Selasa, 16 Februari 2021

PINJAM UANG DI KOPERASI

 Pertanyaan :


Bagaimana hukumnya pinjam dari koperasi?


Jawab :


Bahwa pinjam dari koperasi atau lainnya, apabila dijanjikan memberi bunga (rente) dan janjinya itu dalam akad atau sesudah akad tetapi sebelum ada ketetapan pinjam, maka hukumnya haram dengan kesepakatan (mufakat) para ulama; karena itu termasuk pinjaman dengan menarik keuntungan, tetapi kalau tidak dengan perjanjian bicara atau tulisan, maka hukumnya boleh dengan tidak selisih antara para ulama, kalau dengan perjanjian dengan tulisan zonder dibaca, atau tentang bunga itu telah menjadi kebiasaan, walaupun tidak dijanjikan, maka hukumnya ada dua pendapat yaitu haram, yang kedua boleh.


Keterangan, dari kitab:


I’anah al-Thalibin [1]

وَمِنْ رِبَا الْفَضْلِ رِبَا الْقَرْضِ وَهُوَ كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا لِلْمُقْرِضِ غَيْرِ نَحْوِ رَهْنٍ لَكِنْ لاَ يَحْرُمُ عِنْدَنَا إِلاَّ إِذَا اشْتُرِطَ فِيْ عَقْدِهِ .


Dan di antara riba al fadhl adalah riba al qardh, yakni semua pinjaman yang memberikan manfaat kepada si peminjam, kecuali seperti gadai. Menurut kita, yang demikian itu tidak haram kecuali disyaratkan dalam akad menghutangi.


Tuhfah al-Muhtaj [2]

وَالْحَاصِلُ أَنَّ كُلَّ شَرْطِ مُنَافِ لِمُقْتَضَى الْعَقْدِ إِنَّمَا يَبْطُلُ إِنْ وَقَعَ فِيْ صُلْبِ الْعَقْدِ أَوْ بَعْدَهُ وَقَبْلَ لُزُوْمِهِ لاَ إِنْ تَقَدَّمَ عَلَيْهِ وَلَوْ فِيْ مَجْلِسِهِ.


Dan kesimpulannya adalah, semua syarat yang menafikan konsekuensi akad akan membatalkannya jika terjadi dalam akad atau sesudahnya dan sebelum luzum(tetap)nya. Bukan bila mendahului akad, walaupun di majlisnya.


Fathul Mu’in dan I’anah al-Thalibin [3]

وَجَازَ لِمُقْرِضٍ نَفْعٌ يَصِلُ لَهُ مِنْ مُقْتَرِضٍ كَرَدِّ الزَّائِدِ قَدْرًا أَوْ صِفَةً وَاْلأَجْوَدِ فِي الرَّدِئِ بِلاَ شَرْطٍ فِي الْعَقْدِ بَلْ يُسَنُّ ذَلِكَ لِمُقْتَرِضٍ لِقَوْلِه r: إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً. وَأَمَّا الْقَرْضُ بِشَرْطِ جَرِّ نَفْعٍ لِمُقْرِضٍ فَفَاسِدٌ لِخَبَرِ كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا، وَمِنْهُ الْقَرْضُ لِمَنْ يَسْتَأْجِرُ مِلْكَهُ أَيْ مَثَلاً بِأَكْثَرَ مِنْ قِيْمَتِهِ  لِأَجْلِ الْقَرْضِ إِنْ وَقَعَ ذَلِكَ شَرْطًا إِذْ هُوَ حِيْنَئِذٍ حَرَامٌ اِجْمَاعًا وَإِلاَّ كُرِهَ عِنْدَنَا وَحُرِمَ عِنْدَ كَثِيْرٍ مِنَ الْعُلَمآءِ. (قَوْلُهُ فَفَاسِدٌ) قَالَ ع ش وَمَعْلُوْمُ أَنَّ مَحَلَّ الْفَسَادِ حَيْثُ وَقَعَ الشَّرْطُ فِيْ صُلْبِ الْعَقْدِ. أَمَّا لَوْ تَوَافَقَا عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَقَعْ شَرْطٌ فِي الْعَقْدِ فَلاَ فَسَادَ.


