merugikan atau mendatangkan bencana terhadap jiwa dan harta orang lain“. Menurut Abdul Qodir Audah, jinayat secara etimologis adalah nama (sebutan) bagi seseorang yang berbuat tindak pidana (delik) atau orang yang berbuat kejahatan.

Sedangkan menurut Sayid Sabiq, jinayat menurut definisi undangundang adalah kejahatan yang diancam dengan kematian atau kerja paksa atau pengasingan.

Selain term jinayah, ada jarimah yang secara istilah dianggap sinonim dengan jinayah. Jarimah secara bahasa (etimologi) berarti melakukan setiap perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, keadilan, dan jalan yang lurus (agama). Sedangkan secara istilah (terminologi) sebagaimana dikemukakan imam Al-Mawardi, jarimah adalah perbuatan yang dilarang syar'i 'at (hukum Islam) dan diancam Allah dengan hukuman had atau ta'zir”.

Definisi yang lain, jarimah adalah segala perbuatan yang dilarang dan diancam sanksi dengan ketetapan syari 'at (hukum Islam). Jarimah terbagi dalam tiga jenis, yaitu:
(1) jarimah hudud yang terdiri:
zina,
a. menuduh orang lain berzina (qadij),
b. minum khamar,
c. pencurian,
d. perampokan,
e. berbuat makar terhadap pemerintah yang   sah,
f. dan murtad yang disertai ancaman terhadap ideologi umat Islam;

(2) jarimah qishash (diat) yang terdiri:
a. pembunuhan sengaja,
b. pembunuhan semi sengaja,
c. pembunuhan tersalah (salah sasaran) dan d. melukai (al-jarh);

(3) jarimah ta ’zir, yaitu larangan atau perintah tentang suatu hal yang ketentuan dan sanksinya tidak dirumuskan secara pasti dalam nash Alquran dan hadis, di mana prosedur pelaksanaan hukuman diserahkan atas kebijakan (policy) hakim atau penguasa.

Adapun Hadis tentang pensyari'atan jinayat di antaranya:

Dari Ubadah bin Shamit ra., Rasulullah bersabda:

البكْر بالبِكْر جَلْدُ مائة ونَفْيُ سَنَة والثّيّبُ بالثّيّبِ ، جَلْدُ مائة والرّجْم

Artinya:

“Perawan dengan perjaka (jika berzina) maka dicambuk 100 kali dan diasingkan setahun. Duda dengan janda (jika berzina) maka dicambuk 100 kali dan dirajam dengan batu“. (HR. Muslim).

Berdasarkan riwayat hadis di atas, ulama sepakat untuk melaksanakan hukuman cambuk 100 kali dan pengasingkan (taghrib) selama satu tahun. Dengan demikian, untuk hukuman pengasingan selama satu tahun, mayoritas ulama mengatakan wajib. Pengasingan pelaku zina dilakukan setelah dicambuk 100 kali. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat tentang pengasingan. Menurut Imam Abu Hanifah, taghrib merupakan hukuman yang tidak wajib dan dapat diserahkan kepada kebijakan ulil amri (pemerintah). Selanjutnya Imam Abu Hanifah mengatakan, hukuman pengasingan (taghrib) bukanlah termasuk had, melainkan dikategorikan ta ’zir. Berbeda dengan imam Abu Hanifah, Imam Malik berpendapat, yang diasingkan hanya pelaku laki-laki, sedangkan pezina wanita tidak boleh dibuang, karena seorang wanita tidak boleh pergi sendirian melainkan harus di dampingi mahramnya. Sedangkan menurut Imam Syafi'i, Imam Ahmad, dan Imam Daud al-Zhahiri, hukuman pengasingan selama satu tahun itu dikenakan kepada keduanya (lelaki dan perempuan). Dalam mazhab al-Syafi'i ada ketentuan tambahan, khusus bagi pezina perempuan, pada saat menjalani sanksi pengasingan selama satu tahun, wajib didampingi mahramnya. Selain itu, definisi taghrib dimaknai para ulama secara berbeda. Menurut imam Abu Hanifah dan imam Malik, taghrib maksudnya adalah hukuman penjara. Menurut Imam Syati’l dan Imam Ahmad, taghrib adalah dibuang ke tempat pengasingan. Kalau yang dibuang perempuan, harus tetap diawasi walinya. Hukuman jaldah (cambuk) bagi pelaku zina yang belum menikah (aI-bikr) adalah wajib karena di dalamnya terdapat hak Tuhan dan manusia, dan hakim tidak bisa mengurangi atau menambah jumlah cambukan atau mengganti hukuman cambuk dengan yang lain.