Diperkenankan bagi kreditur untuk memperoleh manfaat yang diberikan debitur seperti pengembalian pinjaman yang lebih baik ukuran atau sifatnya, yang lebih bagus dari barang yang dipinjamkan yang tidak disyaratkan dalam akad, bahkan yang demikian itu disunatkan bagi debitur karena sabda Rasul Saw.: “Sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutangnya.” Sedangkan pinjaman yang disertai syarat keuntungan bagi pihak yang meminjami, maka merupakan akad fasid (rusak) karena hadits: “Semua utang yang menarik keuntungan adalah riba.” Termasuk kategori ini adalah misalnya menghutangi orang yang menyewa hartanya dengan harga lebih karena hutang tersebut, jika persewaan itu menjadi syarat menghutangi, karena dalam kondisi seperti tersebut penghutangan itu haram secara ijma’. Bila tidak menjadi syarat, maka menurut kita hukumnya makruh dan menurut ulama banyak hukumnya haram. (Ungkapan Syaikh Zainuddin al-Malibari: “Maka merupakan akad fasid.”) Ali Syibramallisi berkata: “Dan telah maklum, fasidnya akad tersebut bila penyaratan menyewa dengan harga lebih itu terjadi dalam pelaksanaan akad menghutangi. Bila kedua pihak menyepakati sewa dengan harga lebih itu dan tidak menjadi syarat dalam akad penghutangan, maka akad hutang tidak rusak. 4. Bughyah al-Mustarsyidin


[4] (مَسْأَلَةُ ب) مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ مُجَرَّدَ الْكِتَابَةِ فِيْ سَآئِرِ العُقُوْدِ وَاْلأِخْبَارَاتِ وَاْلإِنْشَاءَآتِ لَيْسَ بِحُجَّةٍ شَرْعِيَّةٍ.


Menurut madzhab Syafi’i, bahwa sekedar tulisan di semua transaksi, beberapa pemberitahuan dan pengajuan bukan hujjah syar’i (dalil syara’).


Al-Asybah wa al-Nazha’ir [5]

الْعَادَةُ الْمُطَّرِدَةُ فِيْ نَاحِيَةٍ هَلْ تُنْزَلُ عَادَتُهُمْ مَنْزِلَةَ الشَّرْطِ فِيْهِ صُوَرٌ ... وَمِنْهَا لَوْ جَرَتْ عَادَةُ الْمُقْتَرِضِ بِرَدٍّ أَزْيَدَ مِمَّا اقْتَرَضَ فَهَلْ يُنْزَلُ مَنْزِلَةَ الشَّرْطِ فَيَحْرُمُ إِقْرَاضُهُ وَجْهَانِ أَصَحَّهُمَا لاَ. Adat yang berlaku di suatu daerah, apakah adat mereka diposisikan sebagaimana syarat, dalam kaidah ini ada beberapa kasus. … Di antaranya, seandainya berlaku adat yang mengharuskan peminjam mengembalikan barang yang lebih baik dari yang dipinjamnya. Maka apakah adat itu diposisikan sebagaimana syarat, sehingga hukum menghutanginya haram? Dalam kasus ini ada dua pendapat, yang lebih sahih adalah tidak diposisikan sebagaimana syarat.


[1] Al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1418 H/1997 M), Jilid III, h. 26.


[2] Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj bi Syarah Minhaj al-Thalibin pada Hasyiyah al-Syirwani, (Mesir: at-Tijariyah al-Kubra, t. th.), Jilid IV, h. 296.


[3] Zainuddin al-Malibari dan al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, Fath al-Mu’in dan I’anah al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1418 H/1997 M), Jilid III, h. 64-66.


[4] Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, (Pekalongan: Syirkah Nur Asia, t. Th), h. 186.


[5] Jalaluddin al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha’ir, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), h. 67.

Sabtu, 30 Januari 2021

MEMPERBAIKI ORIENTASI HIDUP

Pernahkah kita melihat orang yang mencari rumah teman atau keluarganya, tapi ia tidak tahu persis alamatnya, maka kemudian yang terjadi adalah ia hanya berputar- putar di tempat tersebut dan kemudian kembali lagi ke tempat semula? Ini adalah perumpamaan bagi kita, bahwa orientasi hidup kita harus jelas agar kita bisa sampai dengan selamat ke tujuan sebenarnya. Gambaran seperti ini, juga di jelaskan oleh syaikh Ibnu ‘Atholillah di dalam kitabnya al- Hikam sebagai berikut:

لَا تَرْحَلْ مِنْ كَوْنٍ إِلَى كَوْنٍ فَتَكُوْنَ كَحِمَارِ الرَّحَى يَسِيْرُ وَالَّذِيْ ارْتَـحَلَ إِلَيْهِ هُوَ الَّذِيْ ارْتَـحَلَ مِنْهُ وَلَكِنْ ارْحَلْ مِنْ الْأَكْوَانِ إِلَى الْمُكَوِّنِ وَأَنَّ إِلَى رَبِّكَ الْمُنْتَهَى

“Janganlah engkau pergi dari satu alam ke alam lain sehingga engkau seperti keledai yang berputar-putar di penggilingan, tempat tujuannya adalah tempat yang semula ia berangkat. Tetapi pergilah dari semua alam kepada pencipta alam. ”Dan sesungguhnya kepada Tuhanmu puncak segala tujuan.”