B. DIYAT

Diyat secara etimologi berarti denda berbentuk harta. Secara terminologi, diyat adalah harta yang diserahkan kepada keluarga (ahli waris) kurban, akibat melakukan kejahatan kepada orang lain dengan menghilangkan nyawa atau melukai orang. Dengan definisi semacam ini bearti diyat dikhususkan sebagai pengganti jiwa atau yang semakna dengannya; artinya pembayaran diyat itu terjadi karena berkenaan dengan
kejahatan terhadap jiwa (nyawa) seseorang.  Sedangkan diyat untuk anggota badan disebut “Irsy.

Di antara dalil disyariatkannya diyat apakah hadis sebagai berikut:

Hadis riwayat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيْلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُفْدَى وَإِمَّا أَنْ يُقْتَل


Artinya:

“Barang siapa yang menjadi keluarga korban terbunuh, ia memilih dua pilihan, bisa memilih untuk memaafkannya dan bisa untuk meminta diat (tebusan) .” (HR. Tirmidzi).

Pada mulanya pembayaran diyat menggunakan unta, tetapi jika unta sulit ditemukan, pembayarannya dapat menggunakan barang lainnya, misalnya menggunakan emas, perak, uang, baju, dan lain-lain yang kadar nilainya disasuaikan dengan unta. Diyat diwajibkan kepada pembunuh yang tidak dijatuhi hukum qishash dengan membayar sejumlah barang

atau uang sebagai pengganti hukum qishash setelah dimaafkan anggota keluarga atau ahli waris korban.

4. Penyebab dan Jenis Diyat Diyat terjadi disebabkan beberapa faktor, di antaranya sebagai berikut:

a. Pelaku membunuh dengan sengaja (aI-qallu 'amdan) yang dimaafkan keluarga terbunuh.

b. Pelaku membunuh dengan tersalah atau tidak disengaja (aI-qatlu khata'an).

c. Pelaku pembunuhan melarikan diri sebelum qishash dijatuhkan.

d. Memotong atau membuat cacat (mencederai) anggota tubuh seseorang lalu dimaafkan.

Diyat dilihat dari kuantitas denda yang harus dibayarkan, digolongkan menjadi dua macam, yaitu:

Pertama, diyat mughalladzah (denda berat), yaitu membayar denda 100 ekor unta terdiri dari: 30 hiqqatan (unta betina berumur 3 masuk 4 tahun), 30 ekor jadza'atan (unta betina umur 4 masuk 5 tahun), dan 40 ekor khalifatan (unta betina yang bunting)”. Diyat mughalladzah (denda berat) wajib dibayarkan sebagai:

a. Ganti hukuman bunuh (qishash) yang dimaafkan pihak ahli waris kepada pembunuh yang melakukan pembunuhan dengan disengaja (al-qatlu 'amdan). Diyat kategori ini wajib dibayar tunai si pembunuh sendiri.

b. Pembunuhan ”sepeni sengaja” (aI-qatlu syibhu 'amdin). Diyat kategori ini wajib dibayar keluarga si pembunuh, boleh diangsur dalam tiga tahun, di mana tiap-tiap akhir tahun wajib dibayar sepertiganya.

c. Ganti hukuman pembunuhan yang tidak disengaja (al-qatlu khata'an) yang dilakukan pada bulan-bulan Haram, yaitu: bulan Dzulqa'dah, Dzulhijah, Muharam, dan Rajab).

d. Ganti hukuman pembunuhan yang tidak disengaja (aI-qatlu khata 'an) yang dilakukan di tanah Haram, misalnya kota Mekah.

e. Ganti hukuman pembunuhan yang tidak disengaja terhadap seorang muslim, kecuali pembunuhan orang tua terhadap anaknya. Ketentuan semacam ini tidak berlaku.

Kedua, diyat mukhoffafah (denda ringan), dengan membayar 100 ekor unta, terdiri dari: 20 ekor hiqqah, 20 ekor jadza'ah, 20 ekor binta labun (unta betina lebih dari dua tahun), dan 20 ekor unta ibnu labun (unta jantan berumur lebih dari satu tahun), dan 20 ekor unta bima makhad (unta betina berumur lebih dari satu tahun). Denda ini wajib dibayarkan keluarga

yang membunuh dalam masa tiga tahun, tiap-tiap akhir tahun dibayar sepertiganya.

Diyat Mukhoffah (denda ringan) ini dijatuhkan kepada:

a. Orang yang membunuh tidak disengaja (aI-qatlu kimia 'an) selain di tanah Haram, bulan Haram dan, bukan kepada swama Muslim. Masa pembayarannya boleh diangsur selama tiga tahun.

b. Orang yang sengaja memotong atau membuat cacat atau melukai anggota badan seseorang.

Adapun ukuran diyat mukhoffah selain pembunuhan sebagai berikut:

1. Membayar  diyat mukhoffah secara penuh bagi orang yang melakukan kejahatan, memotong dua tangan, dua kaki, dua telinga, hidung, lidah, dua bibir, kemaluan laki-laki, dua mata, tempat keluamya suara, penglihatan, atau merusak pendengaran.

2. Membayar setengah diyat mukhoffafah berlaku bagi orang yang memotong salah satu anggota tubuh yang memiliki pasangan.

3. Membayar sepertiga diyat mukhaffafah berlaku bagi orang yang melukai kepala sampai otak dan melukai badan sampai perut.

4. Membayar diyat 15 ekor unta, jika melukai sampai mengakibatkan putusnya jari tangan maupun jari kaki.

5. Membayar diyat 5 ekor unta, jika melukai sampai gigi tanggal.

Jika denda tidak dapat dibayar dengan unta, wajib dibayar dengan uang sebanyak harga unta. Ini pendapat sebagian ulama. Pendapat ulama yang lain, boleh dibayar dengan uang sebanyak 12.000 Dirham (kira-kira 37,44 kg perak). Kalau denda itu termasuk denda berat, ditambah sepertiganya.

Pembayaran diyat bagi pembunuh kepada keluarga korban, disamping untuk menghilangkan rasa dendam juga mengandung hikmah sebagai berikut:

a. Memberikan maaf kepada orang lain karena sesuatu hal sudah terjadi.

b. Menjadi pelajaran, agar hati-hati dalam bertindak bahkan takut melakukan kejahatan. Karena harta seseorang bisa habis bahkan bisa jatuh melarat untuk membayar diyat.

c. Menjunjung tinggi terhadap perlindungan jiwa dan raga.