Beramal dengan disertai riya', dan sifat-sifat tercela lainnya dalam pandangan syara’, harus dihindari oleh seorang hamba yang menempuh perjalanan menuju Tuhan. Begitu pula beramal untuk mencari balasan, pangkat, kedudukan, kehormatan dan derajat yang tinggi, juga tercela, terutama dalam pandangan orang-orang yang arif. Oleh sebab itu seorang hamba yang menempuh perjalanan menuju “ Tuhan harus membebaskan diri dari beramal semacam itu. Lakukan amal ibadah hanya karena Allah agar mendapatkan keridhaan-Nya. Jangan berputar-putar pada tujuan rendah dan tercela tersebut. Sehingga membuat bagaikan keledai penggilingan yang terus berputar-putar di tempat. 

Amal ibadah yang dilakukan secara riya' dan dengan tujuan-tujuan agar dipandang masyarakat sebagai orang yang ahli ibadah, agar dihormati dan untuk mencari kepentingan duniawi lainnya adalah sama saja, mengganti keihlasan dengan riya', dan mengganti ibadah yang seharusnya dilakukan karena Allah, tetapi dilakukan demi mencari popularitas, kedudukan dan kepentingan duniawi lainnya. Padahal semua kedudukan, kemuliaan dan harta duniawi itu berada di tangan Allah. Ketika seorang hamba beribadah ikhlas karena Allah, maka dengan sendirinya, Allah akan memberikan dan mencukupi kebutuhan hidupnya di dunia tanpa harus meminta kepada-Nya. Karena Dia adalah Maha Mengetahui lagi Maha Pemurah. 

Kepadanya segala aktivitas kesalehan dan amal ibadah seharusnya ditujukan. Karena kesudahan dari segala sesuatu itu adalah kepadaNya juga. Allah swt. berfirman: 

وَأَنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ ٱلْمُنتَهَىٰ 

"Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu)." (Q.S. an- Najm: 42)

Selanjutnya Ibnu Athoillah menyatakan, dan lihatlah pada sabda Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم :

 فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

“Maka siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907).

Hadis ini menegaskan makna hikmah sebelumnya. Hadis ini patut diperhatikan dan dicamkan baik-baik, terutama pada bagian akhir, yaitu bahwa hijrah seseorang akan berakhir di tempat yang menjadi tujuan hijrahnya. Maknanya, orang yang hijrahnya kepada dunia saja tidak akan meraih pencapaian dan kedekatan yang diraih oleh orang-orang yang berhijrah kepada Allah dan Rasūl-Nya. Seakan Rasulullah memperingatkan kita tentang pengaruh buruk dunia dan perempuan terhadap jiwa bila kita terlalu terobsesi pada dunia dan perempuan.

Sabda beliau: “maka hijrahnya kepada Allah dan Rasūl-Nya” bermakna pergi dari alam menuju Pencipta alam. Inilah yang dituntut dari seorang hamba. Adapun makna ungkapan “maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya” adalah tetap berada di alam, tidak ke mana-mana dan hanya berputar-putar di tempat.

Asyyibli mengatakan, “Awas tipuan Allah, walaupun dalam Firman-Nya:

كُـلُوْا وَاشْرَبُوْا

“Makanlah dan Minumlah.” (al-A’rof: 31)

Maksud-Nya, janganlah engkau tenggelam dalam keinginan. Tetapi jadikanlah segala sesuatu karena Allah bukan karena nafsumu. Maka firman Allah, Makanlah dan minumlah, walau zhahirnya berupa kenikmatan, tetapi batinnya adalah cobaan sehingga Allah mengetahui siapa yang bersama Allah dan siapa yang bersama nafsunya.”

Intinya, jadikanlah segala tujuan hidup kita hanya untuk Allah, agar hidup ini tidak sia-sia dan semuanya terisi ibadah kepada Allah.

Kesimpulannya, marilah kita perbaiki kembali orientasi dan tujuan hidup kita dan kita dituntut untuk menguatkan tekad, menjauhkan keinginan dari makhluk, dan menggantungkan diri kepada Yang Maha Ḥaqq. Tentu, faktor yang bisa memudahkan kita sampai pada maqam ini ialah pergaulan dengan kaum ‘ārif yang mengenal Allah.

Jumat, 13 November 2020

DALIL SAMA, PEMAHAMAN DAN HUKUMNYA BEDA

أَوْ لَمَسْتُمُ النِّسَاءَ

“Atau kamu telah menyentuh perempuan". (An Nisa: 43).


Dalam bahasa Arab, kata “al-lamsu” merupakan lafadh yang musytarak, yaitu lafadh yang dibentuk dengan memiliki makna yang bermacam-macam. Al-lamsu dapat diartikan *menyentuh* , dan dapat diartikan *berhubungan badan.* Sahabat Ali, Ibnu Abbas, dan Hasan memilih makna pertama, sementara Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, dan Sya’bi memilih makna kedua. 


Perbedaan makna, menimbulkan perbedaan pemahaman, sehingga terjadilah perbedaan pendapat dalam mengistinbat hukum di kalangan para imam mazhab.


 *1. Imam Abu Hanifah* 

Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya menyebutkan bahwa persentuhan kulit laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu secara mutlak, baik dengan syahwat atau tidak. Mereka berpedoman pada hadits riwayat Aisyah radliyallahu anha:


 أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ


“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencium beberapa istrinya lalu keluar untuk shalat, tanpa berwudhu.” (HR. Turmudzi).


Mereka juga berpegangan pada hadits Aisyah yang lain:  


عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ، فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ، وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ، وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ. 


Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Pada suatu malam, aku kehilangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dari kasurku. Maka aku pun mencarinya, lalu tanganku mendapati bagian telapak kakinya yang sedang berada di dalam masjid, dan kedua telapak kaki beliau dalam posisi tegak lurus (dalam posisi sujud).” (HR. Muslim, No. 489).


 *2. Imam Syafi'i* 

Di lain sisi, Imam Syafi’i dan para pengikutnya menegaskan bahwa persentuhan kulit tersebut dapat membatalkan wudhu, baik dengan syahwat atau tidak. 


Mereka berpedoman pada makna dhahir Surat an-Nisa ayat 43 di atas, yaitu firman Allah subhanahu wata’ala:


 أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ


 “Atau kamu telah menyentuh perempuan.”


Mereka mengatakan, makna hakiki dari kata “al-lamsu” adalah menyentuh dengan tangan, sedangkan makna majazinya adalah berhubungan badan. Selama perkataan bisa diartikan dengan makna hakiki, maka tidak boleh diartikan dengan makna majazi, kecuali jika tidak mungkin menggunakan makna hakiki, sebagaimana kaidah: 


الأَصْلُ فِي الكَلَامِ الحَقِيْقَةُ


“Pada dasarnya, ucapan itu bermakna hakiki.”  


Kelompok ini memperkuat argumentasinya dengan qira’at versi lain terhadap Surat an-Nisa ayat 43 tersebut, yaitu qira’at yang menghilangkan huruf alif sehingga menjadi: 


أَوْ لَمَسْتُمُ النِّسَاءَ


 Berdasarkan qira’at kedua ini, kata al-lamsu lebih tepat diartikan menyentuh daripada berhubungan badan. Sehingga menurut kelompok ini, persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan membatalkan wudhu. 


 *3. Imam Malik* 

Berbeda dari kedua pendapat di atas, Imam Malik dan para pengikutnya memberikan rincian; jika persentuhan itu diikuti dengan syahwat maka membatalkan wudhu, tetapi jika tanpa syahwat, tidak membatalkan.  Mereka mencoba menggabungkan dan mencari titik temu antara hadits-hadits yang dijadikan sandaran oleh kelompok pertama, dan ayat Al-Qur’an yang dijadikan landasan oleh kelompok kedua. Kemudian mereka menyimpulkan bahwa persentuhan kulit yang disertai syahwat dapat membatalkan wudhu, berdasarkan ayat tersebut, dan tidak membatalkan wudhu jika tidak disertai syahwat, berdasarkan hadits-hadits dimaksud.


Sumber:


1. Tafsir Ayat al- Ahkam, Syaikh Muhammad Ali as- Sayis, Juz 1 - 2, halaman 124 - 125).


2. Bidayatul Mujtahid wa  Nihayat al- Muqtashid, Ibnu Rusyd, Juz 1, halaman 27 - 28).


3. Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi

Selasa, 06 Oktober 2020

AMALAN PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD

 AMALAN PERINGATAN MAULID NABI صلى الله عليه و سلم:

Semangat masyarakat Indonesia untuk menyelenggarakan maulid, bisa dimaklumi. Karena, Islam memang menganjurkan umatnya untuk merayakan hari kelahiran Rasulullah. Tidak salah kalau pemerintah RI menetapkan hari libur bertepatan dengan jatuhnya hari maulid Rasulullah SAW.