C. KAFARAT

 Secara bahasa, kaffârah (Arab)—sebagian kita mengenalnya dengan istilah kifârah atau kifarat—berasal dari kata kafran yang berarti ‘menutupi’. Maksud ‘menutupi’ di sana adalah menutupi dosa. Makna itu kemudian dipergunakan untuk makna lain, bahkan untuk makna yang berseberangan, termasuk makna perbuatan yang tak sengaja, seperti kesalahan dalam membunuh, sebagaimana dikemukakan dalam Tahrîru Alfâzhit Tanbîh karya Abu Zakariya Muhyiddin ibn Syaraf al-Nawawi (wafat 676 H) [Damaskus, Darul Qalam: 1408 H], cetakan pertama, jilid I, halaman 125). Mayoritas ahli bahasa menyebut, kata "kaffarah" juga masih satu rumpun dengan kata "kufur" atau "kufrun" karena kesamaan makna, yakni "menutupi," hanya saja berkonotasi negatif. Maksud ‘menutupi’ di sini adalah menutupi hak yang semestinya diperlihatkan. Kata kufur ini juga sering disandingkan dengan kata nikmat, yang berarti menutupi nikmat Allah dengan tidak menysukurinya. Namun, kufur yang paling besar adalah menutupi atau menentang keesaan Allah, kenabian, dan syariat. Demikian menurut menurut Syekh Zainuddin Al-Manawi dalam At-Tauqîf ‘alâ Muhimmâtit Ta‘ârîf, (Kairo, ‘Alamul Kutub: 1990 M], cetakan pertama, jilid I, halaman 282).  Lebih populer, istilah kaffarah atau kafarat lebih dikenal sebagai penebus kesalahan, sanksi, atau denda atas pelanggaran yang dilakukan. (Lihat A Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir, [Surabaya, Pustaka Progresif: 2002 M], cetakan ke-25, halaman 1218). Kemudian, jika dilihat dari hakikatnya, kafarat hanya berhubungan dengan hak Allah sehingga harus dibedakan dengan diat yang merupakan hak sesama makhluk, antara lain hak keluarga korban pembunuhan. Adapun fidyah adalah harta tebusan yang dipersembahkan karena Allah akibat kelalaian dalam beribadah, sebagai kafarat atas kelalaian dalam ibadah tersebut. Contoh dari kafarat ibadah puasa, bercukur, atau mengenakan pakaian yang dijahit saat ihram. Lihat Ahmad Mukhtar Abdul Hamid, Mu‘jamul Lughah Al-‘Arabiyyah Al-Mu‘ashirah, [Kairo, ‘Alamu Kutub: 2008 M], cetakan pertama, jilid II, halaman 1682). Secara umum, fidyah terbagi atas dua, ada yang berupa takaran mud dan ada yang berupa dam. Fidyah yang berupa mud di antaranya adalah fidyah puasa orang tua, fidyah karena mengakhirkan qadha, mencabut satu helai rambut saat ihram, memotong satu kuku. Sedangkan fidyah yang berupa dam antara lain karena berburu hewan Tanah Haram, karena bersenggama saat ihram, mencukur rambut, mengenakan wewangian, memakai pakaian dijahit, memotong kuku, meninggalkan ihram dari miqat, menebang pohon Tanah Haram, meninggalkan thawaf qudum dan thawaf wada‘, dam tamattu dan qiran. Dengan demikian, fidyah adalah harta tebusan yang menjadi turunan dari kafarat. Sedangkan dam adalah turunan dari fidyah atau bentuk dari kafarat akibat pelanggaran dalam ibadah haji. Selanjutnya, Syekh Ahmad bin Ahmad Al-Mahamili dalam Al-Lubab fîl Fiqhis Syâfi‘i (Madinah, Darul Bukhari: 1416 H], terbitan pertama, halaman 184) menyebutkan bahwa secara umum kafarat ada empat: (1) kafarat zhihar, (2) kafarat hubungan badan di bulan Ramadhan, (3) kafarat pembunuhan, dan (4) kifarat yamin.  Itulah keempat jenis kafarat yang dikemukakan oleh Syekh Ahmad bin Ahmad. Hanya saja, dalam beberapa kitab yang lain, yaitu Al-Majmu‘ Syarhul Muhadzab, ada jenis kafarat yang kelima, yakni kafarat haji. Ini artinya, terdapat perbedaan dalam memandang kafarat haji. Perbedaan ini, salah satunya, disebabkan karena pelanggaran dalam ibadah haji oleh sebagian ulama tidak disebut sebagai kafarat, melainkan sebagai dam atau fidyah. Dengan kata lain, dam merupakan bentuk kafarat dalam pelanggaran ibadah haji sehingga dalam penggunaannya bisa saling menggantikan.  Bentuk kafarat sendiri bisa dengan memerdekakan budak, berpuasa, atau memberi makan orang miskin. Dalam praktiknya, ada kafarat yang harus berurutan, ada yang boleh dipilih salah satunya sebagaimana petikan berikut: وَيَدْخُلُ الْعِتْقُ بِهَا فِي نَوْعَيْنِ الْأَوَّلُ الْكَفَّارَةُ تَرْتِيبًا بِنَصْبِهِ تَمْيِيزًا وَهُوَ كَفَّارَةُ الظِّهَارِ وَالْقَتْلِ وَالْجِمَاعِ فِي نَهَارِ رَمَضَانَ  وَالثَّانِي  الْكَفَّارَةُ  تَخْيِيرًا وَهُوَ كَفَّارَةُ الْيَمِينِ  Artinya, “Masuknya memerdekakan budak ke dalam kafarat terbagi menjadi dua keadaan. Pertama, ke dalam kafarat yang harus dilakukan berurutan dan dibedakan pelaksanaannya, yakni kafarat zhihar, kafarat pembunuhan, dan kafarat hubungan badan sengaja di siang hari. Kedua, masuk ke dalam kafarat yang boleh dipilih, yakni kafarat yamin (sumpah),” (Lihat Syekh Zakariya Al-Anshari, Asnâl Mathâlib fî Syarhi Raudhatit Thâlib, [Tanpa catatan kota, Darul Kitab Al-Islami], tanpa tahun, jilid III, mulai dari halaman 362). Pertama, kafarat zhihar. Kata zhihar sendiri diambil dari kata zhahr yang berarti ‘punggung’. Kemudian, istilah ini dipergunakan ketika ada seorang suami menyamakan punggung istrinya dengan punggung ibunya, seperti mengatakan, “Bagiku, engkau seperti punggung ibuku.” Hanya bagian tubuh punggung yang disamakan, bukan yang lain, sebab hanya bagian itu yang biasa dipakai menggendong. Hukumnya haram dilakukan berdasarkan ayat yang artinya, “Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) istri mereka itu bukanlah ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun,” (Surat Al-Mujadilah ayat 2). Pada zaman Jahiliyyah, zhihar menjadi cara menceraikan istri seperti halnya ilâ. Namun, setelah Islam datang, hukumnya diharamkan dan pelakunya terkena kafarat jika ingin menarik kembali ucapannya berdasarkan lanjutan ayat di atas, “Orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (Surat Al-Mujadilah ayat 2).