Lalu apa yang mesti dilakukan dalam peringatan maulid Rasulullah SAW. Banyak kegiatan ibadah yang bisa dilakukan dalam kesempatan ini. Demikian diterangkan Sayid Bakri bin Sayid M Syatho Dimyathi dalam I‘anatuttholibin.


قال الإمام أبو شامة شيخ المصنف رحمه الله ومن أحسن ما ابتدع فى زماننا ما يفعل فى كل عام فى اليوم الموافق ليوم مولده صلى الله عليه وسلم من الصدقات والمعروف وإظهار الزينة والسرور فان ذلك مع ما فيه من الإحسان الى الفقراء يشعر بمحبة النبي صلى الله عليه وسلم وتعظيمه وجلالته فى قلب فاعل ذلك وشكر الله تعالى على ما من به من إيجاد رسوله الذى أرسله رحمة للعالمين صلى الله عليه وسلم


Artinya, Imam Abu Syamah (guru penulis) berkata, “Salah satu dari sekian banyak bid‘ah paling hasanah di zaman kita ialah kelaziman yang dibuat masyarakat setiap tahun dalam merayakan harlah Rasulullah SAW berupa sedekah, berbuat ma’ruf, dan bersolek diri atau merapikan desa serta menyatakan kegembiraan. Semua itu berikut perbuatan baik kepada orang-orang faqir, menunjukkan rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW, keagungan serta kebesaran beliau SAW di hati mereka yang merayakan maulid, dan bentuk syukur kepada Allah atas anugerah-Nya dalam menciptakan seorang Rasulullah yang diutus sebagai rahmat bagi sekalian alam. Semoga Allah melimpahkan sholawat dan salam kepada rasul-Nya SAW.”

FAIDAH SHOLAWAT

 FAIDAH SHOLAWAT 

1. 1 kali sholawat di balas Allah dg 10 kali sholawat, plus di angkat derajat 10 kali lipat, plus di hapuskan 10 kesalahan.

2. Baca 100 kali sholawat dalam sehari semalam, dikabulkan 100 hajatnya, 70 hajat di akhirat dan 30 hajat di dunia. (١٤٨-١٤٧ تنبيه الغافلين ص)

Buruan baca sholawat kepada nabi kita محمد صلى الله عليه وسلم

KISAH KASIH SAYANG DAN PERTOLONGAN ALLAH

Al-Hafiz ibnu Asakir dalam biografi seorang lelaki yang menjadi guru Abu Bakar Muhammad ibnu Daud Ad-Dainuri yang dikenal dengan nama Ad-Duqqi seorang sufi. Muhammad ibnu Daud menceritakan bahwa lelaki itu pernah menyewa hewan begalnya untuk suatu perjalanan dari Dimasyq ke Zabdani. Dan di suatu hari ada seorang lelaki ikut menumpang. Mereka berdua melewati jalan biasa; dan ketika sampai di tengah perjalanan, ada jalan yang sudah tidak terpakai lagi. Lalu lelaki yang menumpang berkata kepadanya, "Ambillah jalan ini, karena sesungguhnya ini adalah jalan pintas." Ia berkata, "Apakah tidak ada pilihan lain bagiku?" Lelaki itu berkata, "Tidak, bahkan jalan inilah yang terdekat ke tujuan kita." Akhirnya kami terpaksa menempuhnya dan sampailah kami di suatu tempat yang terjal, padanya terdapat jurang yang dalam, sedangkan di dalam jurang itu banyak mayat. Kemudian lelaki itu berkata kepadaku (si perawi), "Tolong tahanlah laju begal ini, karena aku akan turun." Lelaki itu turun dan menyingsingkan lengan bajunya, lalu mencabut pisaunya dengan tujuan akan membunuhku, maka aku lari dari hadapannya, tetapi ia mengejarku. Lalu saya meminta belas kasihan kepadanya dengan menyebut nama Allah, dan saya katakan kepadanya, "Ambillah begal ini berikut semua muatan yang ada padanya (biarkanlah aku selamat, jangan kau bunuh)." Lelaki itu menjawab, "Sesungguhnya aku hanya menginginkan nyawamu." Aku pertakuti dia dengan siksaan Allah (jika membunuhku), tetapi ia bersikeras ingin membunuhku dan tidak mau menerima nasihatku, akhirnya aku menyerahkan diri padanya seraya berkata, "Aku mau menyerah asal kamu berikan sedikit waktu bagiku untuk salat dua rakaat." Ia menjawab, "Segeralah kamu lakukan." Aku berdiri dan melakukan salat, tetapi Al-Qur'an yang telah kuhafal tidak ada yang kuingat lagi, tiada satu huruf pun darinya yang terlintas dalam pikiranku (karena dalam keadaan takut) sehingga aku hanya berdiri kebingungan, sedangkan orang yang akan membunuhku mengatakan "Cepat sedikit." Dan Allah menggerakkan lisanku untuk mengucapkan firman-Nya: Atau siapakah yang memperkenankan doa orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilang­kan kesusahan. (An-Naml: 62). Tiba-tiba aku melihat seorang pengendara kuda datang dari mulut lembah kami berada, sedangkan di tangannya terpegang sebuah tombak, lalu ia lemparkan tombak itu ke arah lelaki yang akan membunuhku, dan tombak tersebut tepat mengenai jantung lelaki itu. Akhirnya dia terjungkal mati seketika itu juga. Lalu aku bergantung pada penunggang kuda itu seraya bertanya, "Demi Allah, siapakah engkau ini?" Penunggang kuda menjawab, "Aku adalah utusan Tuhan yang memperkenankan doa orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya". Lalu aku mengambil hewan begalku berikut semua muatannya dan pulang dengan selamat.


Dikutip secara Bebas dari buku yg saya baca (lihat gambar cover nya pada status saya sebelumnya) dan buku ini mengutip tafsir ibnu katsir QS. an-Naml ayat 62.

Dzikir Berjamaah dengan Suara Keras dan Berdoa setelah Sholat

Berkumpul di suatu tempat untuk berdzikir bersama hukumnya adalah sunnah dan merupakan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hadits-hadits yang menunjukkan kesunnahan perkara ini banyak sekali, diantaranya.

 مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوْا يَذْكُرُوْنَ اللهَ لَا يُرِيْدُوْنَ بِذَالِكَ إلَّا وَجْهَهُ تَعَالَى إلَّا نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ أَنْ قُوْمُوْأ مَغْفُوْرًا لَكُمْ –أخرجه الطبراني 

"Tidaklah suatu kaum berkumpul untuk berdzikir dan tidak mengharap kecuali ridla Allah kecuali malaikat akan menyeru dari langit: Berdirilah kalian dalam keadaan terampuni dosa-dosa kalian. (HR Ath-Thabrani)".

Sedangkan dalil yang menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara umum di antaranya adaah hadits qudsi berikut ini. 

Rasulullah SAW bersabda:

 يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَناَ عِنْدَ ظَنِّي عّبْدِي بِي وَأنَا مَعَهُ عِنْدَ ذَكَرَنِي، فَإنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرًا مِنْهُ –منقق عليه 

Allah Ta’ala berfirman: Aku kuasa untuk berbuat seperti harapan hambaku terhadapku, dan aku senantiasa menjaganya dan memberinya taufiq serta pertolongan kepadanya jika ia menyebut namaku. Jika ia menyebut namaku dengan lirih Aku akan memberinya pahala dan rahmat dengan sembunyi-sembunyi, dan jika ia menyebutku secara berjamaah atau dengan suara keras maka aku akan menyebutnya di kalangan malaikat yang mulia. (HR Bukhari-Muslim) 

Dzikir secara berjamaah juga sangat baik dilakukan setelah shalat. Para ulama menyepakati kesunnahan amalan ini. At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW ditanya:

 أَيُّ دُعَاءٍ أَسْمَعُ؟  “Apakah Doa yang paling dikabulkan?” Rasulullah menjawab:

 جَوْفُ اللَّيْلِ وَدُبُرُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ – قال الترمذي: حديث حسن 

“Doa di tengah malam, dan seusai shalat fardlu." (At-Tirmidzi mengatakan, hadits ini hasan).

Dalil-dalil berikut ini menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara berjamaah setelah shalat secara khusus, di antaranya hadits Ibnu Abbas berkata: 

كُنْتُ أَعْرِفُ إنْقِضَاءِ صَلَاةِ رَسُوْلِ اللهِ بِالتَّكْبِيْرِ – رواه البخاري ومسلم 

Aku mengetahui selesainya shalat Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)”. (HR Bukhari Muslim) 

أَنَّ رَفْعَ الصّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ 

رَسُوْلِ اللهِ – رواه البخاري ومسلم

 Mengeraskan suara dalam

 berdzikir ketika jamaah selesai shalat fardlu terjadi pada zaman Rasulullah. (HR Bukhari-Muslim) 

Dalam sebuah riwayat al-Bukhari dan Muslim juga, Ibnu Abbas mengatakan:

 كنت أعلم إذا انصرفوا بذالك إذا سمعته – رواه البخاري ومسلم

 Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai shalat dengan mendengar suara berdikir yang keras itu. (HR Bukhari Muslim)

Hadits-hadits ini adalah dalil diperbolehkannya berdzikir dengan suara yang keras, tetapi tentunya tanpa berlebih-lebihan dalam mengeraskannya. 