 يَحْرُمُ بِوُجُوبِ الْكَفَّارَةِ لَهُ  وَطْءٌ مِنْ
الْمُظَاهِرِ  حَتَّى يُكَفِّرَ بِالْإِطْعَامِ أَوْ غَيْرِهِ

 Artinya, “Dengan adanya
 kewajiban kafarat, haram bagi suami yang melakukan zhihar berhubungan badan sampak zhiharnya ditutupi atau dikafarati dengan memberi makanan atau yang lainnya,”
 (Lihat Syekh Zakariya Al-Anshari, Asnâl Mathâlib fî Syarhi Raudhatit Thâlib, [tanpa kota, Darul Kitab Al-Islami: tanpa tahun], jilid II, mulai dari halaman 360).

Adapun kafaratnya adalah memerdekakan seorang budak perempuan mukmin yang normal tanpa cacat. Jika tidak mampu, seseorang harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, ia harus memberi makanan kepada enam puluh orang miskin, masing-masing satu mud, berdasarkan ayat berikut,

 “Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih,” (Surat Al-Mujadilah ayat 2-4).

 Berbeda dengan kafarat yang lain, kafarat zhihar tidak memberi pilihan. Artinya, ketiga bentuk kafaratnya harus ditempuh sesuai urutan dan kemampuan, sebagaimana di atas.