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/17656/dzikir-berjamaah-dengan-suara-keras


*DALIL - DALIL BERDO'A SETELAH SHOLAT* 

1. Doa setelah shalat itu disunnahkan oleh banyak ulama, sekedar contoh saja adalah Syaikh ad-Damiri dalam an-Najmul Wahhaj menjelaskan kesunnahannya lengkap berikut dalil hadis sahihnya sebagai berikut:

يستحب الدعاء بعد الصلاة؛ لما روى الترمذي [٣٤٩٩] أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل: أي الدعاء أسمع؟ - أي: أقرب إلى الإجابة- قال: (جوف الليل، ودبر الصلوات المكتوبات).

وروى أبو داوود [١٥١٧] والنسائي [٣/ ٥٣]- بإسناد صحيح- أن النبي صلى الله عليه وسلم أخذ بيد معاذ وقال: (يا معاذ؛ والله إني أحبك، أوصيك يا معاذ: لا تدعن دبر كل صلاة أن تقول: اللهم؛ أعني على ذكرك وشكرك وحسن عبادتك).

النجم الوهاج في شرح المنهاج

- ج: ٢ - ص: ١٨٧ -

2. Bukan hanya ulama mazhab, Imam Mazhab pun, dalam hal ini adalah Imam Ahmad, juga menyunnahkan berdoa dan berdzikir dengan suara keras setelah shalat.  

وقال القاضي أبو يعلى في ((الجامع الكبير)) : ظاهر كلام أحمد: أنه يسن للإمام الجهر بالذكر والدعاء عقب الصلوات بحيث يسمع المأموم، ولا يزيد على ذلك.

فتح الباري لابن رجب

- ج: ٧ - ص: ٣٩٩ -

3. Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya juga membuat satu bab khusus yang berjudul بَابُ الدُّعَاءِ بَعْدَ الصَّلاَةِ artinya Bab Doa Setelah Shalat. Dari judul babnya saja sudah jelas isinya apa. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menegaskan bahwa judul itu sengaja dibuat sebagai penolakan terhadap orang yang menyangka bahwa doa setelah shalat itu tidak disyariatkan. 

(قَوْلُهُ بَابُ الدُّعَاءِ بَعْدَ الصَّلَاةِ)

أَيِ الْمَكْتُوبَةِ وَفِي هَذِهِ التَّرْجَمَةِ رَدٌّ عَلَى مَنْ زَعَمَ أَنَّ الدُّعَاءَ بَعْدَ الصَّلَاةِ لَا يُشْرَعُ.... 

Kemudian Ibnu Hajar menukil penjelasan Ibnul Qayyim yang isinya mirip dengan video ini yang menyatakan doa setelah shalat tak ada dalilnya, yang ada dalilnya adalah doa di dalam shalat. Ibnu Hajar kemudian dengan tegas menolak klaim Ibnul Qayyim itu sebab justru dalilnya banyak. Beliau berkata:

قُلْتُ وَمَا ادَّعَاهُ مِنَ النَّفْيِ مُطْلَقًا مَرْدُودٌ فَقَدْ ثَبَتَ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ يَا مُعَاذُ إِنِّي وَاللَّهِ لَأُحِبُّكَ فَلَا تَدَعْ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ أَنْ تَقُولَ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَالنَّسَائِيّ وَصَححهُ بن حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ وَحَدِيثُ أَبِي بَكْرَةَ فِي قَوْلِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو بِهِنَّ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ وَحَدِيثُ سَعْدٍ الْآتِي فِي بَابِ التَّعَوُّذِ مِنَ الْبُخْلِ قَرِيبًا فَإِنَّ فِي بَعْضِ طُرُقِهِ الْمَطْلُوبَ وَحَدِيثُ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ الْحَدِيثُ أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ 

Kemudian di video ini dikatakan bahwa kata "dubur" artinya bagian akhir yang tak terpisah, bukan setelahnya, sehingga duburas shalawat artinya bagian akhir shalat sewaktu tasyahhud, bukan setelah usai shalat. Pemahaman ini ini juga disanggah oleh Ibnu Hajar sebab justru banyak hadis yang isinya memerintahkan dzikir duburas shalawat yang maksudnya adalah setelah usai shalat, bukan saat shalat. Dan dubur dalam arti sesudah usai ini adalah ijmak sehingga juga harus dipakai dalam kasus doa ini. 

فَإِنْ قِيلَ الْمُرَادُ بِدُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ قُرْبَ آخِرِهَا وَهُوَ التَّشَهُّدُ قُلْنَا قَدْ وَرَدَ الْأَمْرُ بِالذِّكْرِ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ وَالْمُرَادُ بِهِ بَعْدَ السَّلَامِ إِجْمَاعًا فَكَذَا هَذَا حَتَّى يَثْبُتَ مَا يُخَالِفُهُ

فتح الباري لابن حجر

- ج: ١١ - ص: ١٣٣ -

Sekedar perbandingan, kita ambil contoh kasus pernyataan Imam Malik bahwa tidak perlu bertakbir pada hari tasyriq di selain duburis shalawat. 

ومذهب مالك، انه لا يكبر في أيام التشريق في غير دبر الصلوات.

فتح الباري لابن رجب

- ج: ٩ - ص: ٢٩ -

Bacaan takbir saat hari tasyriq setelah idul adha semua tahu kalau dibaca sehabis shalat, bukan saat tasyahhud setelah saat shalat. Ini artinya istilah "dubur" tidak hanya dipakai dalam arti bagian akhir atau bagian belakang tubuh (baca: anus), tapi juga dipakai dalam arti setelah berakhirnya sesuatu.

Demikian juga hadis berikut yang menganjurkan membaca dzikir tasbih 33x, tahmid 33x, dan takbir 33x memakai redaksi "dubur setiap shalat". Semua tahu kalau itu artinya setelah habis shalat bukan saat tasyahhud akhir. 

«مَنْ سَبَّحَ الله في دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاثًا وَثَلاثِينَ، وحَمِدَ اللهَ ثَلاثًا وَثَلاَثِينَ، وَكَبَّرَ الله ثَلاثًا وَثَلاَثِينَ، وقال تَمَامَ المِئَةِ: لا إلهَ إِلا اللهُ وَحدَهُ لا شَريكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ البَحْرِ». رواه مسلم

Aneh sekali ada orang yang mengatakan bahwa pendapat yang terkuat adalah kata "dubur" artinya di akhir tapi tak terpisah. Ini jelas mengada-ada. Apa jangan-jangan ustadz ini membaca dzikir di atas saat tasyahhud? haha...

4. Anjuran doa setelah shalat tak hanya memakai kata "dubur" saja, tetapi juga ada yang memakai kata "ba'da" yang artinya "setelah". Jadi makin jelas kalau artinya memeng berdoa setelah usai shalat, bukan saat akhir shalat.

وَقَدْ أَخْرَجَ التِّرْمِذِيُّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي أُمَامَةَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ قَالَ جَوْفَ اللَّيْلِ الْأَخِيرَ وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ وَقَالَ حَسَنٌ وَأَخْرَجَ الطَّبَرِيُّ مِنْ رِوَايَةِ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ الصَّادِقِ قَالَ الدُّعَاءُ بَعْدَ الْمَكْتُوبَةِ أَفْضَلُ مِنَ الدُّعَاءِ بَعْدَ النَّافِلَةِ كَفَضْلِ الْمَكْتُوبَةِ عَلَى النَّافِلَةِ

فتح الباري لابن حجر

- ج: ١١ - ص: ١٣٤ -

Selain itu juga hadis marfu' yang memakai redaksi "ketika Nabi telah berpaling dari shalat, lalu Nabi berdoa: ya Allah, jadikanlah agamaku baik untukku." Berpaling dari shalat jelas saat sudah selesai shalat

وَحَدِيثُ صُهَيْبٍ رَفَعَهُ كَانَ يَقُولُ إِذَا انْصَرَفَ مِنَ الصَّلَاةِ اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لي ديني الحَدِيث أخرجه النَّسَائِيّ وَصَححهُ بن حِبَّانَ وَغَيْرُ ذَلِكَ

فتح الباري لابن حجر

- ج: ١١ - ص: ١٣٣ -

Semoga bermanfaat.

KETENANGAN DAN KEGELISAHAN HATI

  KETENANGAN DAN KEGELISAHAN HATI   اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي شَرَحَ صُدُوْرَ الْمُوَفَّقِيْنَ بِأَلْطَافِ بِرِّهِ وَآلَائِهِ، وَنُوْرِ بَصَ...