Kedua, kafarat hubungan badan siang hari di bulan Ramadhan. Adapun urutan kifaratnya sebagaimana kafarat zhihar, yakni  memerdekakan hamba sahaya perempuan yang beriman, berpuasa selama dua bulan berturut-turut atau memberi makanan kepada 60 orang miskin, masing-masing sebanyak satu mud.   Kifarat di atas berdasarkan hadis Abu Hurairah. Disebutkannya, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. lantas berkata, “Celakalah aku! Aku mencampuri istriku (siang hari) di bulan Ramadhan. Ia bersabda, “Merdekakanlah seorang hamba sahaya perempuan.” Dijawab oleh laki-laki itu, “Aku tidak mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berpuasalah selama dua bulan berturut-turut.” Dijawab lagi oleh laki-laki itu, “Aku tak mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berikanlah makanan kepada enam puluh orang miskin,” (HR Al-Bukhari). يجب مع القضاء للصوم الكفارة العظمى والتعزير على من أفسد صومه في رمضان يوما كاملا بجماع تام آثم به للصوم Artinya, “Selain qadha, juga wajib kifarah ‘uzhma disertai ta‘zir bagi orang yang merusak puasanya di bulan Ramadhan sehari penuh dengan senggama yang sesungguhnya dan dengan senggama itu pelakunya berdosa karena puasanya.” (Lihat Syekh Salim bin Sumair Al-Hadhrami, Safînatun Najâ, [Tanpa keterangan kota, Darul Ihya: tanpa tahun], cetakan pertama, halaman 112). Ketiga, kafarat pembunuhan. Maksud pembunuhan di sini adalah pembunuhan yang tidak disengaja. Sebab, pembunuhan yang disengaja tidak ada kafarat di dalamnya, yang ada hanya qisas atau diyat tunai yang ditanggung si pembunuh, jika tidak dibebaskan oleh keluarga terbunuh. Adapun kafarat pembunuhan yang tak disengaja—di saamping membayar diat—adalah memerdekakan seorang budak perempuan mukmin. Jika tidak mampu, maka kafaratnya adalah berpuasa selama dua bulan berturut-turut, berdasarkan ayat berikut:  Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena kesalahan (tak sengaja), dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin karena kesalahan (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat  yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, (Q.S. al-Nisa’ [4]: 92). Keempat, kifarat yamin. Yamin itu berarti ‘sumpah’. Sehingga, maksud kafarat yamin adalah kafarat sumpah. Ia dilakukan karena melanggar sumpah atau menyampaikan sumpah palsu. Contohnya seseorang bersumpah, “Demi Allah, aku tidak akan masuk lagi ke rumah si anu.” Kemudian, ia memasukinya, maka wajiblah ia menjalankan kifarat. Atau seseorang mengatakan, “Demi Allah, aku tidak mengambil barangmu,” padahal dia mengambilnya. Termasuk ke dalam sumpah ini adalah sumpah untuk meninggalkan kebaikan, seperti, “Demi Allah, aku tidak akan membantu anak yatim.” Maka sumpah itu harus dilanggarnya dan dibayar kafaratnya.  Adapun bentuk kafaratnya adalah memberi makanan kepada sepuluh orang miskin, memberi pakaian kepada mereka, memerdekakan budak, atau berpuasa selama tiga hari. Hanya saja, kafarat ini bersifat pilihan. Artinya, boleh dipilih sesuai dengan kemampuan dan keinginan.  Perihal kafarat ini, Allah telah menjelaskannya dalam Al-Quran, Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya), (Surat Al-Ma’idah ayat 89).  Sebagaimana kafarat yang lain, kafarat ini berlaku secara akumulatif. Artinya, ketika seseorang melakukan sumpah palsu sebanyak 5 kali, maka 5 kali pula kifarat yang harus dijalankannya.  Termasuk ke dalam kafarat yamin ini adalah kafarat ‘ila. Walau dari segi praktik, ila sama dengan zhihar sebagai salah satu cara menceraikan istri pada zaman Jahiliah. Tetapi dari segi pelanggaran, ia termasuk ke dalam kafarat yamin. Sebab, ila sendiri  tak lain adalah sumpah. Contohnya, “Aku bersumpah tidak akan mencampuri istri.” Dengan sumpah ini jelas istrinya menderita, karena tidak dicampuri, tidak pula diceraikan. Suami yang meng-ila istrinya setelah 4 bulan harus memilih antara kembali mencampuri isterinya dengan membayar kafarat sumpah atau menceraikan.   Kelima, kafarat haji. Sesungguhnya penggunaan istilah kafarat dalam ibadah haji lebih dikenal karena pelanggaran bersenggama sebelum tahalul pertama. Kafaratnya adalah menyembelih unta atau sapi dengan konsekuensi hajinya batal. Sedangkan kafarat atas pelanggaran lainnya lebih dikenal dengan istilah dam atau fidyah, dengan rincian:  Jika melanggar larangan ihram, seperti mencukur atau mencabur rambut, memotong kuku, memakai pakaian yang dijahit bagi laki-laki, memakai cadar atau sarung tangan bagi perempuan, memakai wewangian, maka fidyah atau damnya adalah memilih salah satu di antara: berpuasa tiga hari, bersedekah setengah sha‘ atau dua mud, atau menyembelih kambing.  Jika melanggar larangan membunuh hewan buruan, maka fidyah atau damnya adalah menyembelih hewan yang sebanding dengan yang diburu, bersedekah kepada fakir miskin senilai hewan yang diburu, atau berpuasa.  Kemudian, jika pelanggaran bersenggama terjadi setelah tahalul pertama, maka hajinya tidak batal dan wajib membayar dam satu ekor unta atau sapi. Sedangkan jika pelanggaran senggamanya setelah tahalul kedua, maka damnya hanya berupa seekor kambing.  Kemudian, jika seseorang tidak ihram dari miqat dan tidak pula kembali ke salah satu miqat, maka damnya adalah satu ekor kambing, atau berpuasa selama 10 hari: tiga hari pada masa haji, tujuh hari di luar luar masa haji.  Demikianlah gambaran umum tentang kafarat, fidyah, dan dam. Semoga bermanfaat. Wallahu ‘alam.

Daftar Kepustakaan

Fuad Thahari, Dr.,H, MA, 2016, Hadis Ahkam Kajian Hadis- Hadis Hukum Pidana Islam, Deepublish.

https://islam.nu.or.id/post/read/105925/penjelasan-umum-tentang-kafarat-fidyah-dan-dam-1, di download tanggal 4 April 2020.

KETENANGAN DAN KEGELISAHAN HATI

  KETENANGAN DAN KEGELISAHAN HATI   اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي شَرَحَ صُدُوْرَ الْمُوَفَّقِيْنَ بِأَلْطَافِ بِرِّهِ وَآلَائِهِ، وَنُوْرِ بَصَ...